Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polandia menunda pengetatan aborsi setelah dilanda protes besar selama dua pekan.
Sebanyak 32 negara meneken Deklarasi Konsensus Jenewa yang menghapus aborsi.
Indonesia termasuk negara penanda tangan Deklarasi.
ABORTION Dream Team biasanya menerima 400 panggilan telepon setiap bulan dari para perempuan yang mencari informasi dan nasihat tentang aborsi. Namun, pekan lalu, organisasi Polandia yang membantu perempuan mendapatkan akses terhadap aborsi itu menerima 700 panggilan hanya dalam tiga hari. Sebagian berasal dari perempuan yang baru tiba di rumah sakit untuk melakukan aborsi karena janinnya cacat, tapi ditolak setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pelarangan aborsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mereka cemas dan sedih dan tak tahu harus berbuat apa,” kata Justyna Wydrzynska, anggota Abortion Dream Team, kepada CNN, Ahad, 1 November lalu. “Mereka tak bisa meminum pil (aborsi) karena (usia kehamilannya) lebih dari 20 pekan sehingga berbahaya bagi ibu dan janin.” Menurut Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, lembaga yang mirip Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan di sini, penggunaan pil aborsi membutuhkan penanganan yang lebih rumit bagi usia kandungan di atas 14 minggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi Polandia memutuskan bahwa pasal yang mengizinkan aborsi dalam kasus janin cacat dalam undang-undang tahun 1993 melanggar konstitusi. Kalaupun dibolehkan, aborsi hanya diizinkan dalam kasus pemerkosaan, inses, dan risiko atas kesehatan ibu. Peninjauan atas aturan itu diajukan oleh sejumlah anggota parlemen dari partai politik penguasa, Partai Hukum dan Keadilan, pada tahun lalu.
Putusan itu praktis melarang hampir semua permintaan aborsi karena 98 persen kasus aborsi di negeri itu terjadi karena janin cacat. Menurut BBC, diperkirakan seribu aborsi terjadi di Polandia pada tahun lalu. Tanpa pengetatan pun perempuan sering kesulitan menjalani aborsi karena seperti ada stigma terhadap pelaku aborsi. Kelompok hak-hak perempuan memperkirakan 80-120 ribu perempuan Polandia menjalani aborsi di luar negeri untuk mengatasi kerepotan di dalam negeri.
Pengetatan aturan aborsi memicu unjuk rasa besar di Polandia selama dua pekan lebih. Berbagai protes memaksa pemerintah menunda pelaksanaan putusan itu. “Ada pembahasan yang sedang berlangsung, dan ada baiknya mengambil jeda dengan berdialog dan menemukan posisi baru terhadap keadaan yang sulit dan memancing emosi ini,” ucap Michał Dworczyk, Kepala Kantor Perdana Menteri Polandia, seperti dikutip Guardian, Selasa, 3 November lalu.
Perdana Menteri Mateusz Morawiecki meminta dialog dengan pemrotes dan anggota parlemen dari partai oposisi. Adapun Presiden Andrzej Duda menawarkan aturan baru yang memungkinkan aborsi dalam kasus janin cacat tapi tidak dalam kasus seperti down syndrome.
Aksi membagian perlengkapan dan kebutuhan bayi oleh aktivis anti aborsi, di Waren, Michigan, Amerika Serikat, 16 Oktober 2020./Reuters/Emily Elconin
Kelompok-kelompok hak asasi manusia meminta pemerintah tidak mengetatkan aturan ini. Komisioner HAM Dewan Eropa menyebut hari keluarnya putusan itu sebagai “hari sedih bagi hak-hak perempuan”. “Menghapus dasar bagi hampir semua kasus aborsi legal di Polandia itu melanggar hak asasi manusia,” tutur komisioner Dunja Mijatovic.
Putusan itu membuat Polandia, bersama Malta, menjadi negara anggota Uni Eropa yang mengatur aborsi secara ketat. Di Malta aborsi bahkan sepenuhnya dilarang, meskipun saat nyawa perempuan yang mengandung terancam.
Dorongan memperketat aturan aborsi pelan-pelan merambat di berbagai negara di Eropa. Di Slovakia, misalnya, para anggota parlemen dari partai ultrakonservatif Serikat Kristen, anggota koalisi partai berkuasa Orang Biasa dan Pribadi Independen (OLANO), berusaha mendorong lahirnya aturan yang memperketat tindakan aborsi. Mereka membahas rancangan undang-undang baru tentang aborsi itu secara diam-diam di parlemen dan tanpa banyak sorotan media. Usaha mereka mentok saat berlangsung pemungutan suara pada 20 Oktober lalu. Hanya 58 dari 117 legislator yang mendukung usul itu.
Namun gerakan besar untuk menentang aborsi sesungguhnya terjadi ketika 32 negara, termasuk Polandia dan Indonesia, menandatangani Deklarasi Konsensus Jenewa untuk Mendukung Kesehatan Perempuan dan Memperkuat Keluarga. Peresmian deklarasi itu dilakukan dalam sebuah pertemuan daring yang diampu oleh Amerika Serikat pada 22 Oktober lalu. Deklarasi itu tidak mengikat sehingga tergantung setiap negara untuk mewujudkannya dalam bentuk kebijakan dan undang-undang nasional.
Deklarasi yang ditaja oleh Amerika, Brasil, Mesir, Hungaria, Indonesia, dan Uganda ini menekankan perlunya ketahanan keluarga dan menyatakan bahwa aborsi tidak boleh dipromosikan sebagai metode keluarga berencana. Deklarasi itu bahkan juga menegaskan bahwa tidak ada hak internasional atas aborsi atau kewajiban internasional apa pun bagi negara untuk mendanai atau memfasilitasi aborsi.
Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo bersama Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Alex Azar hadir dalam forum online tersebut. Pompeo menggarisbawahi bahwa tak ada hak internasional atas aborsi. “Setiap negara punya hak berdaulat untuk menentukan hukumnya sendiri mengenai aborsi,” katanya.
Dalam sambutannya di forum itu, Menteri Kesehatan Indonesia Terawan Agus Putranto mengatakan Indonesia mendukung penuh deklarasi tersebut tanpa menyebutkan soal aborsi. “(Deklarasi) ini menjadi pendorong untuk memperkuat komitmen dan tindakan kolektif kita untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak di semua aspek, termasuk kesehatan,” ujar Terawan dalam siaran pers Kementerian Kesehatan.
Upaya Amerika di bawah Presiden Donald Trump untuk menghapus aborsi dari kamus kesehatan sudah berjalan lama. Saat hadir dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019, Trump menyatakan, “Kami di Amerika percaya bahwa setiap anak—terlahir ataupun tidak—adalah rahmat dari Tuhan.” Pompeo menyatakan, selama masa pemerintahan Trump, tak ada satu sen pun duit negara yang mengalir ke organisasi non-pemerintah asing yang mendukung atau aktif mempromosikan aborsi sebagai metode keluarga berencana.
Pemerintah Amerika juga menentang istilah “kesehatan reproduksi”. Dalam sidang umum PBB itu, Menteri Azar mendesak para pemimpin dunia tidak memasukkan istilah seperti “kesehatan dan hak reproduksi” ketika membahas akses kesehatan. Beberapa bulan sebelumnya, pemerintah Trump juga meminta Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menghapus semua referensi tentang kesehatan reproduksi dan aborsi dari rencana tanggap kemanusiaan PBB untuk pandemi Covid-19.
Amnesty International mengecam deklarasi internasional tersebut. Tarah Demant, Direktur Program Gender, Seksualitas, dan Identitas Amnesty International Amerika, menyebut deklarasi itu sebagai kemunduran besar bagi Amerika. “Setiap perempuan, gadis, atau orang yang hamil punya hak asasi untuk aborsi. Titik. Ini soal orang memenuhi hidupnya sendiri—bukan kehidupan yang didiktekan pemerintah untuk mereka,” kata Demant dalam pernyataannya.
Amnesty berseru kepada Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan agar tidak menerapkan ketentuan dalam deklarasi itu. “Pemerintah ini tampaknya tak akan berhenti sampai mereka sepenuhnya menginjak-injak hak-hak, otonomi, dan martabat para perempuan dan gadis di mana saja,” tuturnya. “Setiap orang punya hak atas diri pribadi dan otonomi atas tubuhnya, meskipun pemerintah ini ingin menentukan yang lain.”
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menilai deklarasi itu merupakan upaya membongkar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan kerangka kerja internasional tentang perlindungan perempuan serta kelompok seksual rentan. Data PKBI, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan, selama masa pandemi Covid-19, terdapat ratusan ribu laporan kasus kehamilan tidak diinginkan yang membebani perempuan.
“Deklarasi itu tidak legitimate, tidak mengikat, dan tidak menunjukkan keberpihakan kuat pada upaya negara untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, terutama selama pandemi Covid-19,” ucap Direktur Eksekutif PKBI Eko Maryadi kepada Tempo.
IWAN KURNIAWAN (GUARDIAN, BC, CNN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo