Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua mahasiswa Binus University jurusan teknik komputer Raditya Eko Prabowo dan Nicholas Julian membuat alat bantu tunanetra bernama Sonar Vision. Alat tersebut merupakna alat bantu pendeteksi halangan untuk penyandang tunanetra atau low vision.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami terispirasi dari pasangan suami istri penyandang disabilitas tunanetra yang berjualan kerupuk di sekitar lingkungan kampus binus. Kami berharap dengan alat ini bisa meringankan penderitaan mereka dan para tuna netra lain," ujar Nicholas di Yayasan Mitra Netra, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat, 19 Oktober 2018.
Alat tersebut berfungsi sebagai pelengkap dari tongkat yang dapat mendeteksi halangan yang berada hingga jarak 3 meter di depan penggunanya. Dalam satu set sonar vision terdapat dua alat, yakni satu untuk di pasang di sabuk dan satu lagi di tangan layaknya jam tangan.
Menurut Raditya, cara kerjanya adalah menggunakan ultra sonik, memakai gelombang suara dan berdasarkan pantulan. Jadi, kata dia, pantulan suara itu bisa mengetahui jarak karena ada micro controller yang mereka program untuk membaca jaraknya itu.
"Nah setelah baca jaraknya, kita ubah ke bentuk getaran yang bisa user terima. Tergantung jaraknya, kita kolerasikan bagaimana jaraknya. Semakin jauh jarak getaran semakin jarang kalau semakin dekat getaran akan semakin terus menerus," jata Raditya.
Raditya menjelaskan bahwa teknologi ini masih dalam tahap awal atau prototipe. Alat tersebut memiliki baterai yang bisa diisi ulang dengan dua metode charging yakni, wireless dan memakai micro USB. Namun, menurutnya, masih ada kekurangan dalam wireless charging yang agak lama dalam pengisiannya. "Kalau yang wireless itu bisa lebih dari 3 jam, sementara micro USB lebih cepar bisa dibawah 2 jam tergantung level baterainya," lanjut Raditya.
Kedua mahasiswa yang saat ini duduk di semester 7 itu menciptakan alat tersebut sejak 2017 dengan bimbingan tiga dosen program studi teknik komputer Binus University yaitu Johannes, Rinda Hedwig dan Rudy Susanto. Alat tersebut juga merupakan hasil produksi mereka dalam program Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui Dikti.
Bodi Sonar vision terbuat dari bahan platik tipe PLA yang dicetak dengan menggunakan 3D printing. Nicholas menambahkan, ada beberapa kendala selama pembuatan alat tersebut seperti desain casing bahkan dalam proses coding.
"Kendalanya sih ya macam-macam sih, kayak brand storming buat desain casing yang memakan waktu lama. Soalnya kita selain itu juga mencoba pakai jasa software cat dan desainnya juga makan waktu lama. Apa lagi coding ulang pakai micro controler versi lain, itu juga makan waktu transisinya," tambah Nicholas. "Selain itu juga dari vendor casing untuk printing 3D-nya agak lama juga dan akhirnya kita harus cari cara lain untuk mempercepat produksi."
Pembuatan alat itu, Raditya kembali menjelaskan, mulai dari ide hingga jadi, memakan waktu selama tiga smester atau 1,5 tahun. Mereka berharap bahwa dibuatnya alat tersebut dapat membuat para penyandang tunanetra lebih sejahtera dan memudahkannya dalam berjalan. "Semoga bisa semakin membantu kehidupan para penyandang tuna netra di Indonesia dan kita dapat kembangkan lagi, kita akan kemas dengan fitur-fitur tambahan lain yang bisa lebih membatu lagi dan lebih canggih," kata Nicholas.
Simak artikel menarik lainnya seputar teknologi untuk penyandang tunanetra hanya di kanal Tekno Tempo.co.