WANITA perlu mengenali tanda saat kesuburannya tiba. Dengan
pertimbangan itu John Billings dari Melbourne, Australia,
memulai penelitiannya pada tahun 1953. Ia sangat terkesan ketika
mempelajari literatur kedokteran - karena ia bukan seorang ahli
ginekologi - dan menemukan bahwa para dokter sejak tahun 1855
mengetahui kehadiran sejenis lendir bersamaan dengan saat
ovulasi (keluarnya telur dari indung telur). Tapi tak satu pun
dokter itu pernah meneliti kesadaran para wanita akan hal itu.
"Ketika John menanyakan pendapat sejumlah wanita tentang
lendir itu, mereka jawab: 'Oh, itu'," cerita istrinya, Evelyn
Billings, dalam suratkabar Australia The Age. Mereka sadar akan
kehadiran lendir itu tapi tak mengerti maknanya.
Apa maknanya? John Billings yakin bahwa inilah yang ia
cari. Mungkinkah lendir itu bisa dijadikan petunjuk bahwa masa
subur tiba? Jika betul, pada saat itu pasangan suami istri bisa
meniadakan persetubuhan untuk menghindari kehamilan. Sebaliknya,
jika kehamilan memang dikehendaki, itulah saatnya melakukan
sanggama. Dan unsur keraguan yang terkandung dalam methode
berkala dapat ditiadakan.
Daur Haid
Dalam tahun 50-an itu, satu-satunya metode KB alamiah yang
dikenal adalah metode berkala. Metode itu berdasarkan penemuan
bahwa ovulasi terjadi hanya pada satu hari, yaitu 10 sampai 16
hari sebelum pendarahan haid dimulai. Memang metode itu melalui
perhitungan bisa merupakan pegangan bagi wanita yang daur
haidnya teratur. Namun metode itu sukar diandalkan, terutama
bila daur haid seorang wanita ternyata panjang dan tidak
teratur. Juga metode itu sangat membatasi kesempatan pergaulan
cinta antara suami istri. Seharusnya wanita itu mampu mengetahui
dengan tepat saat tiba masa kesuburannya. Inilah yang mendorong
John Billings melanjutkan penelitiannya.
Penelitiannya juga dilanjutkan oleh istrinya. Selama
bertahun-tahun Evelyn Billings bekerjasama dengan ratusan wanita
dan segera dapat dikenali suatu pola baku sehubungan dengan
munculnya lendir yang dihasilkan sel-sel di leher rahim. Semakin
nyata bahwa rasa yang ditimbulkan kehadiran lendir itu dapat
memberikan petunjuk pada setiap wanita bahwa masa suburnya tiba.
Bahkan yang butapun dapat mengenali rasa itu.
Kini penemuan pasangan Billings menjawab berbagai problem
kesehatan dan moral yang ditimbulkan metode pembatasan kelahiran
mekanis, kimiawi atau alamiah. Metode alamiah Billings itu tidak
menimbulkan efek sampingan yang berbahaya--proses alamiah tubuh
tidak terganggu dan pola edar hormon !ang normal tidak tercegah.
Satu-satunya yang diperluk,n untuk mengetahui saat kesuburan
tiba adalah pengenalan terhadap pola lendir.
Dalam surat kabar Australia The Sun, Evelyn Billings
menulis: "Terkadang seorang wanita menduga haidnya mulai lagi.
Terasa ada sesuatu yang basah dengan lendir di luar liang
sanggama. Tapi lendir itu -- yang tampak putih atau
bening--justru suatu tanda bahwa tubuh sehat dan subur. Ia
dihasilkan oleh sel-sel di leher rahim, rata-rata selama enam
hari sebelum ovulasi."
Lendir ini tampaknya sangat penting. Selain memberikan
perlindungan dan merupakan zat makanan bagi sperma (mani),
lendir itu juga memungkinkan sperma bergerak sepanjang liang
sanggama, melalui leher rahim dan rahim, masuk ke saluran telur.
Bahkanbila terdapat di luar hdng sanggama, lendir itu
memungkinkan sperma mencapai telur. Jadi kehamilan bisa terjadi
sekalipun batang akar tidak memasuki liang sanggama, sekedar
karena sentuhan alat kelamin di luar.
Karena itu, menurut Dr. Billings, penting sekali untuk
menghindari persetubuhan dan sentuhan alat kelamin selama
terdapat lendir itu. Setelah hari ovulasi terjadi, biasanya tiga
hari kemudian, bentuk lendir itu berubah. Penampilannya buram
dan terasa lekat. Wanita merilsa dirinya "kering". Periode ini
berlangsung sampai datangnya haid dan merupakan periode tidak
subur. "Wanita harus bisa mengenali dan mengartikan secara tepat
petunjuk yang diherikan tubuh mereka sendiri," ujar Evelyn
Billings.
Agama Katolik
Selama 10 tahun terakhir, pasangan Billings mengelilingi
dunia, mengajarkan metode mereka. Tapi di beberapa tempatl misi
ini seperti membawa air ke laut. "Ternyata metode itu sudah umum
dipergunakan oleh beberapa suku di Kenya," cerita Dr. Billings.
"Nenek yang mengajar gadis remaja." Metode ini ternyata juga
sudah diterapkan oleh kaum Aborigin, orang asli Australia dari
sukubangsa Niranji.
Tahun 1977, pasangan Billings mendirikan World Organi2ation
of the Ovulation Method (Organisasi Sedunia Metode Ovulasi) di
Los Angeles, AS, untuk menyebarluaskan metode itu.
Tidak semua ahli seantusias pasangan Billings itu. Berkata
seorang ahli WHO (Organisasi Kesehatan Dunia): "Metode itu
memang mudah dipelajari tapi tidak setiap wanita mampu mengikuti
petunjuknya. "
Suatu studi oleh Rumah Sakit St. Vincent, Sydney, menemukan
bahwa hanya 25% dari wanita secara memuaskan dapat mengenali dan
mengartikan gejala lendir itu. Sebanyak 50% dapat mengenalinya
hanya dalam beberapa daur haid.
Ketidakmampuan wanita mengenalinya antara lain karena
keaneka-ragaman gejala lendir itu. Juga karena tingkat kemampuan
wanita berbeda untuk mengartikan gejala tubuhnya dalam rangkaian
perbedaan lingkungan sosial, emosional dan perilaku. Katherine
Betts, ahli antropologi dan sosiologi di Universitas Monash,
Australia, akhirnya ikut meragukan dasar ilmiah metode Billings.
Ilmiah atau tidak, metode Billings di Indonesia sangat
dianjurkan oleh MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia)
se-bagai alternatif metode pembatasan kelahiran yang dapat
diterima agama Katolik. Sejak lebih setahun ia diajarkan kepada
kaum ibu yang melahirkan di Rumah Sakit St. Carolus,
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini