Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Abad ke-20, abad es

Abad ke-20 dicatat sebagai zaman es karena peranan karbon dioksida (co2) yang tertimbun akan membuat suhu semakin tinggi dan bumi akan semakin panas. (ilt)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK penghuni dunia ratusan juta tahun yang akan datang, abad ke-20 akan dicatat sebagai bagian dari Zaman Es di masa purba. Lho? Setidak-tidaknya begitulah menurut sebuah teori yang sejak bulan lalu ramai diperbincangkan. Teori ini bertolak dari peranan karbon dioksida (CO2) dalam perubahan iklim bumi. Pembakaran bahan bakar, yang makin memuncak dari tahun ke tahun, sekaligus menghasilkan lebih banyak CO2. Keadaan ini akan menghambat penurunan suhu, seperti yang terjadi pada efek "rumah kaca" di negeri-negeri dingin. Maka, kalau dibagi ke dalam dua skala, perubahan iklim itu secara sederhana bisa dinamakan "masa dingin" dan "masa panas". Para pendukung teori ini percaya, suhu bumi pada suatu periode di masa lampau jauh lebih panas daripada yarig kita rasakan sekarang. Mereka mencoba membuktikan 50 juta tahun lalu, daratan yang berhampiran dengan Kutub Utara sekarang merupakan habitat sequioias, buaya purba, dan nenek moyang kukang - makhluk yang kini hidup umumnya di daerah hangat. Efek "rumah kaca" sudah dikenal sejak ratusan tahun berselang. Ketika itu, kadar CO2 pada atmosfer jauh lebih tinggi daripada sekarang. Efek ini sama seperti yang terjadi pada planet Venus. Kandungan CO2 pada atmosfer planet tersebut demikian padatnya sehingga suhu permukaannya mencapai sekitar 435øC, jauh lebih panas dari suhu normal yang dibutuhkan oven. Kini, CO2 yang dipompakan ke udara memang makin banyak dari hari ke hari. Proses itu terjadi melalui pembakaran batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Namun, dibandingkan dengan beberapa periode di masa lampau, situasi sekarang hampir bisa disebut tidak berarti. Teori ini mencari pengukuhannya pada perkiraan di Zaman Cretaceous, yang berlangsung selama 71 juta tahun (dari 136 juta tahun yang lalu sampai 65 juta tahun yang lalu). Pada zaman itu, konon, CO2 yang dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi jauh lebih besar ketimbang akibat pembakaran masa sekarang. Pada periode itulah, benua raya Pangaea terbelah menjadi benua-benua 'kecil' masa kini. Samudra-samudra baru muncul menyelinginya, antara lain yang kini kita kenal sebagai Atlantik. Gunung berapi 'menyumbangkan' karbon dioksida melalui dua cara. Pertama, dengan menyemburkan gas itu langsung ke atmosfer. Dan, kedua, dengan cara menenggelamkan kawasan luas permukaan bumi. Dalam keadaan normal, CO bersenyawa dengan karang silikat, dan menghasilkan beberapa mineral karbonat. Tapi, setelah daratan luas tergenang air - akibat ledakan gunung berapi - persenyawaan itu tak lagi dimungkinkan. Karbon dioksida lepas bebas ke atmosfer dan mempercepat proses efek "rumah kaca" yang membelenggu bumi dengan suhu yang makin tinggi. Faktor-faktor inilah yang kini dikaji oleh, antara lain, Robert A. Berner dari Universitas Yale, Antonio C. Lasaga dari Universitas Pennsylvania, dan Robert M. Garrels dari Universitas Florida Selatan. Mereka didukung oleh Philip A. Sandberg dari Universitas Illinois, di Urbana. Yang disebut terakhir ini memusatkan perhatiannya pada perubahan struktur kristal kalsium karbonat yang mengendap di dasar samudra melalui berbagai periode dalam sejarah bumi. Selama 'penimbunan' CO2, hipotesa ini melihat penampilan struktur kristal kalsium karbonat tadi dalam bentuk kalsit. Pada saat lain, termasuk sekarang, struktur itu muncul dalam tipe yang dikenal sebagai aragonit. Mineral ini bersuhu rendah, dan terdapat tidak jauh dari permukaan endapan. Zaman Prakambria, lebih dari 600 juta tahun lalu, dan Periode Permia, sekitar 250 juta tahun lalu, dalam kata lain dapat dinamakan "kurun aragonit". Begitu pula abad ke 20 ini. Kurun ini ditandai dengan pencemaran udara dan atmosfer dengan kandungan CO2, dan berkaitan dengan pembentukan struktur granit di seluruh permukaan bumi. Gejala ini berhubungan erat dengan kegiatan gunung berapi dan pelbagai banjir besar. Pendapat ini didukun Dr.Eric Barron, dari Pusat Nasional Riset Atmosfer di Boulder, Colorado. Barron menggunakan simulasi komputer untuk melacak suhu global selama periode tersebut. Hasilnya, suhu daerah kutub pada masa itu tidak berbeda jauh dengan sekarang. Begitu pula keadaan iklim di daerah khatulistiwa. Dengan kata lain, dunia sekarang menyongsong masa panasnya yang dahsyat, ratusan juta tahun yang akan datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus