Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita berhasil!" ujar fisikawan David Reitze dalam konferensi pers di California Institute of Technology, Pasadena, Amerika Serikat, Kamis dua pekan lalu. Para ilmuwan dari Lembaga Riset Laser Interferometer Gravitational Wave Observatory (LIGO) yang dipimpin Reitze membuktikan untuk pertama kalinya keberadaan gelombang gravitasi misterius yang pernah diprediksi Albert Einstein seratus tahun lalu. Butuh waktu 50 tahun dan 100 ilmuwan hingga LIGO menemukannya.
Fisikawan Inggris, Stephen Hawking, mengatakan penemuan ini mengkonfirmasi prediksi yang sudah dimuat dalam teori relativitas umum Einstein. "Gelombang gravitasi memberi petunjuk baru untuk melihat jagat raya," kata Hawking kepada Discovery.
Semua berawal pada 14 September 2015 pagi, saat sistem LIGO yang dipasang di Livingstone, Washington, DC; dan Hanford, Lousiana, Amerika Serikat, mendeteksi munculnya sinyal pada frekuensi 35 hertz. Seperti ditulis Science, sinyal ini meningkat menjadi 250 hertz, lalu lenyap dalam waktu hanya 0,25 detik. Meski terpisah 3.000 kilometer, selisih sinyal yang diterima dua detektor cuma terpaut 7 milidetik. Selisih ini cocok dengan waktu yang dibutuhkan gelombang berkecepatan cahaya melintasi dua detektor.
Sinyal yang direkam LIGO berasal dari dua lubang hitam yang berakselerasi dengan bergasing satu sama lain hingga 250 kali per detik dalam jarak 210 kilometer. Ukuran mereka 36 dan 29 kali lebih besar daripada massa matahari, yang mencapai 2 juta triliun triliun kilogram atau 333 ribu kali massa bumi. "Hanya lubang hitam, yang terbuat dari energi gravitasi murni, yang mampu memuat massa sebesar itu dalam ruang yang sangat kecil," kata Bruce Allen, peneliti LIGO dari Max Planck Institute for Gravitational Physics, Hanover, Jerman.
Pusaran dua lubang hitam itu kian dekat hingga akhirnya menyatu dengan ukuran setara dengan 62 kali massa matahari. Ada energi setara dengan tiga kali massa matahari yang menghambur menjadi gelombang gravitasi dan menyebar ke segala arah. Jika dilihat sebagai cahaya, energi itu terangnya lebih dari semiliar triliun matahari.
Tumbukan dua lubang hitam itu diperkirakan terjadi 1,3 miliar tahun lalu dan gelombang gravitasinya baru menerpa bumi sekitar lima bulan lalu. Tapi gelombang itu merambat jauh sekali dari sumbernya sehingga,"Gelombang itu sudah mengalami pelemahan banyak sekali," kata Premana W. Premadi, pengajar di Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung. Ketika tiba di bumi, sinyalnya sangat lemah.
Namun LIGO adalah "telinga" paling peka di dunia. Perangkat ini mampu "mendengar" suara paling halus di bumi. Caranya dengan menembakkan sinar laser yang membelah ke dua tabung, yang panjangnya masing-masing 4 kilometer. Di ujung tabung ada cermin yang membalikkan sinar itu ke detektor. Bila tak ada gangguan, lintasan sinar yang stabil itu hanya menghasilkan data gelombang yang stabil.
LIGO dirancang untuk menangkap suara gelombang benturan bintang neutron. Meski sangat lemah, riak ini bisa "didengar" oleh tabung-tabung detektor hampa udara LIGO. Detektornya yang sangat sensitif dan bisa mengetahui pergeseran di dalam interferometer sebesar 1/10.000 diameter proton saat gelombang gravitasi menerpanya. Instrumen itu juga tak akan terganggu distorsi dan vibrasi dari suara gemuruh di bumi, seperti gelombang gempa, kebisingan lalu lintas, atau deru ombak.
Dengan kemampuan itulah LIGO dapat mendengar gelombang gravitasi yang sangat lemah ketika tiba di bumi. Energi gelombang itu hanya menggeser jarak antarcermin LIGO tak lebih besar dari diameter partikel subatomik proton. Terpaan gelombang ini diperkirakan juga membuat bumi mengembang dan berkontraksi, tapi tak lebih dari lebar dari separuh diameter inti atom.
"Selama ini kita betul-betul tak bisa mendengar gelombang gravitasi," kata Reitze, seperti ditulis Christian Science Monitor. "Setelah ini kita bisa mendengar lebih banyak hal."
Premana mengatakan gelombang gravitasi memang sulit dilacak. Ilmuwan tak bisa memasang detektor tanpa tahu sinyal seperti apa dan seberapa besar frekuensinya. Apalagi proses dari dua lubang hitam yang bergasing hingga menyatu berlangsung sekejap. "Waktunya sebentar sekali dan gelombang yang kita terima sangat lemah," kata Premana kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
ALBERT Einstein memperkenalkan teori relativitas umum pada 1915, yang mematahkan pandangan manusia tentang jagat raya selama 200 tahun sejak era Isaac Newton. Menurut Einstein, alih-alih statis dan kaku, jagat raya merupakan ruang-waktu relatif yang dinamis. Pergerakan materi dan energi bisa mengguncang struktur jagat raya layaknya seseorang bergerak saat tidur dan bobot tubuhnya membuat kasur melesak.
Guncangan di jagat raya itu menyebabkan ruang-waktu memulur, tertekan, memampat, bahkan kolaps. Inilah konsep gelombang gravitasi yang disebutkan Einstein. Selain mempengaruhi ruang-waktu, riak-riak ini bahkan membuat cahaya, yang tadinya dianggap bergerak lurus, bisa melengkung.
Sejak dicetuskan Einstein, gelombang gravitasi terus menjadi misteri. Selain hitung-hitungan matematis, sulit sekali membuktikan keberadaannya. Bahkan banyak ilmuwan yang ragu gelombang itu cukup kuat untuk dideteksi. Tak sedikit pula yang langsung menyatakan gelombang semacam itu tak pernah ada.
Einstein bahkan sempat ragu terhadap teorinya sendiri. Kepada Karl Schwarzschild, ilmuwan yang menemukan lubang hitam, Einstein pernah mengatakan bahwa gelombang gravitasi itu tak ada. Tapi tak lama kemudian mereka justru mengoreksinya dan menganggap gelombang itu nyata.
Dua puluh tahun setelah memperkenalkan konsepnya, Einstein membuat laporan ke jurnal Physical Review Letters, yang isinya justru mempertanyakan eksistensi gelombang gravitasi. Tulisan Einstein ditolak para peninjau di jurnal itu karena dinilai memiliki kelemahan kalkulasi. Einstein lagi-lagi merevisi perhitungannya sendiri, yang berujung pada konfirmasi keberadaan gelombang gravitasi.
Titik terang terhadap riset gelombang gravitasi muncul ketika Joseph Webber, ahli fisika dari University of Maryland, pada 1969 mengklaim berhasil mendeteksi gelombang itu menggunakan antena berupa silinder aluminium sepanjang tiga meter. Seperti ditulis The New York Times pekan lalu, riset Webber ternyata tak bisa ditiru—syarat umum dalam metode ilmiah. Tak sedikit yang ragu akan keberadaan gelombang gravitasi, tapi eksperimen Webber memancing banyak ilmuwan berlomba mencari tanda-tanda adanya gelombang gravitasi di jagat raya.
Pada 1978, astronom Joseph H. Taylor dan Russell A. Hulse menemukan dua bintang neutron, sisa-sisa bintang mati, yang saling mengorbit. Keduanya kehilangan energi dan terus mendekat dengan kecepatan sesuai yang diprediksi jika mereka memancarkan gelombang gravitasi. Temuan ini membuat Hulse dan Taylor diganjar Hadiah Nobel pada 1993.
Proyek LIGO berawal dari kerja sama tiga fisikawan, Kip Thorne dan Ronald Drever dari California State of Technology serta Rainer Weiss dari Massachusetts Institute of Technology, pada pertengahan 1970-an. Meski bukan bahan riset populer di masa itu, mereka berkukuh mempelajari hubungan antara lubang hitam dan gelombang gravitasi.
Mereka berhasil meyakinkan National Science Foundation untuk menyokong riset tersebut. Selama 40 tahun, lembaga itu mengucurkan dana hingga US$ 1,1 miliar untuk penelitian tersebut. Menurut France Cordova, Direktur National Science Foundation, lembaganya berusaha keras mempertahankan riset ini di tengah kritik tajam karena dinilai memboroskan anggaran.
Butuh delapan tahun untuk menyelesaikan pembangunan detektor LIGO sejak 2002. Antenanya berbentuk L dengan lengan-lengan identik berupa tabung sepanjang 4 kilometer. Di dalam setiap lengan, terbungkus berlapis-lapis baja dan beton, terdapat ruangan kaca panjang yang hampa udara. Di setiap ujung lengan digantung cermin yang terisolasi dari segala guncangan dan derit lingkungan sekitarnya. Setelah 13 tahun "mendengarkan" alam semesta, akhirnya pada September tahun lalu LIGO merekam sinyal gelombang gravitasi itu.
Menurut Reitze, kekuatan sinyal itu sesuai dengan prediksi teori relativitas umum pada lubang hitam dalam kalkulasi simulasi komputer. Reitze mengatakan sensitivitas instrumen LIGO terus ditingkatkan dan bisa mendeteksi lubang hitam berukuran hingga 500 kali massa matahari yang jaraknya sangat jauh dari bumi. "Ada kemungkinan penemuan hebat lain di jagat raya setelah kita mencapainya nanti," kata Reitze.
Keberhasilan LIGO menemukan gelombang gravitasi ini membuat lembaga itu digadang-gadang meraih Nobel Fisika. Sukses LIGO ini pun berdampak lebih jauh. Profesor Neil Turok, Direktur Perimeter Institute for Theoretical Physics di Kanada dan bekas rekan peneliti Stephen Hawking, menyebut penemuan sinyal oleh LIGO ini sebagai sebuah era baru dalam astronomi.
"Bayangkan misalnya gelombang radio. Ketika gelombang itu ditemukan, kita belajar berkomunikasi dengan gelombang tersebut. Komunikasi bergerak masa kini sepenuhnya bersandar pada gelombang radio," kata Turok kepada The Guardian. "Bagi astronomi, observasi radio mungkin mengisahkan kepada kita ihwal struktur semesta. Kini kita mendapat gelombang gravitasi, maka kita akan menangkap seluruh gambaran semesta, termasuk hal-hal yang tak memancarkan cahaya, seperti lubang hitam dan materi gelap."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo