DARI rumahnya di Bandung, Irwan Tampubolon memilih nomor telepon
yang hendak dihubunginya. Ketika pesawat di seberang sana
terdengar diangkat, ia menekan sebuah tombol. Dari kalkulator 10
digit yang dilengkapi printer - terletak di samping pesawat
telepon - tertera angka 1983. Di bawahnya berturut-turut muncul
angka 28.9,0.21790534, dan 9.30.
Usai pembicaraan, Irwan meletakkan kembali gagang telepon.
Ketika itu pula pada kertas pencatat muncul angka 9.32. Di
bawahnya, agak ke kanan, tertera 24.x. Lebih di bawah tampak
angka 60. Terakhir: 1440. Irwan, bujangan berusia 26 tahun itu,
tersenyum lega.
Ini bukan main spion-spionan. Di saat "pulsa palsu" kembali
hangat dipermasalahkan, Irwan teringat 'penemuan'-nya dua tahun
silam. Ketika itu ia berhasil membuat alat penghitung biaya dan
pencatat penggunaan pesawat telepon. Dengan penemuan itu pula,
anak ketiga dari sepuluh bersaudara keluarga T. Tampubolon,
pensiunan Departemen Keuangan, ini meraih gelar sarjana
elektroteknik di ITB, Bandung.
Dalam contoh di atas, angka pertama yang muncul menunjuk tahun
(1983). Kemudian menyusul tanggal dan bulan (28.9). Lalu kode
wilayah SLJJ berikut nomor telepon yang dipilih (0.21790534).
Akhirnya, waktu pembicaraan dimulai (9.30).
Ketika gagang telepon diletakkan, muncul kembali angka yang
menunjukkan waktu (9.32). Kemudian catatan pulsa (24), tarii
(60), lalu biaya yang harus dikeluarkan (1440). Irwan memang
membuat alat ini berdasarkan asumsi, "banyaknya pelanggan
telepon yang ingin mengetahui penggunaan dan pengeluaran biaya
pesawat yang dipakainya."
Dengan mengeluarkan biaya Rp 100 ribu, Irwan merangkai komponen
elektronik di atas delapan lembar printed circuit board (PCB =
papan rangkaian tercetak) berukuran 12 x 18 cm. Rangkaian itu
terdiri dari jam digital, isolator, detektor saluran, pembangkit
dan penghitung pulsa pembicaraan, penyimpan empat angka awal,
sumber data dan penggabungannya, read only memory (ROM) dan
counter untuk program, pemilih tombol dan tombol kalkulator,
serta pengatur kerja alat. Untuk kalkulator, ia memilih Casio
tipe JR 210. Seluruh perangkat ini dipasang paralel pada pesawat
telepon milik pelanggan.
Otak seluruh rangkaian itu adalah tiga buah EPROM (erasable,
programmable, read only memory). Dua EPROM menyimpan kode-kode
wilayah, untuk memungkinkan pembicaraan lokal dan interlokal.
Sebuah lainnya mencatat tahun, bulan, dan tanggal, sampai hasil
perkalian pulsa, dan tari .
Tombol alat ini dipasang paralel dengan mikrofon pesawat
telepon. Sebagai akibatnya, bila tombol tidak ditekan, pesawat
hanya bisa mendengar pembicaraan dari telepon yang dihubungi.
Sengaja dipilih cara ini, "agar pelanggan tidak lupa menekan
tombol," ujar Irwan.
Dari segi teknis, menurut Irwan, hampir tak ada kelemahan
pesawat ini. Peluang kekhilafan hanya terbuka bila pelanggan
terlambat menekan tombol. Tapl perbedaan ltu tidak banyak,
sekitar satu atau dua pulsa. Soalnya, perhitungan pulsa berjalan
begitu pesawat yang dihubungi menyahut.
oengan mengadahan penyempurnaan, Irwan yakin alat penemuannya
ini bisa dipakai untuk umum - tentu saja dengan izin Perumtel.
Penyempurnaan itu, misalnya, menyangkut perbanyakan kode wilayah
yang bisa dihubungi, bahkan sampai hubungan antar negara.
Semuanya bisa dilakukan dengan mengganti EPROM sesuai dengan
kebutuhan.
Penyimpangan memang bisa terjadi, bahkan sampai pada tingkat
kehilangan funsi. Misalnya kalau terjadi gesekan kabel di bawah
tanah atau terendam air sehingga menimbulkan konrsleting, yang
mengacaukan pencatatan. Untuk mengatasi hal ini, Irwan siap
memasang pengaman di bagian input, berupa rangkaian supresor
yang sensitif.
Penyimpangan juga bisa terjadi bila seseorang mencantelkan
pesawatnya di nomor yang sama. Tapi alat tadi tetap bekerja
sehingga nomor yang dihubungi dan data pelengkap lainnya tetap
tercatat. Namun, Irwan tidak menjamin hasil pencatatan akan sama
dengan rekening Perumtel. "Alat ini dibuat hanya untuk
meyakinkan teori, bukan untuk diperbandingkan dengan rekening,".
katanya.
Irwan membutuhkan satu tahun mempersiapkan alat tersebut. Bila
diproduksikan secara massal, setelah disempurnakan di sana-sini,
ia yakin satu unit bisa rampung kurang dari sebulan, dengan
biaya di bawah Rp 50 ribu. Tapi Humas Perumtel, Drs. Musyafri
Effendi, "tak yakin ada alat yang bisa dipergunakan seperti
itu." Menurut dia, "sampai saat ini Perumtel belum berpikir
untuk hal lain, lebih penting membangun sentral telepon otomat."
Soal pengaduan pulsa yang kian ramai? "Di negara maju pun masih
ada apalagi di negara sedang berkembang seperti Indonesia ini,"
kata Musyafri. Tidak ada debat lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini