SAIFUDDIN Syarief sering merasa sedih. Terutama bila setiap kali
ia pulang kampung. Insinyur pertanian Unpad (1973) ini trenyuh
hatinya menyaksikan tanah-tanah gersang dan gundul. Belum lagi
yang longsor kena erosi. Tanah tidak produktif itu menjadi
"tanah mati".
"Saya berpikir bagaimana mengatasinya agar humus - zat penyubur
tanah yang terbentuk karena pembusukan dedaunan - tidak ikut
larut tergerus air," katanya. Tiga tahun setelah lulus,
Saifuddin 38, sempat meneliti soal itu ketika mempelajari ilmu
fisika tanah di Belgia dan Italia. Dan dua tahun lalu ia
berkesempatan meneliti lahan pertanian yang dicadangkan untuk
para transmigran.
Dalam penelitian di lapangan dan laboratorium, ia menemukan cara
pencegahan erosi, sekaligus memantapkan tanah dan menambah
tingkat kesuburannya. Dan 5 November lalu ayah tiga anak itu
berhasil menggondol gelar doktor dengan predikat cum laude di
Unpad.
Menurut Saifuddin, 60% lahan pertanian di Indonesia berombak dan
bergunung-gunung. Celakanya, sebagian besar tanah yang tidak rata
itu merupakan tanah podsolik. Jenis tanah seperti itu tersebar
di seluruh tanah air, terutama di Sumatera. Yang mengherankan,
seluruh areal tanah di Provinsi Bengkulu merupakan tanah
podsolik yang sanat mudah terkena erosi.
Tanah podsolik yang berwarna kuning kemerah-merahan itu
bentuknya kasar berbutir-butir bercampur bebatuan, sifat
fisiknya sangat jelek, dan miskin humus. Tanah ini memang
terbentuk dari batu-batuan dan bersifat asam, hingga tidak
subur. Tanah semacam inilah yang dijadikan bahan penelitian di
laboratorium Fakultas Pertanian Unpad.
Saifuddin membuat petak-petak berisi tanah podsolik, dengan
kemiringan yang berbeda-beda. Ia juga membuat "hujan" di atas
petak-petak itu - setelah tanahnya disemproti satu dari tiga
macam zat pemantap: lateks, polyacrylamide (PAM), dan bitumen
emulsi, yaitu residu minyak, bahan pembuat aspal.
Penelitian menunjukkan, cairan zat pemantap mampu membuka
pori-pori, sekaligus memperkuat daya ikat tanah. Dengan
demikian, tanah menjadi terbuka dan mampu menyerap air lebih
banyak, sementara butir-butir tanah tidak mudah terpisah bila
tertimpa percikan hujan. "Ternyata, zat pemantap lateks dan PAM
lebih mampu mencegah erosi Fada kemiringan lereng yang berbeda
daripada bitumen yang menolak air," katanya.
Namun, ia lebih menyarankan penggunaan lateks karena mudah
diperoleh di perkebunan rakyat. "Sedangkan PAM harus diimpor dan
harganya mahal," katanya. Untuk penyebaran zat pemantap di
lahan-lahan yang luas, Saifuddin menyarankan penempatannya dalam
lubang-luban. "Kalau disemprotkan dari udara, lebih banyak yang
hilang terbawa angin," ujarnya.
Dengan zat pemantap lateks, hasil produksi meningkat 50%, sedang
biaya untuk pemantapan hanya sekitar 10% dari hasil produksi.
Untuk mencapai hasil yang baik, lateks yang disebar di
permukaan tanah harus benar-benar kering. "Karena itu, paling
tidak selama tiga hari setelah pemantapan, tanah tidak boleh
terkena air. Kalau tidak, akan terjadi penggumpalan dan
pembusukan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini