Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menumpas rabun dengan radial

Operasi radial pada kornea mata sudah dilakukan di jakarta oleh dr. raman ramayana salam di klinik mata di RS. Halim Perdanakusuma. bisa mengurangi minus pada mata penderita miop.(ksh)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDERITA rabun mata di Indonesia tak perlu terbata-bata lagi. Diam-diam di Jakarta kini telah bisa dilaksanakan teknik baru mengoperasi mata untuk mengurangi minus dan bahkan menghilangkannya sama sekali hinga kaca mata tak perlu lagi dipakai. Itu berkat teknik operasi penyayatan kornea dengan sistem radial (Radial Keratotomy-RK) yang di Indonesia kini baru dilaksanakan di klinik mata RS Halim Perdanakusuma. Dokter Raman Ramayana Salam, 45, yang pernah mempelaiari ilmu itu di Houston, Texas, AS, dengan demikian menjadi ahli pertama yang menerapkan operasi untuk menolon para penderita miop (myopiarabun jauh, pemakai kaca mata minus biasa) dan astigmatis (rabun jauh dan dekat, pemakai kaca mata minus silinder) itu di Indonesia. Dia mempelajari teknik itu dari dua profesor Amerika dan setelah lulus diberi kesempatan mengoperasi puluhan mata bule penderita miop dan astigmatis di sana. Dari negeri itu pula Raman memboyong seperangkat alat operasi berharga belasan juta rupiah buat Indonesia. Semua peralatan baru itu kini tersusun rapi di klinik RS yang dipimpinnya di kawasan lapangan udara Halim. "Sudah puluhan pasien yang saya operasi. Hasilnya mudah-mudahan memuaskan," kata kolonel TNI-AU itu. Di kliniknya yang berukuran 6 x 7 meter itu sejak beberapa bulan lalu telah dioperasi sejumlah anggota ABRI dan pasien umum yang datang sendiri atau dikirim oleh bagian mata RSCM. Misalnya, Trimurni, gadis berusia 18 tahun yang hampir putus asa karena minus matanya semakin tinggi selama bertahun-tahun. Remaja berhidung mancung dengan rambut ikal setengkuk itu berada pada kondisi "setengah buta" ketika dioperasi Raman. Soalnya, setelah diukur, minus matanya mencapai 28 dioptri - ukuran lensa yang tak dijual di optik-optik di Indonesia. Dia akhirnya bisa juga melihat setelah dioperasi dengan sistem RK, walaupun masih harus memakai kaca mata minus 14. "Tak apalah. Sudah syukur bisa melihat," kata gadis manis itu berseri-seri. Kesan sama diperlihatkan Misran, 38, pegawai Dinas Kesehatan RS-AU yang sudah 10 tahun lebih menyandang kaca mata minus 8. Setelah dioperasi, dia kini tampak lebih gagah dengan kaca mata minus 3. Tapi Misran bertekad mencapai tingkat kesembuhan seperti yang dapat dilakukan Raman pada Sersan Jumri. Anggota Kopasgat ini sempat beberapa lama mengenakan kaca mata minus 4.5 setelah suatu ketika matanya cedera. Setelah dioperasi dengan sistem RK, dia kini sembuh total dan tak mengenakan kaca mata lagi. Hasil seperti ini memang belum banyak dalam daftar pasien Raman, tapi dokter ini mengatakan itu bisa diperoleh. "Hasil akhirnya banyak ditentukan hasil pemeriksaan sebelum operasi," kata ayah tiga anak itu. Dia menyebutkan, proses pemeriksaan itu antara lain pengukuran refraksi guna menentukan kelainan miop dan astigmat, pengukuran kelengkungan kornea mata, pengukuran tekanan bola mata, dan pengukuran tebal kornea. Semua harus diukur akurat. Sebab, RK Dada hakikatnya adalah operasi penyayatan radial pada kornea guna mengurangi kelainan di lengkungannya. Caranya: kornea mata yang sudah dianestesi disayat dari tepi sampai ke batas daerah optik. Ini untuk melemahkan pinggiran kornea. Dengan tekanan bola mata, lengkunan kornea mata akhirnya menjadi lebih datar. Pendataran ini perlu supaya berkas sinar bisa jatuh tepat di retina (bintik kuning). Pada penderita miop, misalnya, kelengkungan yang tak datar inilah yang menghambat jatuhnya berkas sinar di retina. Akibatnya, obyek yang hendak dilihat tak jelas. Untuk itu, penderitanya - agar bisa melihat jelas - harus memakai kaca mata lensa minus. Teknik ini sebenarnya pertama kali ditemukan Profesor Swjatoslov Fjodorov, direktur lembaga penelitian bedah mikro di Moskow. Dia mengembangkan penemuannya setelah meneliti percobaan operasi seperti yang pada tahun lima puluhan dilakukan Profesor Sato dari Jepang. Fjodorov tampaknya diakui berhasil oleh para ahli AS yang kemudian belajar kepadanya. Karena itu, sistem RK sering pula disebut sistem Fjodorov. Di Amerika ilmu itu ditularkan beramai-ramai dan dikembangkan. Kini, menurut Raman, pengobatan mata sistem RK itu banyak diminati para penderita miop dan astigmatis. Tapi tarifnya di sana, menurut dia, masih mahal: sekitar Rp 4 juta per orang. "Di sini saya memastikan tak perlu sebanyak itu." Berapa? "Ya, sekitar Rp 100 ribu, cukup," katanya sambil senyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus