Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya dwimatra berjudul Lartucira#2 itu berwarna hijau. Sehijau lumut yang saling tumpuk. Sesekali warna itu tercampur dengan bercak-bercak kecokelatan dan sedikit percikan putih. Lukisan abstrak dominan hijau yang dipajang di Roh Gallery, Equity Tower, SCBD, Jakarta Selatan, sejak pekan lalu itu bukanlah lukisan cat di atas kanvas. Bukan pula lukisan di atas kertas. Ini adalah karya yang dibuat dari lumut, tumbuhan yang sering ditemukan di pinggir jalan atau kadang berdiam di atas bebatuan.
Syaiful Aulia Garibaldi menggunakan lumut sebagai medium dalam berkarya. Dia menumbuhkan lumut di atas fiberglass, mempercepat proses pertumbuhannya, lalu memindahkannya ke papan aluminium dan menyemprotnya dengan fixative—sejenis cairan kimia yang digunakan untuk menstabilkan bahan biologis. Voila! Jadilah lukisan abstrak memukau berbahan biologis.
"Lumut ini dalam kondisi dormant, mati suri. Tapi kalau sewaktu-waktu ingin ditumbuhkan kembali bisa. Setelah cairan tadi diangkat," kata Syaiful, Rabu pekan lalu. Syaiful telah lama memfokuskan diri dalam seni biologis. Akhir tahun lalu, misalnya, dia memamerkan Inner Recesses, instalasi jamur yang ditumbuhkan di Ark Galerie Yogyakarta.
Lewat medium Dacron, dia merancang karya dari substrat jamur merang (Volvariella volvacea) yang terus tumbuh selama pameran berlangsung. Pengalaman mereka yang datang pada awal pameran akan berbeda dengan pengalaman yang hadir pada akhir pameran, ketika fungi itu telah tumbuh memenuhi seluruh serat Dacron yang dirancang bak jaring berpola kipas dan berhias sinar ultraviolet keunguan.
"Saya memang tertarik dengan makhluk-makhluk mikrobiologis, yang kasat mata, tetapi memiliki impact pada kehidupan kita," kata Syaiful. Seniman 30 tahun ini lulus dari seni grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung tujuh tahun lalu. Sebelumnya, dia sempat menempuh pendidikan di Jurusan Agronomi Universitas Padjadjaran selama dua tahun. Dua latar pendidikan berbeda itu banyak mempengaruhi karyanya selama ini.
Dalam pameran tunggal ketiganya yang digelar hingga 13 Maret mendatang, Syaiful menampilkan 14 karya yang terinspirasi dari makhluk mikroskopis. Namun, berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang fokus pada proses kehidupan, proses tumbuh dan berkembang, kali ini dia berfokus pada makhluk mikroskopis dalam keadaan diam. Itu sebabnya pameran ini diberi judul Quiescent, yang bermakna diam, yang tertidur, dalam kondisi dormant.
Ada dua seri lukisan akrilik di atas kertas yang dia tampilkan dalam pameran ini. Yang pertama adalah seri Lartucira#9, #10 dan #11. Seri ini menampilkan konstruksi imajiner koloni makhluk mikrobiologi dalam warna-warna tanah. Bagian dari lumut seperti arkegonium, tangkai, operkulum, kaliptra, dan sporangium dirancang ulang dalam bentuk-bentuk baru dalam bidang kertas berukuran 120 x 180 hingga 520 x 300 sentimeter. Latarnya sendiri dibiarkan putih. "Saya mengkonstruksi ulang bentuk-bentuk yang saya lihat dengan mikroskop elektron yang diperbesar 100 hingga 1.000 kali," kata Syaiful.
Adapun pada seri Lartucira #3, #4, #5, dan #6, Syaiful merancang ulang bentuk-bentuk makhluk mikroskopis setelah pembesaran hingga 10 ribu kali. Untuk seri ini, Syaiful memberikan latar hitam. Sedangkan untuk bagian-bagian tubuh makhluk serupa fungi dan lumut, Syaiful menorehkan warna neon, yang menyala di antara latar hitam. Efek tiga dimensi dari lukisan seri ini terlihat lewat guratan serat, akar-akar rhizoid, dan spora melingkar yang bertaburan. Sepintas karya-karya ini tampak seperti alien yang berpendar dalam kegelapan malam.
Syaiful tidak berhenti pada karya dwimatra. Pada Lartucira #12, Syaiful menggunakan kuningan sebagai medium dalam menciptakan makhluk mikroskopis rekaannya. "Jamur metal" itu terlihat tua berwarna kehijauan dengan bintik-bintik putih di beberapa bagian. Bintik putih yang lazim disebut buras ini biasanya justru dihindari para seniman karena memiliki efek serupa karat dalam besi. Di tangan Syaiful, buras ini justru sengaja diciptakan lewat reaksi kimia.
"Saya justru sengaja menumbuhkan agar terlihat tua dan lama. Saya mengejar efeknya," kata Syaiful. Menurut dia, buras ini bisa diciptakan dengan memberikan cuaca ekstrem pada lapisan kuningan yang dia kehendaki. "Saya tempelkan bibitnya lalu saya basahi dan panasi bagian-bagian tertentu dengan gas," katanya.
Pada karya trimatra lain, dia membangun Lartucira #15 dan #16. Karya ini merupakan rangka besi yang pada beberapa sisinya dipasangi substrat jamur tiram (Pleurotus ostreatus), sebelum disiram dengan plester gipsum. "Gipsum ini memberikan lingkungan lembap, sehingga substrat jamur yang dipasang di beberapa bagian bisa tumbuh," kata Syaiful. Setiap pekan Syaiful dan timnya mengecek karya-karya ini untuk membuka ruang bagi jamur ini untuk tumbuh.
Lartucira, nama seluruh karya dalam pameran ini, bermakna diam. Kata ini diambil dari bahasa Terhah, bahasa dan aksara yang diciptakan Syaiful sepanjang berkarya. Sejak fokus pada bio-seni, Syaiful menciptakan bahasa sendiri. Aksaranya juga dia rancang berdasar bentuk-bentuk koloni mikrobiologi yang disederhanakan. Saat ini, kata dia, ada 28 aksara yang telah dia ciptakan. "Dan masih terus berkembang," katanya sembari menekankan bahwa dia masih mempelajari linguistik untuk menyempurnakan bahasa fiksi yang dia ciptakan ini.
Aksara-bahasa Terhah ini yang dijadikan pula karya Lartucira #1 dan Lartucira #14. Pada Lartucira#1, pernyataan Syaiful tentang pameran ini ditulis dalam aksara yang dia rancang. Sementara pada Lartucira #14 Syaiful menampilkan video live streaming dengan instalasi suara. Lewat karya ini, pengunjung dipersilakan menyaksikan video live yang disorot oleh kamera dengan sensor Nintendo Wii dari PlayStation 3 ke jamur tiram. Sensor ini mampu membaca gerakan spora kasat mata yang beterbangan di sekitar jamur.
Setiap gerakan yang terekam dari spora jamur ini memicu percakapan dalam bahasa Terhah. "Jadi, bila bergerak ke kiri, misalnya, ada bunyi serupa cuar. Lalu, ketika spora lain bergerak ke arah berbeda, ada suara berbeda pula," kata Syaiful. Setiap pergerakan spora memicu suara yang bila didengarkan seperti percakapan dalam bahasa Terhah. Lewat karya-karya ini Syaiful mengaburkan batas-batas antara seni, sains, dan teknologi. Syaiful tidak sekadar menciptakan sebuah karya, tetapi dunia tersendiri dari makhluk-makhluk kasatmata yang hidup di sekitar kita.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo