UNTUK penghuni dunia ratusan juta tahun yang akan datang, abad
ke-20 akan dicatat sebagai bagian dari Zaman Es di masa purba.
Lho? Setidak-tidaknya begitulah menurut sebuah teori yang sejak
bulan lalu ramai diperbincangkan.
Teori ini bertolak dari peranan karbon dioksida (CO2) dalam
perubahan iklim bumi. Pembakaran bahan bakar, yang makin
memuncak dari tahun ke tahun, sekaligus menghasilkan lebih
banyak CO2. Keadaan ini akan menghambat penurunan suhu, seperti
yang terjadi pada efek "rumah kaca" di negeri-negeri dingin.
Maka, kalau dibagi ke dalam dua skala, perubahan iklim itu
secara sederhana bisa dinamakan "masa dingin" dan "masa panas".
Para pendukung teori ini percaya, suhu bumi pada suatu periode
di masa lampau jauh lebih panas daripada yarig kita rasakan
sekarang. Mereka mencoba membuktikan 50 juta tahun lalu, daratan
yang berhampiran dengan Kutub Utara sekarang merupakan habitat
sequioias, buaya purba, dan nenek moyang kukang - makhluk yang
kini hidup umumnya di daerah hangat.
Efek "rumah kaca" sudah dikenal sejak ratusan tahun berselang.
Ketika itu, kadar CO2 pada atmosfer jauh lebih tinggi daripada
sekarang. Efek ini sama seperti yang terjadi pada planet Venus.
Kandungan CO2 pada atmosfer planet tersebut demikian padatnya
sehingga suhu permukaannya mencapai sekitar 435øC, jauh lebih
panas dari suhu normal yang dibutuhkan oven.
Kini, CO2 yang dipompakan ke udara memang makin banyak dari hari
ke hari. Proses itu terjadi melalui pembakaran batu bara, gas
alam, dan minyak bumi. Namun, dibandingkan dengan beberapa
periode di masa lampau, situasi sekarang hampir bisa disebut
tidak berarti.
Teori ini mencari pengukuhannya pada perkiraan di Zaman
Cretaceous, yang berlangsung selama 71 juta tahun (dari 136 juta
tahun yang lalu sampai 65 juta tahun yang lalu). Pada zaman itu,
konon, CO2 yang dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi jauh
lebih besar ketimbang akibat pembakaran masa sekarang.
Pada periode itulah, benua raya Pangaea terbelah menjadi
benua-benua 'kecil' masa kini. Samudra-samudra baru muncul
menyelinginya, antara lain yang kini kita kenal sebagai
Atlantik. Gunung berapi 'menyumbangkan' karbon dioksida melalui
dua cara. Pertama, dengan menyemburkan gas itu langsung ke
atmosfer. Dan, kedua, dengan cara menenggelamkan kawasan luas
permukaan bumi.
Dalam keadaan normal, CO bersenyawa dengan karang silikat, dan
menghasilkan beberapa mineral karbonat. Tapi, setelah daratan
luas tergenang air - akibat ledakan gunung berapi - persenyawaan
itu tak lagi dimungkinkan. Karbon dioksida lepas bebas ke
atmosfer dan mempercepat proses efek "rumah kaca" yang
membelenggu bumi dengan suhu yang makin tinggi.
Faktor-faktor inilah yang kini dikaji oleh, antara lain, Robert
A. Berner dari Universitas Yale, Antonio C. Lasaga dari
Universitas Pennsylvania, dan Robert M. Garrels dari Universitas
Florida Selatan. Mereka didukung oleh Philip A. Sandberg dari
Universitas Illinois, di Urbana. Yang disebut terakhir ini
memusatkan perhatiannya pada perubahan struktur kristal kalsium
karbonat yang mengendap di dasar samudra melalui berbagai
periode dalam sejarah bumi.
Selama 'penimbunan' CO2, hipotesa ini melihat penampilan
struktur kristal kalsium karbonat tadi dalam bentuk kalsit. Pada
saat lain, termasuk sekarang, struktur itu muncul dalam tipe
yang dikenal sebagai aragonit. Mineral ini bersuhu rendah, dan
terdapat tidak jauh dari permukaan endapan.
Zaman Prakambria, lebih dari 600 juta tahun lalu, dan Periode
Permia, sekitar 250 juta tahun lalu, dalam kata lain dapat
dinamakan "kurun aragonit". Begitu pula abad ke 20 ini. Kurun
ini ditandai dengan pencemaran udara dan atmosfer dengan
kandungan CO2, dan berkaitan dengan pembentukan struktur granit
di seluruh permukaan bumi. Gejala ini berhubungan erat dengan
kegiatan gunung berapi dan pelbagai banjir besar.
Pendapat ini didukun Dr.Eric Barron, dari Pusat Nasional Riset
Atmosfer di Boulder, Colorado. Barron menggunakan simulasi
komputer untuk melacak suhu global selama periode tersebut.
Hasilnya, suhu daerah kutub pada masa itu tidak berbeda jauh
dengan sekarang. Begitu pula keadaan iklim di daerah
khatulistiwa. Dengan kata lain, dunia sekarang menyongsong masa
panasnya yang dahsyat, ratusan juta tahun yang akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini