PENDERITA rabun mata di Indonesia tak perlu terbata-bata lagi.
Diam-diam di Jakarta kini telah bisa dilaksanakan teknik baru
mengoperasi mata untuk mengurangi minus dan bahkan
menghilangkannya sama sekali hinga kaca mata tak perlu lagi
dipakai. Itu berkat teknik operasi penyayatan kornea dengan
sistem radial (Radial Keratotomy-RK) yang di Indonesia kini baru
dilaksanakan di klinik mata RS Halim Perdanakusuma.
Dokter Raman Ramayana Salam, 45, yang pernah mempelaiari ilmu
itu di Houston, Texas, AS, dengan demikian menjadi ahli pertama
yang menerapkan operasi untuk menolon para penderita miop
(myopiarabun jauh, pemakai kaca mata minus biasa) dan astigmatis
(rabun jauh dan dekat, pemakai kaca mata minus silinder) itu di
Indonesia. Dia mempelajari teknik itu dari dua profesor Amerika
dan setelah lulus diberi kesempatan mengoperasi puluhan mata
bule penderita miop dan astigmatis di sana. Dari negeri itu pula
Raman memboyong seperangkat alat operasi berharga belasan juta
rupiah buat Indonesia.
Semua peralatan baru itu kini tersusun rapi di klinik RS yang
dipimpinnya di kawasan lapangan udara Halim. "Sudah puluhan
pasien yang saya operasi. Hasilnya mudah-mudahan memuaskan,"
kata kolonel TNI-AU itu.
Di kliniknya yang berukuran 6 x 7 meter itu sejak beberapa bulan
lalu telah dioperasi sejumlah anggota ABRI dan pasien umum yang
datang sendiri atau dikirim oleh bagian mata RSCM.
Misalnya, Trimurni, gadis berusia 18 tahun yang hampir putus asa
karena minus matanya semakin tinggi selama bertahun-tahun.
Remaja berhidung mancung dengan rambut ikal setengkuk itu berada
pada kondisi "setengah buta" ketika dioperasi Raman. Soalnya,
setelah diukur, minus matanya mencapai 28 dioptri - ukuran lensa
yang tak dijual di optik-optik di Indonesia. Dia akhirnya bisa
juga melihat setelah dioperasi dengan sistem RK, walaupun masih
harus memakai kaca mata minus 14. "Tak apalah. Sudah syukur bisa
melihat," kata gadis manis itu berseri-seri.
Kesan sama diperlihatkan Misran, 38, pegawai Dinas Kesehatan
RS-AU yang sudah 10 tahun lebih menyandang kaca mata minus 8.
Setelah dioperasi, dia kini tampak lebih gagah dengan kaca mata
minus 3. Tapi Misran bertekad mencapai tingkat kesembuhan
seperti yang dapat dilakukan Raman pada Sersan Jumri. Anggota
Kopasgat ini sempat beberapa lama mengenakan kaca mata minus 4.5
setelah suatu ketika matanya cedera. Setelah dioperasi dengan
sistem RK, dia kini sembuh total dan tak mengenakan kaca mata
lagi. Hasil seperti ini memang belum banyak dalam daftar pasien
Raman, tapi dokter ini mengatakan itu bisa diperoleh. "Hasil
akhirnya banyak ditentukan hasil pemeriksaan sebelum operasi,"
kata ayah tiga anak itu.
Dia menyebutkan, proses pemeriksaan itu antara lain pengukuran
refraksi guna menentukan kelainan miop dan astigmat, pengukuran
kelengkungan kornea mata, pengukuran tekanan bola mata, dan
pengukuran tebal kornea. Semua harus diukur akurat. Sebab, RK
Dada hakikatnya adalah operasi penyayatan radial pada kornea
guna mengurangi kelainan di lengkungannya. Caranya: kornea mata
yang sudah dianestesi disayat dari tepi sampai ke batas daerah
optik. Ini untuk melemahkan pinggiran kornea. Dengan tekanan
bola mata, lengkunan kornea mata akhirnya menjadi lebih datar.
Pendataran ini perlu supaya berkas sinar bisa jatuh tepat di
retina (bintik kuning). Pada penderita miop, misalnya,
kelengkungan yang tak datar inilah yang menghambat jatuhnya
berkas sinar di retina. Akibatnya, obyek yang hendak dilihat tak
jelas. Untuk itu, penderitanya - agar bisa melihat jelas - harus
memakai kaca mata lensa minus.
Teknik ini sebenarnya pertama kali ditemukan Profesor Swjatoslov
Fjodorov, direktur lembaga penelitian bedah mikro di Moskow. Dia
mengembangkan penemuannya setelah meneliti percobaan operasi
seperti yang pada tahun lima puluhan dilakukan Profesor Sato
dari Jepang. Fjodorov tampaknya diakui berhasil oleh para ahli
AS yang kemudian belajar kepadanya. Karena itu, sistem RK sering
pula disebut sistem Fjodorov.
Di Amerika ilmu itu ditularkan beramai-ramai dan dikembangkan.
Kini, menurut Raman, pengobatan mata sistem RK itu banyak
diminati para penderita miop dan astigmatis. Tapi tarifnya di
sana, menurut dia, masih mahal: sekitar Rp 4 juta per orang.
"Di sini saya memastikan tak perlu sebanyak itu." Berapa? "Ya,
sekitar Rp 100 ribu, cukup," katanya sambil senyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini