Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERASA wilayah kekuasaannya dilanggar, banteng jantan itu naik pitam. Dia menatap tajam sembari mendengus hebat, kakinya dientak-entakkan ke bumi, bikin ciut nyali. Sebuah mobil nyaris jadi sasaran amuk hewan buas berbobot 700 kilogram dengan tanduk mematikan itu. Beruntung, petugas Bali Safari & Marine Park sigap meredakan amarahnya.
Tlepak, panggilan banteng itu, memang doyan ribut. Warga di aliran Sungai Tlepak, Banyuwangi, Jawa Timur, menangkapnya pada 2008 karena ia merusak ladang. Taman Safari Indonesia Prigen, Pasuruan, lalu mengadopsinya. Peruntungannya berubah setelah ia dikirim ke kebun binatang di Gianyar, Bali, itu untuk jadi aktor utama proyek kawin silang guna menghasilkan bibit unggul sapi.
Di rumah barunya, banteng yang diperkirakan berumur lima tahun itu dimanjakan: kepadanya disodorkan dua selir perawan yang masih kinyis-kinyis. Namanya Dewi dan Siti. Tapi keduanya bukan banteng (Bos javanicus), melainkan sapi Bali (Bos sondaicus).
Awalnya dokter hewan Bali Safari, Kadek Kesuma, ragu Tlepak bakal bergairah melihat Dewi dan Siti, yang tak semontok banteng betina di hutan Banyuwangi. Begitu juga sebaliknya. Maklum, selama ini kawin silang sapi dilakukan masih dalam satu spesies. Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Karena Tlepak tukang kawin, sementara berahi Dewi dan Siti sedang menggebu, perkawinan tanpa ijab kabul berlangsung lancar. ”Tinggal lepas betina di kandang dia, eh, mereka kawin,” ujarnya.
Jadilah mereka pasangan pertama sapi dan banteng yang tercatat resmi. Amerika Serikat baru mengawinkan sapi dengan bison pada 2010, dua tahun setelah Tlepak membuntingi dua sapi Bali itu. Program ini bertujuan meningkatkan bobot sapi potong, yang kian susut.
Perkembangan bobot sapi potong memang dipandang mengkhawatirkan. Data Dinas Peternakan Jawa Timur, satu sentra pemasok daging Indonesia, menunjukkan rata-rata berat sapi 200 kilogram. Angka ini merupakan penurunan dari 250 kilogram, lebih dari sepuluh tahun lalu. Hal ini mempengaruhi pasokan daging lokal, yang cuma mampu memenuhi 70 persen kebutuhan nasional.
Penyebab penurunan itu macam-macam, dari merosotnya mutu pangan ternak sampai kawinnya sapi dalam satu keluarga. Sapi Bali, yang dianggap varietas terbaik dan bibit unggulnya diekspor, tak luput dari hal itu. Menurut Sekretaris Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia Tony Sumampau, kebanyakan sapi Bali yang dikembangkan di luar Pulau Dewata tak segemuk saudaranya di tanah leluhur. ”Mungkin karena perbedaan cuaca,” katanya.
Program mengawinkan sapi Bali dengan banteng, yang diprakarsai pemerintah Nusa Tenggara Barat, Institut Pertanian Bogor, dan Taman Safari Indonesia, disetujui Menteri Kehutanan (waktu itu M.S. Kaban) pada pertengahan 2009. Banteng diyakini jadi faktor pendongkrak mutu karena sederet keunggulan, dari tubuh bongsornya yang bisa mencapai satu ton, hampir tiga kali lebih berat dibanding sapi, sampai tahan bantingnya banteng akan serangan penyakit.
Sapi Bali dipilih karena memiliki struktur genetis paling dekat dengan banteng ketimbang sapi lain. Kadek mengatakan, berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, sapi Bali dulunya adalah banteng yang dijinakkan dan dipelihara penduduk turun-temurun. Hal ini terlihat dari ukuran tubuh yang lebih besar daripada sapi lain, seperti sapi Jawa. Kawin silang diharapkan bisa melahirkan sapi berbobot ekstra sampai 30 persen.
Pasangan ”kumpul kebo” di Bali Safari & Marine Park itu dikaruniai lima anak, tiga dari Dewi dan dua dari Siti. Mereka memang istimewa. ”Waktu lahir, lebih berat dari sapi lain,” kata Kadek. Meski tak ada data bobot karena kebun binatang itu tak memiliki timbangan sapi, Kadek optimistis kawin silang sukses menghasilkan sapi berbobot ekstra. Berat sapi Bali jantan 350-450 kilogram, sementara betinanya sekitar 300 kilogram. Dengan berat rata-rata banteng jantan 800 kilogram, diharapkan anak-anak Tlepak bisa melewati 500 kilogram saat dewasa.
Secara fisik, mereka mirip bapaknya. Tulang-tulang mereka lebih besar dan warna bulu lebih gelap. Dadanya busung, tidak berpunuk, dan kaki-kakinya ramping. Tanduknya juga lebih seram: runcing dan melengkung bak bulan sabit.
Untungnya, kesangaran Tlepak tidak menurun. Sifat anak-anaknya kalem, kayak lembu. Sule, satu tahun, anak Siti, terlihat malu-malu saat Tempo menyapa. Ketika kepalanya disentuh, lidahnya menjilat-jilat seperti anak anjing yang kegirangan tatkala diberi makan. Bandingkan dengan anak banteng yang emoh berdekatan dengan makhluk asing. Sule cs juga relatif lebih sehat. Tak satu pun penyakit bisa merusak daya tahan tubuh sapi blasteran ini. Termasuk jembrana, penyakit umum pada sapi Bali akibat virus pelumpuh kekebalan tubuh—yang berujung kematian.
Namun kawin beda spesies tak selalu mulus. Sejak April lalu, Taman Safari Indonesia Prigen menyiapkan kandang 16 meter persegi untuk kawin silang serupa. Tapi berulang kali Mathos, banteng Jawa penghuni kandang itu, gagal membuahi betina pasangannya. Sapi keburu ambruk karena tak kuat menahan tubuh banteng sebelum sanggama tuntas. Perbandingan bobot mereka memang lumayan jauh, betina 250 kilogram harus menopang pejantan 400 kilogram.
Ada lagi faktor pengalaman. Meski penuh berahi, Mathos, tiga tahun, minim jam terbang. ”Masih belajar kawin,” ujar dokter hewan Ivan Chandra, pemeliharanya. Ibaratnya, nafsu besar performa kurang. Padahal pemerintah Jawa Timur sudah menyiapkan 20 sapi Bali betina seharga Rp 7 jutaan per ekor.
Toh, Kepala Dinas Peternakan Suparwoko Adisoemarto masih menaruh harapan di pundak jagoannya, Mathos. ”Awal tahun depan sudah bisa menghasilkan pedet, anak sapi,” ujarnya. Perhitungannya mengacu pada masa kandungan sapi, sembilan bulan.
Untuk mengakali kegagalan, bobot sapi di Taman Safari Prigen akan ditingkatkan. Makanan berupa pelet dan rumput gajah diberikan lebih banyak, sampai empat kali sehari. Jika perlu, betina baru yang lebih montok didatangkan dari Unit Pembibitan Ternak di Batu, Jawa Timur. Mathos dibiarkan ”kumpul kebo” siang-malam bersama lima betina sekaligus, dipilih yang mendekati masa berahi, agar lebih akrab.
Selain dengan kawin alami, petugas menyiapkan kawin suntik atawa inseminasi buatan, bekerja sama dengan Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang. Caranya dengan mengambil sperma banteng untuk disuntikkan ke sel telur sapi Bali—mirip kawin silang sapi lokal dengan sapi asing. Menurut Tony Sumampau, metode ini lebih efektif. ”Satu suntikan sperma banteng bisa membuahi 600 betina,” katanya. Lagi pula, dia melanjutkan, jika terlalu sering kawin, dikhawatirkan banteng bisa terkena penyakit.
Namun inseminasi sulit diterapkan saat ini. Sebab, petugas kesulitan saat mengambil sperma. Bayangkan, mereka harus mengendap-endap ke selangkangan binatang pemberang itu, lalu menyedot sperma dari buah zakar dengan suntikan. ”Banteng ini masih liar,” ujar Ivan. Sedikit saja dia tersinggung, nyawa petugas bisa melayang.
Kini, sambil menunggu asuhannya itu mau diajak bekerja sama, Ivan berkonsentrasi membimbing Mathos agar bisa menghamili pasangan-pasangannya.
Reza M., Wayan Agus, Eko Widianto, Fatkhurrohman Taufiq, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo