PADA katalog yang dijual di pintu masuk Ruang Pameran Utama
Taman Ismail Marzuki tercetak keterangan: "Pameran", disusul
tepat di bawahnya: "lukisan tunggal". Ini tentunya kelakar.
Sebab Rusli, 67 tahun, memamerkan tidak kurang dari 45 buah
lukisan, 28 September hingga 7 Oktober.
Di bawah lampu neon yang berderet-deret di langit-langit
seperti dalam toko serba ada, yang lebih banyak menerangi para
pengunjung daripada lukisan yang dipajang, karya Rusli terlihat
jernih dan transparan. Dan yang rata-rata berukuran agak kecil
harus melawan luas ruangan dan dua baris tiang besar-besar.
Demikianlah pelukis kawakan, anggota Akademi Jakarta, menyajikan
buah tangannya masa 1981 - 1983 (beberapa dari 1980). Hampir dua
tahun sekali, sejak 1974 karya-karyanya dapat disaksikan di
Taman Ismail Marzuki. Apa yang dapat diharapkan dari pamerannya
kali ini?
Mereka yan memandang seniman sebagai juru kejut (dielu-elukan
dengan sebutan "kreatif") tidak akan beroleh nikmat kejutan
dari pameran ini. Rusli tampak seperti biasanya. Mereka, yang
berpendirian bahwa seniman bertugas menjadi juru bicara
kekecewaan dan penderitaan, juga akan kecewa.
Rusli tampak tenang-tenang saja. Ia gemar melihat-lihat tamasya
alam, perahu dan kapal di pelabuhan, pura, pesta odalan (ulang
tahun) pura, pasar, dan tumbuh-tumbuhan. Ia menyukai warna
merah, kuning, biru, dan hijau yang cerah dan bening
(transparan). Ia membuat gans yang menari-nari, gubahan yang
berirama, selaras, dan seimbang. Ia menyukai kebahagiaan atau
keriangan yang lembut. Dan ia menyukai nuansa, dalam warna, juga
dalam keragaman gaya yang dijangkaunya. Keragaman gaya: karena
tak mudah memasukkan Rusli ke dalam satu stereotip.
Kita perhatikan, misalnya, Pura Dalem Anjaran Desa Pelaya atau
Kapal-kapal - di antara yang terbaik dari jenisnya. Seperti
pada kebanyakan kanvas Rusli, di sini sosok obyek kehilangan
aspek kebendaannya. Obyek disarikan menjadi olesan warna bening,
garis lenkung atau berliku, beberapa sosok atau titik. Blabar
(kontur) terbuka di beberapa tempat sehingga sosok dan latar
bersatu atau berjalin. Dengan cara ini Rusli dapat membiarkan
banyak bagian kanvasnya tetap putih tetapi mempunyai makna
(langit, tanah, rumputan), tergantung dari konteks. Dengan cara
demikian pula kanvas Rusli, kendati memberikan gambaran obyek,
dapat dilihat sebagai gubahan warna, garis, dan titik. Gubahan
yang berdenyut dan bergerak berirama dalam berbagai variasi
digerakkan oleh arus tenaga tangan yang mengalir lancar dan
spontan oleh arus tenaga hayat.
Tetapi, dalam sejumlah lukisan Rusli juga terdapat garis lurus,
bersudut. Ini kadang sulit menyatu dengan garis spontan yang tak
eksak, manakala kedua macam coretan itu digabung. Dalam Kota dan
Sunda Kelapa IV, garis lurus dalam wujud sapuan lebar digunakan
secara khusus dan mengagumkan. Jarang, dalam kanvas para pelukis
kawakan kita, dijumpai citra tenaga, efisiensi, presisi -
lambang teknologi dan kehidupan modern itu.
Kita dapat juga melihat keragaman Rusli dari sudut lain. Rusli
dapat "turun" lebih dekat kepada aspek kebendaan. Ulu Watu III
memperlihatkan bongkah cadas, yang mendukung pura itu, dengan
kepejalan, kekerasan, bahkan barik (tekstur) yang dapat kita
rasakan, lebih dari biasanya dalam lukisan Rusli. Dalam Taman -
termasuk jenis langka dalam seni lukis Rusli - kita dibawa intim
dengan daun satu per satu. Tapi Rusli juga bisa berada di ujung
lain, sangat jauh dari aspek kebendaan. Ulu Watu I boleh
dibilang sebuah "karya tulis", orang hampir hanya melihat garis
tebal yang lancar berliku dan beberapa titik. Pada masa
bangkitnya "lukisan kaligrafi" dalam beberapa tahun terakhir
ini, sesungguhnya Rusli penting diamati dan dipelajari.
Lalu sebuah lukisan, dikerjakan terakhir, yang menyembul dari
dunia lukis Rusli yakni Kapal. Di tengah kanvas berkerumun
beberapa garis lengkung, berpasangan dan bersetangkup dalam
bentuk menyerupai ikan atau daun, dengan sumbu panjang ke
beberapa arah. Mereka, yang berpendirian bahwa setiap garis
dan sapuan dalam lukisan harus "fungsional" sehubungan dengan
bentuk obyek yang digambarkan, atau deformasinya, atau
sehubungan dengan semangat lukisan, payah menangkap "maksud"
lukisan ini. Hiasan? Kita tidak tahu. Spontanitas, keterbukaan,
irama yang beragam, yang biasa terdapat dalam lukisan Rusli, tak
terdapat. Barangkali ini beberapa potong suara dari sebuah
bahasa yang Rusli belum paham.
Bagaimanapun, Rusli bukan jenis perfeksionis yang tak dapat
memaafkan cacat lukisannya. Dalam beberapa lukisan tampak cat
yang menumpuk di beberapa tempat yang menyebabkan spontanitas
tersendat dan kebeningan jadi keruh.
Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini