PEMBERANTASAN korupsi, seperti yang sejak dulu terbukti, bukan perkara gampang. Rapor Presiden B.J. Habibie dalam hal ini, tampaknya, akan dipenuhi angka merah. Penyebabnya yang utama adalah pengusutan kasus mantan presiden Soeharto yang tak kunjung maju-maju. Sampai pekan lalu, Pejabat Sementara Jaksa Agung Ismudjoko tak jua mengumumkan status hukum Soeharto. Status proses hukumnya pun masih di tingkat penyelidikan, belum penyidikan, konon pula tahap pengadilan.
Nah, lain sikap aparat, lain lagi sikap rakyat. Sementara Ismudjoko terkesan begitu sungkan atau sangat ragu-ragu, rakyat ternyata tidak terhambat oleh kendala-kendala internal semacam itu. Contoh paling mutakhir adalah prakarsa 10 orang petani di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Setelah aksi protes yang mereka lakukan tak mencapai sasaran, kini para petani itu menempuh cara yang sangat berbeda. Mereka berusaha menggunakan kesempatan bagus yang tersembul pada persidangan gugatan Soeharto terhadap majalah Time di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka ikut masuk ke perkara itu, dengan mengajukan gugatan intervensi (voeging).
Dalam gugatan terhadap Time, Soeharto menganggap laporan peliputan Time edisi 24 Mei 1999 tentang bisnis Soeharto dan keluarga tidak benar. Berita itu sendiri memaparkan kisah kekayaan keluarga sang bekas presiden yang disebutkan sebesar US$ 15 miliar atau senilai Rp 120 triliun—berdasarkan kurs Rp 8.000 per dolar AS. Namun, sidang pertama perkara itu, Kamis pekan lalu, hanya berlangsung sebentar karena beberapa tergugat belum memberikan surat kuasa kepada pengacaranya. Walhasil, ketua majelis hakim Sihol Sitompul menunda sidang sampai sebulan.
Kendati begitu, salah seorang kuasa hukum 10 petani tadi, Dwiyanto Prihartono, merasa yakin bahwa voeging yang diajukan petani Tapos akan mematahkan gugatan Soeharto. Maksudnya, intervensi itu justru memperkuat isi berita Time tentang kekayaan Soeharto dan keluarga yang diperoleh dari penyelewengan semasa Soeharto berkuasa. Setidaknya kasus para petani Tapos, yang tanahnya dialihkan secara paksa lalu menjadi bagian dari kekayaan keluarga Soeharto, bisa dijadikan bukti kebenaran berita tersebut.
Sebagaimana dulu ramai diributkan, tanah seluas 750 hektare di Tapos telah dikuasai PT Redjo Sari Bumi, milik keluarga Soeharto. Sejak 1975, PT Redjo menggunakan lahan itu untuk proyek pertanian dan peternakan. Para petani yang mengaku telah menggarap tanah itu secara turun-temurun kontan digusur tanpa uang ganti rugi. Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sekitar 250 petani ramai-ramai merebut kembali sebagian dari tanah itu, untuk ditanami sayur-mayur.
Namun, salah satu pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menilai gugatan petani Tapos tidak tepat. "Itu gugatan ngawur. Mereka cuma ingin mencari popularitas pada momentum perkara Time," ujarnya. Sebagai bukti tak tepatnya voeging tadi, dalam sidang pertama perkara Time, pengadilan sama sekali tak menyinggung gugatan itu.
Menurut Juan, voeging petani Tapos tak memenuhi persyaratan intervensi. Sesuai dengan ketentuan, intervensi baru bisa masuk bila perkara utama yang akan dicampuri sudah diketahui si pengintervensi. "Perkara Time baru sidang pertama, berarti perkaranya belum diketahui umum, tapi mereka sudah mengintervensi. Dari mana mereka bisa mengetahui isi gugatannya?" kata Juan.
Selain itu, intervensi bisa diajukan bila pihak pelakunya terhubung langsung dengan perkara utama, dan kepentingan hukum pengintervensi terancam oleh perkara itu. Kedua keadaan itu, menurut Juan, tak terpenuhi pada voeging tadi. Ditambahkannya, tanah Tapos memang bukan milik Soeharto, tapi juga bukan milik petani penggugat. "Itu tanah negara.
PT Redjo Sari Bumi menguasainya berdasarkan hak guna usaha yang akan habis masa berlakunya pada tahun depan," katanya. Buat Juan, akan lebih tepat bila para petani mengajukan gugatan tersendiri di luar perkara Time.
Sementara itu, Sihol Sitompul enggan menyatakan tepat-tidaknya voeging petani Tapos. Alasannya, gugatan intervensi itu baru dibahas di persidangan bila perkara Time sudah berjalan dan para pihaknya tak mau berdamai. Pembahasan itu pun bisa dilakukan setelah semua pihak menanggapi voeging tersebut. Untuk sampai ke tahap itu, setidaknya tujuh kali persidangan harus dilampaui.
Lagi-lagi jalan keadilan bagi rakyat kecil—dalam kasus ini petani Tapos—masih panjang berliku, atau memang dibikin panjang berliku, seperti yang sering terjadi sepanjang masa Orde Baru. Dan salah satu kuncinya ada pada hukum formal yang dibuat sedemikian rupa hingga efektif membentengi tindakan dan kebijakan Soeharto.
Happy S., Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini