Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tabik untuk usia tua

Peringatan hut ke-25 studiklub teater bandung, berdiri 30 oktober 1958. selama itu berhasil mengadakan pementasan 1-4 kali setahun. stb juga menyelenggarakan kursus akting. (ter)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTAMA kalinya di Indonesia: sebuah grup teater berhasil merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Usia seperempat abad, apa boleh buat, rupanya cukup tua-untuk kelompok seniman panggung jenis 'modern' di Indonesia yang masih tetap berkarya. Bengkel Teater Rendra, Teater Populer Teguh Karya, Teater Kecil Arifin C. Noer, Teater Mandiri Putu Wijaya, Teater Koma Nano Riantiarno, Teater Saja Ikranagara, yang sebagiannya sudah tak terdengar kabarnya, semuanya berada di bawah kelompok ini dalam hal usia. Dilihat dari situ, pantas bila Studiklub Teater Bandung (STB) merayakan ulang tahunnya yang ke-25 dengan agak besar-besaran. Arifin, Teguh, Putu, Nano, Ikra, antara lain, datang ke Bandung - selain yang dari Bandung sendiri. Sebagian dari mereka menyumbang pementasan pula, 29 Oktober malam di Gedung Rumentang Siang - dan kursi yang berjumlah 400 itu terisi penuh dengan harga karcis Rp 1.000. Lalu diskusi teater diadakan esoknya, di aula Pikiran Rakyat. Ada pula pameran di gedung PWI Jawa Barat: foto-foto, poster, dan bendabenda lain dari kegiatan teater di Bandung dan Jakarta, berlangsung sampai 5 November. Terakhir, sampai dengan 13 Novemher selama empat hari STB sendiri mementaskan saduran Romeo dan Yuliet Shakespeare di Rumentang Siang. Biaya seluruhnya sekitar Rp 6 juta. Padahal, grup ini, resminya, tak punya kekayaan. Tak punya tempat latihan permanen atau sanggar. Bahkan tak punya anggota tetap. Selama seperempat abad, di STB orang datang dan pergi - hanya dipersatukan oleh "ikatan batin", ujar Suyatna Anirun, sutradara utama dan sesepuh STB sejak 1969. Yakni sejak pemimpin lama, Jim Lim, meninggalkan Bandung dan pindah ke Paris. Suyatna memang pembantu Jim Lim, pemain yang pernah hampir legendaris di kalangan para tokoh teater Indonesia - sebelum Rendra, Arifin, dan Teguh, misalnya, menggantikan tempatnya. Jim sendiri, salah seorang pendiri STB, yang didirikan pada 30 Oktober 1958 - dengan sebagian besar pendukung, mula-mula para mahasiswa Seni Rupa ITB - adalah salah satu pembawa arus terpenting teater 'modern' sesudah Kemerdekaan: Yakni masa ketika orang menganggap 'drama' sebagai sekumpulan ilmu yang rumit, didukung dengan teori akting terjemahan dari buku berbahasa Inggris, juga dengan naskah terjemahan asing, atau naskah Indonesia dengan dramaturgi Barat - yang menyebabkan orang Indonesia sendiri banyak merasa asing. Seperti kata Suyatna kepada TEMPO, "Kondisinya menyebabkan kami banyak menggelarkan karya Barat." Toh, dituturkannya naskah asing itu mulai berkurang sejak 1970, ketika mereka mulai mengadaptasi. Dan adaptasi, usaha menembus keasingan - selain praktis mengurangi kesulitan para pemain - memang salah satu ciri STB. Juga bila itu hanya berarti penggantian lokasi permainan, nama-nama peran, serta pakaian mereka, dan bukan jiwa - seperti bisa diingat dari pementasan Lingkaran Kapur Putih Brecht (1978), Jambangan Pecah von Kleist (1979), atau Kuda Perang Goethe (1982). Ataupun pementasan HUT kemarin ini, Romeo dan Yuliet. Romeo-nya bernama Urawa, Yuliet-nya Arini. Semua peran berpakaian Jawa, setting-nya Jawa, logat bicaranya Indo-Eropa mbakyu-mbakyu yang berkain dan ber-kemben itu mondar-mandir (dan bukan duduk takzim) dengan monolog Shakespeare. MEMANG ada adaptasi yang pas, misalnya Tabib Tetiron (1976), karya STB - di bawah pimpinan Suyatna yang barangkali paling bagus. Lebih lagi, tingginya nilai pementasan karya Moliere itu juga karena ia terbebas dari ciri lain yang juga khas STB: kelambanan. Bahkan untuk komedi yang sedianya kocak dan sukses seperti Karto Lak, adaptasi dari Ben Jonson (1973). Para pemain, yang begitu dipolakan dan tak pernah kelihatan bebas, jarang sekali menunjukkan diri mereka punya force, alias greget. Di STB, tempo dan ritme seperti tidak masuk pelajaran. Toh jasa grup ini jelas: selama seperempat abad berhasil mengadakan pementasan 1 kali setiap tahun. Dan itu penting sekali meski jumlah pengunjungnya sangat jauh di bawah penonton, misalnya, Remy Sylado yang di Bandung tak pernah mendapat pemberitaan pers, dan yang kemudian hijrah itu. STB juga menyelenggarakan kursus akting, tentunya demi kontinuitas. Dalam pada itu, kedudukan para pimpinan atau seniornya sendiri menguntungkan teater. Sebagian dari mereka di Pikiran Rakyat - termasuk Suyatna, redaktur kebudayaan. Ada yang jadi staf pimpinan gedung pertunjukan Rumentang Siang. Ada yang mengajar di ITB, dan di Institut Kesenian Indonesia di Bandung. Ada pula, sebagai tambahan, yang di DPRD. Untuk setiap pementasan, koran besar seperti Pikiran Rakyat bisa tiga sampai lima kali memuat bentanya, awal dan akhir. Dan berlangsunglah kegiatan kebudayaan yang rutin. Tapi justru faktor itulah, agaknya, yang memelihara kelangsungan kelompok ini - selain ketekunan pengasuh yang sangat tenang dan berjiwa guru seperti Suyatna. Kerutinan, dan bukan ekspresi, memang bisa abadi: tak ada orang yang bisa berekspresi seperempat abad terus-menerus. Kecuali bila ada tenaga cadangan atau pengganti. Dan itulah yang tak ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus