Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia terus mengemuka. Baru-baru ini Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengklaim ada tiga negara yang tertarik mengembangkan PLTN di Indonesia, yakni Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Cina. Di sisi lain, perdebatan mengenai kemungkinan peralihan ke energi nuklir terus berlanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Wira Dillon, peneliti kebijakan energi dan perubahan iklim dari panel ahli TransisiEnergiBerkeadilan.id, kemungkinan Indonesia memiliki PLTN bukanlah hal yang mustahil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Thorcon saja sudah lobi terbuka 10 tahunan, dan tentunya pihak-pihak lain juga sudah mendorong secara diam-diam sejak lama,” kata dia ketika dihubungi Tempo, Selasa, 4 Maret 2025. Selain itu, perusahaan seperti Rusatom juga pernah terdaftar dalam audiensi di DPR.
Secara politik, Wira menyebut ada pihak yang mendorong masuknya nuklir ke dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Namun, pengesahan RUU ini masih tertunda, yang menunjukkan bahwa lobi-lobi terkait masih terus berlangsung.
Salah satu poin utama dalam RUU tersebut adalah pasal mengenai pengelolaan limbah nuklir yang dibebankan kepada pemerintah. “Saya rasa inilah poin utama yang mau digolkan oleh para pelobi swasta tersebut,” tuturnya.
Namun, dari segi ketersediaan bahan baku, Wira menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki cadangan uranium yang mencukupi untuk mendukung PLTN dalam jangka panjang.
“Jadi apakah ‘mungkin’ Indonesia menuju ke nuklir dalam artian apakah kita punya cadangannya? Jawabannya tidak,” kata dia. Sebab, pada umumnya membuat pembangkit listrik apapun butuh perencanaan sekitar 40 tahun.
“Penelitian Bimano-Bastori 2017 menunjukkan bahwa cadangan uranium kita, itu pun dengan asumsi kita boleh memperkaya secara domestik, tidak akan sampai tujuh tahun, di mana lalu kita akan harus terus mengimpor,” ujar Wira menjelaskan.
Dari sisi pendanaan, ada indikasi bahwa berbagai dana pemerintah akan diarahkan ke proyek nuklir, termasuk Danantara. “Tapi ini akan berpotensi membebani negara karena di mana-mana proyek-proyek nuklir sering mangkrak dalam artian delay dan juga cost overrun,” ucap Wira.
Ia menambahkan bahwa rata-rata waktu pembangunan PLTN di dunia saat ini mencapai 9,9 tahun dengan biaya yang bisa meningkat berkali-kali lipat dari estimasi awal.
Selain itu, ada beberapa tantangan lain dalam pembangunan PLTN di Indonesia, termasuk risiko keamanan, pengelolaan limbah, serta ketergantungan pada tenaga kerja dan keahlian asing.
“Dalam hal ini banyak yang akan bilang bahwa secara geologis membuat PLTN di area ‘Ring of Fire’ tentu tidak bijak,” ujar Wira. Ia juga menyoroti potensi ancaman serangan teroris, serangan siber, maupun serangan militer yang bisa membuat PLTN menjadi target strategis yang rentan.
Dari segi biaya, energi terbarukan juga disebutnya lebih kompetitif dibandingkan nuklir. “Secara LCOE (Levelized Cost of Electricity), renewable energy (RE) sudah jauh lebih murah daripada nuklir dan skala ekonomi RE dapat dicapai dengan pendanaan yang lebih kecil serta potensi dampak negatif lainnya yang lebih rendah juga," ujarnya.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam tulisan ini.