Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Noda Kemenangan Suu Kyi

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi kembali menang dalam pemilihan umum. Diawarnai penangkapan aktivis demokrasi dan larangan pencoblosan di Rakhine.

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Simpatisan NLD merayalan kemenangan partainya di kantor pusat NLD, di Yangon, Myanmar, 9 November 2020./ Reuters/Shwe Paw Mya Tin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Liga Nasional untuk Demokrasi kembali menang dalam pemilihan umum Myanmar.

  • Pemilihan umum diwarnai penangkapan aktivis dan larangan pencoblosan di Rakhine.

  • Citra Aung San Suu Kyi terus melorot setelah serangan militer terhadap kaum Rohingya pada 2017.

HASIL pemilihan umum Myanmar pada Ahad, 8 November lalu, mengamankan langkah Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), memperpanjang kekuasaan mereka. Hasil penghitungan suara sementara menunjukkan NLD menang telak dengan meraih 346 dari 412 kursi parlemen. Juru bicara NLD, Myo Nyunt, mengatakan hasil pemilihan ini diharapkan dapat membantu memperkecil konflik politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini pemilihan umum kedua di Myanmar setelah pemilihan pada 2015 yang juga dimenangi NLD yang mengakhiri lebih dari lima dekade kekuasaan junta militer. “Masyarakat menyadari bahwa NLD membutuhkan suara yang cukup untuk membentuk pemerintahan sesuai keinginan mereka,” kata Myo Nyunt, seperti dilaporkan Al Jazeera pada Jumat, 13 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilihan umum ini berlangsung di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang terus meningkat. Sejak Agustus lalu, tercatat ada 60 ribu kasus Covid-19 dan lebih dari 1.300 korban meninggal di sana. Permintaan untuk menunda pemilihan tak digubris pemerintah. Komisi Pemilihan Umum juga menilai pemilihan harus terus berjalan dan menjamin pelaksanaannya dengan protokol kesehatan. Komisi menyatakan pemilihan telah digelar secara bebas, adil, dan transparan.

Menurut anggota NLD, Monywa Aung Shing, kemenangan partainya membuktikan bahwa publik memberikan dukungan besar. Partai itu juga menyatakan akan mengajak kelompok etnis minoritas untuk berkolaborasi. “Kita masih harus bekerja untuk membentuk pemerintahan nasional yang bersatu,” kata dia kepada BBC.

Tapi, tanpa menunjukkan bukti-buktinya, pesaing terkuat NLD, Partai Solidaritas dan Pembangunan Bersatu (USDP), menuding pemerintah tak beres mengurus pemilihan umum. Dalam keterangan pers pada Rabu, 11 November lalu, USDP, yang disokong angkatan darat, tak mengakui hasil pemilihan. Mereka menuntut pemerintah menggelar pemilihan yang bebas, adil, dan tidak bias.

Hasil pemilihan ini membantu menggenjot citra Suu Kyi yang masih populer di kalangan masyarakat Bamar, etnis mayoritas di negeri itu. Tapi, di mata dunia, pamor perempuan 75 tahun itu terus melorot setelah serangan militer Myanmar terhadap etnis minoritas muslim Rohingya pada 2017. Lebih dari 700 ribu orang Rohingya mengungsi setelah tentara menyerbu Negara Bagian Rakhine untuk memburu milisi Arakan Rohingya. Hingga saat ini, banyak orang Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh dan negara lain. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut serangan itu sebagai genosida. Pemerintah Myanmar membantah tudingan itu dan mengklaim bahwa militer hanya memburu milisi pemberontak Arakan.

Pemilihan umum kali ini praktis tak memberi ruang bagi suara kaum Rohingya di Rakhine. Komisi Pemilihan melarang sebagian besar wilayah itu menggelar pemilihan dengan alasan keamanan. “Warga Rohingya bahkan tak bisa memberikan suara dan mendapatkan kewarganegaraan gara-gara aturan diskriminatif,” kata aktivis lembaga pembela hak asasi manusia Fortify Rights, John Quinley, seperti dilaporkan CNN.

Pemilihan umum ini juga diwarnai pembungkaman terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi. Sebelum pemilihan, 14 mahasiswa diciduk polisi dari rumah dan kampus mereka karena dinilai melanggar aturan berkumpul secara damai dan mengganggu ketertiban umum. Sebagian mahasiswa yang lolos dari kejaran polisi akhirnya terpaksa bersembunyi. Informasi penahanan para pelajar itu muncul dalam laporan Federasi Persatuan Mahasiswa Burma (ABFSU) dan Asosiasi Pendampingan Tahanan Politik Myanmar (AAAP).

ABFSU merupakan bagian dari kelompok pro-demokrasi yang aktif sejak 1930-an dan membuka jalan bagi kelompok sipil Myanmar masuk pemerintahan. Organisasi ini memiliki relasi khusus dengan Aung San, ayah Suu Kyi, yang menjadi salah satu pendirinya. Tapi, pada rezim Suu Kyi, organisasi itu justru semakin ditekan, apalagi setelah mereka berkampanye untuk memboikot pemilihan umum. Suu Kyi, dalam konferensi bersama sejumlah pejabat negara pada 5 Agustus lalu, mengatakan ajakan untuk memboikot pemilihan merupakan tindakan tak bertanggung jawab.

Kampanye mengkritik pemerintah itu dimulai sejak Agustus lalu. Para aktivis mendistribusikan selebaran berisi slogan seperti “diktator harus dihentikan” dan “lawan fasis pembunuh” di berbagai kota. Mereka juga menuntut jaringan Internet di Negara Bagian Rakhine, wilayah yang terus ditekan militer untuk menghentikan perlawanan milisi, dipulihkan. Swam Pyae Tae, mahasiswa yang kini dalam persembunyian, mengatakan mereka hanya ingin perang sipil di Rakhine dihentikan. “Kami hanya menginginkan perdamaian,” kata Swam kepada radio Free Asia.

Human Right Watch menyebut pemerintah Myanmar telah mengintimidasi dan mempersekusi para mahasiswa yang menyampaikan pandangan mereka dengan damai. Tindakan polisi juga dinilai berlebihan karena menyamakan aktivitas yang membagikan stiker dan selebaran dengan aksi berkumpul. “Mengkritik atau mengikuti aksi memprotes pemerintah dengan damai bukanlah tindak kriminal,” tutur aktivis Human Right Watch, Linda Lakhdir.

Penahanan para aktivis itu menodai kemenangan Suu Kyi, yang dulu menjadi ikon demokrasi dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Apalagi pengaruh militer masih sangat kuat di pemerintahan. Sejak sukses meraih dukungan publik lewat pemilihan umum pada 2015 dan menjabat di Dewan Negara, Suu Kyi tak banyak mengubah aturan represif di negerinya.

Alih-alih membangun demokrasi, pemerintah malah mempersekusi kelompok oposisi, aktivis politik, dan para jurnalis yang memberitakan isu-isu yang dianggap sensitif. Kasus yang paling populer adalah penangkapan dua jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, pada 2017. Mereka merilis laporan investigasi pembunuhan 10 muslim Rohingya yang dilakukan tentara dan kelompok Buddha garis keras selama serangan militer di Rakhine. Keduanya divonis bersalah melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Negara dan dihukum 7 tahun penjara. Tapi, pada 2019, mereka bebas setelah mendapat amnesti dari Presiden Myanmar.

Aksi pemerintah Myanmar memberangus kelompok pro-demokrasi membuat kepercayaan terhadap Suu Kyi terus merosot. Sebagian pendukungnya pun membelot. Hnin, salah satu aktivis mahasiswa, mengatakan Suu Kyi gagal memenuhi janjinya untuk menyatukan warga Myanmar. “Saya tak mempercayainya lagi,” kata perempuan 21 tahun itu, seperti dikutip Reuters. “Mustahil mencapai demokrasi dengan jalan yang diambilnya.”

Ye Wai Phyo Aung, pendiri organisasi pembela hak asasi manusia Athan, menilai pemerintahan Suu Kyi sangat mengecewakan. Memilih NLD pada 2015 ketika usianya menginjak 20 tahun, Ye Wai kini berbalik melawannya dengan menuntut demokrasi dan kebebasan berpendapat di negerinya.

Sejak Suu Kyi dan NLD berkuasa, gugatan yang diajukan militer terhadap warga sipil justru meningkat. Athan mencatat, tentara Myanmar telah mengajukan 47 gugatan terhadap 96 orang, termasuk 51 aktivis, 4 seniman, dan 3 anggota partai politik. Menurut Ye Wai, pemerintah kini juga memburu anggota Athan. “Intel-intel mengamati kegiatan kami di media sosial dan mengumpulkan informasi tentang kami,” ucap Ye Wai kepada Deutsche Welle.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, RADIO FREE ASIA, IRRAWADY, MYANMAR TIMES, NATIONAL PUBLIC RADIO, THE DIPLOMAT)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus