Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAK tamu agung, Alex Teixeira disambut kerumunan orang di pintu kedatangan internasional Bandar Udara Nanjing Lukou, Provinsi Jiangsu, Cina, 13 Februari lalu. Spanduk berlatar biru dengan tulisan "Jiangsu Fighting, Jiangsu Suning Football Club" terbentang di tangan para suporter klub sepak bola dari bagian timur Cina itu. Pengawalan khusus disediakan lengkap dengan penyambut tamu yang membawa rangkaian bunga bagi pesepak bola asal Brasil tersebut.
Alex Teixeira memang menjadi pemain yang paling dinanti suporter Jiangsu Suning. Gelandang yang dibeli dari klub Ukraina, Shakhtar Donetsk, itu adalah pemain termahal di bursa transfer pemain selama Januari-Februari ini dengan nilai 38 juta pound sterling atau sekitar Rp 733,9 miliar.
Transfer Alex membuat dunia sepak bola gempar. Sebelum memutuskan ke Cina, pemain 26 tahun itu disebut-sebut akan berlabuh ke klub Liga Primer, Liverpool. "Semua orang tahu saya ingin bermain di Liga Inggris. Tapi, sayangnya, semua proposal yang datang tidak menarik. Saya mendapatkan penawaran serius dari Cina. Tentu saja saya memutuskan pindah ke sini," ujarnya.
Bukan hanya Alex, klub-klub Cina memborong banyak pemain top Eropa sepanjang Januari-Februari ini. Jiangsu memboyong Ramires dari Chelsea dengan mahar sekitar Rp 482,8 miliar. Penyerang Atletico Madrid, Jackson Martinez; penyerang AS Roma, Gervinho; penyerang Inter Milan, Fredy Guarin; dan penyerang Paris Saint-Germain, Ezequiel Lavezzi, masuk rombongan eksodus pemain dari liga Eropa ke Negeri Tirai Bambu.
Padahal mereka termasuk pemain yang masih produktif dan memiliki karier yang menjanjikan di Eropa. Usia mereka juga baru berkisar 26-28 tahun, bukan seperti para pemain yang memilih eksodus ke Liga Amerika karena sudah berumur dan tak sanggup lagi berkompetisi di ketatnya liga-liga Benua Biru.
Keputusan untuk pindah ke Liga Super Cina juga bisa berdampak buruk bagi karier mereka di tim nasional. Biasanya pesepak bola akan berusaha sekuat tenaga menembus tim-tim besar Eropa untuk membuktikan kemampuan mereka. Tujuannya untuk menarik perhatian pelatih dan tentu saja bermain di tim nasional.
Konsekuensi itu bukannya tak disadari oleh Alex dan pemain lain yang hijrah ke Cina. Namun Alex yakin sepak bola Cina akan tetap mampu membawanya ke tim nasional. "Pada tahap ini, tim nasional Brasil memang akan menjauh dari saya. Tapi kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti," katanya.
Mantan pelatih tim nasional Inggris, Sven-Goran Eriksson, yang kini melatih Shanghai SIPG, klub milik perusahaan pengelola pelabuhan Shanghai International Port Group, mengatakan bahwa eksodus para pemain top itu didorong oleh alasan ekonomi dan klub Cina rela mengeluarkan fulus besar. Pada bursa transfer dua bulan ini, klub-klub Cina sudah menggelontorkan sekitar Rp 3,751 triliun untuk membeli pemain top.
Nilai itu mengalahkan total transfer klub Liga Inggris selama bursa transfer Januari lalu, yang mencapai Rp 3,33 triliun. Angka itu bahkan mengalahkan gabungan nilai transfer klub dari Liga Italia, Spanyol, Prancis, dan Jerman, yang hanya Rp 2,6 triliun. Jumlah belanja klub Cina diperkirakan bertambah karena bursa transfer Cina masih bergulir hingga akhir bulan ini.
Soal gaji, klub Cina juga tak segan-segan mengguyurkan uang. Alex mendapat bayaran Rp 154 miliar lebih setahun, hampir separuh pendapatan pemain Real Madrid, Cristiano Ronaldo, yang dianggap pemain dengan pendapatan terbesar saat ini. Gaji Lavezzi bahkan lebih mencengangkan. Penyerang asal Argentina itu mendapat bayaran hampir Rp 200 miliar setahun—menjadikannya pemain dengan gaji tertinggi kesepuluh di dunia, menggeser posisi penyerang Barcelona, Luis Suárez.
"Anda tak bisa menafikan fakta bahwa uang adalah faktor utama. Para pemain bintang itu tak bisa menolak kucuran dana dari Cina," ujar Eriksson.
Revolusi sepak bola di Negeri Panda bermula sejak terpilihnya Xi Jinping sebagai presiden pada 2013. Sementara pada era sebelumnya ekonomi Cina digerakkan dari sektor manufaktur, Jinping memulai babak baru dengan menggenjot bidang hiburan dan olahraga. Pengamat sepak bola Cina yang berbasis di Guangzhou, Christopher Atkins, mengatakan Jinping sadar bahwa sektor manufaktur akan mengalami perlambatan dalam beberapa tahun mendatang.
Ide Jinping itu dituangkan dalam master plan Cina 2015-2025, yang diluncurkan pada akhir 2014. Tak tanggung-tanggung, dia menargetkan nilai pendapatan industri olahraga di Cina melonjak 15 kali lipat dalam 10 tahun, dari 320 miliar yuan pada 2015 menjadi 5 triliun yuan pada 2025. Untuk menarik dana, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina itu menawarkan insentif yang menggiurkan dengan memotong pajak pendapatan perusahaan yang berinvestasi di bidang olahraga, dari 5-20 persen menjadi 3 persen saja.
Jinping juga membuat kebijakan yang mendorong para investor asing masuk ke industri hiburan dan sepak bola Cina. Sementara sebelumnya Cina tak memperbolehkan investor asing masuk ke sektor itu, pemerintah Jinping justru menghapus sektor itu dari daftar negatif investasi.
Meskipun belum mendapatkan investasi besar dari luar, tawaran Jinping disambut baik di dalam negeri. Pemilik Alibaba.com, salah satu toko online terbesar di dunia saat ini, Jack Ma, misalnya. Dia membeli 50 persen saham klub Guangzhou Evergrande senilai Rp 2,6 triliun pada akhir 2014.
"Di Cina, perusahaan sangat membutuhkan hubungan baik dengan pemerintah dan karena itu kerap memberikan bantuan kepada inisiatif pemerintah dengan melihatnya sebagai kepentingan nasional," kata Atkins.
Kehadiran Ma di Guangzhou Evergrande membawa perubahan besar. Guangzhou mendatangkan gelandang Tottenham Hotspur, Paulinho, dan mengontrak mantan pelatih yang sukses membawa Brasil jadi juara dunia, Luiz Felipe Scolari. Hasilnya, dalam tiga tahun terakhir Guangzhou Evergrande mampu menyabet dua gelar Liga Champions Asia. Klub itu juga membuat kejutan dengan masuk menjadi semifinalis Piala Dunia Antarklub, akhir tahun lalu.
Para pengusaha Cina juga memburu klub-klub besar Eropa untuk memperkuat afiliasi mereka. Atletico Madrid dan Manchester City kini tercatat sebagai dua klub besar yang sebagian sahamnya dimiliki pengusaha Cina. Atletico menjual 20 persen sahamnya kepada Wang Jianlin, taipan properti dan orang terkaya di Cina. Adapun City menjual 13 persen sahamnya ke dua perusahaan, China Media Capital (CMC) dan perusahaan investasi CITIC Capital, senilai Rp 5,5 triliun.
CMC, yang dimiliki oleh Li Ruigang, orang dekat Jinping di Partai Komunis Cina, juga membuat gebrakan dengan membeli hak siar eksklusif Liga Super Cina selama lima tahun ke depan pada Oktober tahun lalu. Nilai kontraknya Rp 17,5 triliun, naik 10 kali lipat dari nilai sebelumnya. Dengan uang itu, klub-klub Cina bisa berbelanja pemain top dan harapannya akan meningkatkan jumlah penonton Liga Super Cina.
Langkah Cina itu membuat khawatir sebagian klub besar Eropa. Manajer Arsenal Arsene Wenger mengakui hal itu. Menurut dia, sepak bola di Cina tak hanya digerakkan oleh kekuatan ekonomi, tapi juga politik. "Liga Primer harus khawatir karena Cina memiliki kekuatan ekonomi untuk memindahkan seluruh liga di Eropa ke sana," ujarnya. "Saya tidak tahu seberapa besar hasrat Cina. Tapi, jika didorong hasrat politik yang kuat, kami harus khawatir."
Febriyan (Dailymail, Guardian, Skysport, Forbes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo