Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti klimatologi di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Erma Yulihastin, mengkritik para ilmuwan yang masih abai terhadap risiko perubahan iklim di Indonesia. Kritikan ini disampaikan Erma dalam sebuah diskusi via zoom yang bertajuk Antisipasi Fenomena Angin Puting Beliung Akibat Perubahan Iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam kesempatan diskusi yang menghadirkan Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto dan Dirjen Pengendalian Perubahan Lingkungan KLHK Laksmi Dhewanthi itu Erma memaparkan tiga bentuk fenomena cuaca ekstrem yang dahulu tak pernah terbayangkan bakal terjadi di Indonesia. Ketiganya adalah bow echo, squall line dan mesoscale convective complex.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Erma, ketiganya bisa dijumpai di Indonesia karena adanya dorongan perubahan iklim. Sayang, dia menambahkan, banyak ilmuwan tak menyadari dan bahkan mengabaikan peringatan dalam rupa tiga fenomena itu. "Mohon maaf, banyak para ilmuwan yang belum memahami ini," kata Erma.
Erma mengatakan, teori lama memang menyatakan kalau tiga fenomena itu tidak mungkin terjadi di Indonesia yang berada di wilayah tropis. Sebab, fenomena ini kerap terjadi dan dijumpai hanya di wilayah dengan lintang tinggi.
Daerah lintang tinggi--antara 60 dan 90 derajat lintang di belahan bumi utara maupun selatan--sangat dingin dan kelembapannya rendah. Wilayah ini disebutan berperilaku kompleks karena interaksi yang kuat antara lautan, atmosfer, daratan, es laut, es daratan, dan ekosistem terkait.
Adapun penyangkalan ketiganya bisa terjadi di Indonesia atau daerah tropis, kata Erma, masih begitu kuat. "Gak mungkin ada squall line, MCC, sebab hanya terjadi di wilayah lintang menengah dan tinggi saja. Tapi kenyataannya, fenomena ini pernah terjadi di Indonesia," kata Erma menegaskan.
Dulu Siklon Seroja, Sekarang Tornado Rancaekek?
Fenomena yang diragukan bisa terjadi di Indonesia karena bukan berada di wilayah lintang menengah dan tinggi, pernah dipublikasikan Erma bersama tim risetnya. Laporannya dimuat di jurnal ilmiah, misalnya, tentang tropical squall line yang memicu Siklon Tropis Seroja.
"Dan juga di Rancaekek kemarin saya sebut juga small tornado, supaya masyarakat teredukasi dan semakin paham kalau perubahan iklim ini sangat nyata adanya," ucap Erma menunjuk peristiwa amuk puting beliung dahsyat di Rancaekek, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya pada 21 Februari lalu.
Saat itu Erma menyebut tornado pertama di Indonesia, sementara kalangan ahli dari BMKG menegaskannya sebagai sebatas puting beliung. Dasarnya, kecepatan angin masih di bawah tornado terlemah yang masih di atas 100 kilometer per jam.
Itu sebabnya, dalam diskusi Rabu siang, Erma meminta kepada para peneliti dan ilmuwan untuk bisa memperbarui pengetahuannya dengan mencocokkan pada situasi di masa kini. Sebab, kata dia lagi, teori lama yang sudah berkembang harus dikaji ulang supaya ada pembaruan.
"Cara pandang kita menggali dunia baru harus ditingkatkan," katanya sambil menambahkan bahwa Global Bowling sedang terjadi dan kenaikan temperatur ini bukan perkara main-main. "Segala hal yang dikatakan tidak akan terjadi di masa lalu, di masa kini bisa saja terjadi."
Pilihan Editor: Puting Beliung Ciamis Merusak 157 Rumah di 5 Kecamatan