Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bukti Musik Membuat Senang

Peneliti Prancis menggunakan elektroensefalografi untuk mendeteksi aktivitas otak saat seseorang mendengarkan musik kesukaannya. Memberi penjelasan ilmiah atas apa yang sudah kita rasakan selama ini.

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi mendengarkan musik./Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti Prancis memberi bukti ilmiah baru tentang rasa senang saat mendengarkan musik dengan neuroscience.

  • Penelitian ini masih sebatas memeriksa aktivitas gelombang otak saat seseorang senang mendengarkan musik.

  • Terapi musik selama ini dipakai untuk membantu pemulihan pasien kasus-kasus saraf, seperti stroke.

MUSIK sudah lama dikenal sebagai medium relaksasi dan sumber kesenangan. Daya tarik inilah yang membuat banyak orang rela merogoh kocek untuk menonton konser meski berbiaya mahal. Penelitian terbaru yang dilakukan Thibault Chabin dan tim peneliti dari Université de Bourgogne di Dijon, Prancis, memberi bukti ilmiah baru tentang bagaimana rasa senang saat mendengarkan musik bisa dideteksi melalui aktivitas di otak dengan pendekatan neuroscience.

Penelitian Chabin berjudul “Cortical Patterns of Pleasurable Musical Chills Revealed by High-Density EEG” diterbitkan jurnal Frontiers in Neuroscience edisi 3 November lalu. Menurut Margaretha, pengajar Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, penelitian Chabin ini adalah dukungan empiris ilmiah atas sesuatu yang sudah biasa dilakukan. “Kita tahu bahwa mendengarkan musik membuat nyaman dan merasa lebih rileks. Penelitian ini memberikan penjelasan ilmiahnya,” kata Margaretha, Rabu, 12 November lalu.

Penelitian Chabin dilakukan terhadap 11 perempuan dan 7 laki-laki, yang direkrut melalui poster di kampus dan rumah sakit universitas. Mereka diminta mendengarkan musik kesukaannya. Mereka dipasangi Elektroensefalografi (EEG)—alat perekam aktivitas listrik di seluruh kulit kepala—dengan menempelkan elektrode di kepalanya. Mereka juga mengisi kuesioner dan diminta menunjukkan kapan mereka mengalami rasa senang. “Peserta penelitian kami mampu secara tepat menunjukkan momen-momen ‘yang membuat merinding’ dalam lagu,” kata Chabin, seperti dikutip Eureka Alert, 3 November lalu.

Ketika peserta mengalami kesenangan itu, Chabin melihat aktivitas listrik spesifik di korteks orbitofrontal—wilayah yang terlibat dalam pemrosesan emosi, area motorik tambahan, dan lobus temporal kanan—wilayah di sisi kanan otak yang terlibat dalam pemrosesan pendengaran dan apresiasi musik. Daerah ini bekerja sama untuk memproses musik, memicu sistem penghargaan otak, dan melepaskan dopamin—hormon yang dihasilkan ketika seseorang senang.

Menurut Fitri Oktaviana, pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sebelumnya pemeriksaan fungsional otak banyak dilakukan dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) atau pemindai positron emission tomography (PET scan). Penelitian Chabin ini dinilai baru karena melihat kegiatan fungsional otak dengan EEG. Kalau MRI melihat otak berdasarkan pencitraan, EEG didasari aktivitas listrik di otak. “Pemeriksaannya lebih murah dari segi biaya, mungkin lebih rumit pengolahan datanya dibanding fungsional MRI,” kata Fitri.

Adapun Amanda Tiksnadi dari Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan perbedaan metode fMRI dengan EEG. Kalau fMRI melihat struktur bangunan otak, EEG melihat pancaran atau gelombang otak. MRI digunakan untuk melihat bangunan otak, misalnya, untuk mendeteksi kemungkinan adanya tumor, penyumbatan, dan masalah fisik lainnya di otak.

Menurut Margaretha, ada cara lain untuk melihat aktivitas otak, apakah seseorang senang atau tidak saat mendengarkan musik, selain dengan metode EEG ini, yaitu dengan melihat neurokimia yang diproduksi otak. “Kalau kurang dopamin, itu tanda orang sedih. Kalau diproduksi lebih banyak, orang itu lagi senang. Jika dia memproduksi serotonin, saat merasa lebih rileks atau lebih bahagia,” ucapnya.

Penelitian Chabin ini, Amanda menambahkan, membuktikan ada aktivitas tertentu di otak saat seseorang senang. “Biasanya kita mendengarkan musik, tahunya senang, mood bagus, kerja lebih bagus. Sebelumnya, kita hanya tahu dari pengamatan saja, tidak mempunyai bukti secara ilmiah. Jadi, hasil penelitian ini bisa meyakinkan bahwa hal tersebut bukan terjadi secara kebetulan. Ternyata, kalau mendengarkan musik, ada area otak yang teraktivasi,” ujarnya.

Margaretha menambahkan, musik yang membuat senang memang bisa berbeda-beda pada tiap orang. Ia mengutip penelitian Tom ter Bogt dan tim dari University of Utrecht, Belanda, pada 2010 lalu. Jenis musik yang akan dinikmati akan berbeda-beda pada tiap orang. “Mungkin musik tertentu saya lebih senang, tapi mendengarkan musik yang lain bisa tambah stres,” tuturnya. Ada sejumlah faktor dari komponen musik yang membuat pikiran lebih rileks, yaitu lirik, nada, dan tempo. “Mendengarkan Bruno Mars dan Hetty Koes Endang tentu berbeda.”

Memang ada anggapan umum bahwa mendengarkan musik dengan nada lambat bisa membuat seseorang rileks. “Kebanyakan mungkin seperti itu. Tapi faktor kepribadian sangat berperan. Bagi orang yang hipersensitif, jangankan mendengarkan rock, country saja sudah berisik banget. Tapi kalau orang yang hiposensitif, mungkin butuhnya hardcore,” ucap Margaretha.

Margaretha juga mengutip Tom ter Bogt yang menyatakan bahwa musik, selain bisa memperbaiki dan mengubah suasana hati, bisa mengidentifikasi kepribadian. “Ada beberapa orang yang menggunakannya sebagai identitas. Anak punk, anak jazz, dan anak dangdut kan beda gayanya,” ujarnya.

Selama ini musik juga memang sudah dikenal sebagai alat atau pendukung terapi. Menurut Margaretha, Rumah Sakit Jiwa Malang adalah salah satu yang menggunakannya. Para penderita skizofrenia dengan gejala mental berat biasanya diberi obat dan musik membuatnya cepat tidur. Musik menenangkan otak tapi tidak membantu beraktivitas. Inilah yang difasilitasi rumah sakit dengan musik dengan cara karaoke dan joget bersama. “Itu dipakai untuk membantu pasiennya beraktivitas dan membangun interaksi sosial,” tuturnya.

Musik juga dipakai untuk membantu anak autis di bawah umur untuk melakukan interaksi komunikasi sosial. Selain mendapatkan sesi terapi satu-satu, anak autis pasti akan diterapi secara kelompok. Anak autis, meski berkelompok, cenderung bermain sendiri-sendiri sehingga perlu difasilitasi dengan musik, joget bareng, bergerak dengan cara yang sama, serta tepuk tangan dengan teman-temannya. “Musik menjadi cara untuk membangun interaksi sosial,” ucap Margaretha.

Margaretha, yang kini menempuh pendidikan doktor di University of Melbourne, Australia, mengatakan kampusnya juga menerapkan terapi musik untuk membantu mencegah penurunan lebih cepat pada penderita alzeimer. “Menyanyi, memproduksi musik, bermain alat musik, itu kan mengaktivasi otak. Ada bagian otak yang bekerja dan itu semacam latihan. Sel saraf yang terus-menerus aktif bisa menjadi lebih rendah kemungkinannya untuk cepat aus,” ucapnya.

Amanda juga menggunakan metode terapi musik untuk mengaktivasi atau membantu pemulihan pasien kasus-kasus saraf, seperti stroke, Parkinson, gangguan konsentrasi, autisme, dan semacamnya. Melalui brand bernama Neurology Music Therapy, dia memanfaatkan irama musik untuk membantu pasiennya. Lebih dulu ia mengenali masalah khusus pasiennya. Misalnya ada pasien stroke yang jalannya terlalu lamban. Ia akan menggunakan musik dengan irama dan kecepatan tertentu dari jenis musik apa pun. “Yang digunakan ketukannya. Saat pasien berjalan, kayak dia dapat kode. Akhirnya ia bisa berjalan sesuai dengan irama,” ujarnya.

Penelitian Chabin, menurut Fitri Oktaviani, memang masih sebatas memeriksa aktivitas gelombang otak saat seseorang dalam keadaan senang mendengarkan musik. “Apakah musik menyebabkan memori meningkat? Itu tidak dijelaskan dalam studi ini,” ucap Fitri. Chabin pun mengatakan akan ada penelitian lanjutan. “Kenikmatan musik adalah fenomena yang sangat menarik yang patut untuk diteliti lebih lanjut, untuk memahami mengapa musik bermanfaat dan mengapa musik penting dalam kehidupan manusia,” tuturnya.

Bagi Margaretha, ada hal praktis dari penelitian ini yang bisa dipakai secara personal. Caranya, kenali jenis musik yang membuat kita senang dan mendengarkannya ketika sedang membutuhkannya, entah pada saat stres atau tidak nyaman. “Ketika kita mendengar musik yang kita sukai selama beberapa waktu, dampaknya akan mengubah suasana hati kita, membuat kita lebih rileks, dan ini sudah teruji secara empiris oleh penelitian Chabin tersebut,” ucapnya.

ABDUL MANAN (EUREKA ALERT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus