JERMAL lagi-lagi bikin soal. Usaha penangkapan ikan di tengah laut itu— di Jakarta dikenal juga dengan sebutan bagan—tak ubahnya monster yang mengeksploitasi pekerja anak-anak. Telah lama Departemen Tenaga Kerja melarang pengusaha jermal mempekerjakan buruh di bawah umur. Selain beban kerja terlalu berat—khususnya untuk anak-anak—jenis pekerjaan ini juga berbahaya. Gubernur Sumatra Utara pernah mengajukan ultimatum yang intinya melarang buruh anak bekerja di jermal. Ultimatum ini berlaku sejak 31 Mei 1999. Dan sejak itu pula segenap aparat di Sumatra Utara rajin merazia jermal-jermal.
Namun, penegakan hukum terganjal ulah pengusaha jermal. Baru-baru ini, seorang remaja berusia 15 tahun, bernama Sokhitahaogo Harefa—sehari-hari dipanggil Tahaoge—meninggal sewaktu bekerja di jermal Lamtiong, milik Ong Into alias Aman. Jermal itu terletak di kawasan Betingbawal, perairan Tanjungbalai, Asahan, sekitar 200 kilometer dari Medan. Kini orang tua Tahaoge, Lo'okhou Harefa—dibantu oleh Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) Medan—memerkarakan soal itu ke Pengadilan Negeri Medan.
Harefa mencari nafkah sebagai petani di Desa Hilinawali Majinggo, Nias, Sumatra Utara. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa sang anak akan mengalami nasib tragis. Harefa mengetahui bahwa Tahaoge, anak keempat dari tujuh anaknya, merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Ia memang hanya mampu membiayai Tahaoge sampai sekolah menengah pertama. Waktu itu, Januari 1999, Tahaoge meninggalkan kampung halaman bersama dengan dua temannya.
Tapi, pada 10 Juli lalu, Harefa menerima kabar buruk dari kerabatnya di Medan, Agus Halawa. Agus mengabarkan bahwa Tahaoge meninggal di jermal Lamtiong pada 8 Juli 1999. Mayat remaja itu ada di Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Menurut Agus, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit, ia mendapat berita itu dari dua petugas keamanan di Tanjungbalai.
Dari cerita Agus pula Harefa baru mengetahui bahwa Tahaoge tak pernah singgah di rumah Agus di Medan. Rupanya, melalui seorang temannya yang pernah bekerja di jermal, Tahaoge langsung mengadu nasib di jermal Lamtiong. Padahal, dari segi keamanan dan kesehatan, tempat kerja berupa anjungan seluas sekitar 3.000 meter persegi, bertiang pancang, dan terletak sekitar satu mil dari pantai itu sangat tak layak.
Namun, di tempat yang sangat tidak aman itulah, Tahaoge bekerja keras sebagai penarik jaring penangkap ikan. Ia juga memilih, menjemur, dan merebus ikan hasil tangkapan. Di tempat itu pula Tahaoge tidur bersama dengan tumpukan ikan hasil olahan. Ia bekerja tak kenal waktu dan gaji yang jelas.
Mempekerjakan Tahaoge yang belum berusia 18 tahun jelas melanggar ketentuan. Namun, buat Harefa, bukan hanya itu masalahnya. Yang membuatnya sulit tidur adalah penyebab kematian sang anak. Dua petugas yang menyampaikan berita kepada Agus menyatakan bahwa Tahaoge meninggal karena sakit perut dan sakit kepala. Tapi, sewaktu Agus melihat jenazahnya, ada luka lebam di leher korban. Marasamin Ritonga dari LAAI Medan malah menduga luka itu berasal dari jeratan akibat penyiksaan.
Itu sebabnya, Harefa menganggap pengusaha jermal Lamtiong harus bertanggung jawab atas kematian anaknya. Selain menggugat sang pengusaha, ia juga menyertakan pejabat kantor tenaga kerja setempat serta Gubernur Sumatra Utara selaku tergugat. Memang Harefa mengaku telanjur menerima uang duka Rp 5 juta dari pihak pengusaha. Tapi, baginya, pemberian uang duka tak lantas menghentikan perkara. "Nyawa tak bisa dihapus dengan uang," ujarnya.
Dua tergugat, Kepala Kantor Tenaga Kerja Sumatra Utara Moch. Chodjin dan Raja Muhammad Nur selaku Ketua Yayasan Kesejahteraan Nelayan Tanjungbalai, yang menjadi kuasa hukum pemilik jermal Lamtiong, mengaku siap menghadapi gugatan Harefa. Namun, Moch. Chodjin berharap agar Harefa mengerti bahwa upaya menanggulangi masalah jermal bukan soal sepele.
Menurut Chodjin, ada beberapa masalah, di antaranya pemilik jermal sering berganti-ganti. Selain itu, usia anak acap dimanipulasi agar tak dituduh melanggar aturan. "Sering pula mandor jermal menerima pekerja yang mengaku usianya sudah 18 tahun. Tapi, ketika mau meninggalkan jermal, pekerja itu menyatakan usianya 14 tahun," kata Chodjin.
Pada kasus Tahaoge, menurut Chodjin, selain umurnya dalam hasil otopsi mayat disebutkan 19 tahun, namanya pun berbeda-beda. Jadi, tambah Chodjin, hendaknya Harefa tak buru-buru menggugat karena instansinya masih menyelidiki kasus tersebut.
Tapi sampai kapan? Sebab, menurut Marasamin Ritonga, hingga kini tak pernah ada pengusaha jermal yang terjerat hukum. Padahal, mereka terus saja mempekerjakan anak-anak. Menurut catatan LAAI Medan, dari 1.440 pekerja di 201 jermal di Sumatra Utara, ada sekitar 430 pekerja di bawah umur.
Hp. S., Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini