SERSAN Mayor TNI-AU Djubair Oemar Djaja memperhatikan pesawat berbaling-baling tunggal yang dijagainya dengan perasaan waswas. Itu terliht dari sorot matanya yang tak henti-henti menatap para pengunjung Pameran Dirantara Indonesia 1986 yang mendekati pesawat itu. Sekali-sekali Djubair menegur pengunjung yang mempermainkan bagian tubuh pesawat yang bercat putih serta bergaris biru dan cokelat itu. Mengapa? Djubair memang telah mempertaruhkan segalanya untuk Rand KR-2 itu -- pesawat olah raga untuk dua penumpang buatannya sendiri. Untuk menyelesaikan pesawat tersebut, misalnya, anak pertama dari tujuh bersaudara ini telah menempuh perjalanan waktu yang cukup panjang, sejak 1977. Maka, tidak heran jika terbersit kebanggaan pada dirinya ketika Wakil PM/Menhan Singapura Goh Chok Tong berkomentar, "Tentunya pembuatnya adalah seorang insinyur." Buat Djubair, komentar yang dilontarkan Goh Chok Tong sewaktu mengunjungi pesawat Rand KR-2 terlalu berlebihan. Kepada TEMPO, Djubair berkata, "Saya ini 'kan cuma orang biasa. STM saja nggak tamat." Gagasan membuat pesawat itu sebenarnya muncul ketika Djubair, instruktur olah raga terbang layang, aktif dalam organisasi Portelasi Jaya. Waktu itu, awal 1970-an, sarana yang disediakan organisasi untuk berlatih kurang sekali. Dari tantangan tersebut, ia mulai putar otak untuk mengatasi hal itu. Dari beberapa literatur dan majalah yang didapatnya dari drg. Bob Gondohusodo, ia mengetahui bahwa di Amerika banyak diperdagangkan plan (semacam cetak biru untuk desain pesawat). Ia pun coba-coba memesannya. Pilihan Djubair jatuh pada plan KR-2 yang dianggapnya lebih baik dari Tenny Two, BD-4, FP-1, atau Jodel. Alasannya: "Paling cepat, murah, dan sederhana. Sebab, pesawat ini dibuat dengan konstruksi kayu," kata Djubair. Menurut rancangan ciptaan Ken Rand, KR-2 adalah pesawat bersayap rendah yang dipersiapkan untuk dua orang penumpang. Roda pendaratnya bisa dilipat Sedangkan tenaga penggerak pesawat ini diperoleh dari mesin Volkswagen 1.600-2.200 cc, yang dapat membawa beban maksimum 500 kg, dan dengan kecepatan jelajahnya 290 km per jam. Kelebihan lain, pesawat yang punya jelajah maksimum 1.600 km itu hanya memerlukan landasan sepanjang 350 meter. Tapi waktu dan dana bagi penyelesaian pesawat itu tak semuanya mulus. Kesulitan pertama yang harus diselesaikan Djubair adalah mendapatkan uang untuk membeli plan. Waktu itu, 1977, masih seharga US$ 55. Untunglah, ada yang mau membelikannya. Setelah plan di tangan, muncul kesulitan berikutnya. Rancangan menghendaki agar 300 potong kayu yang membentuk rangka pesawat adalah sejenis Spruce. Bahan baku ini sebenarnya tersedia di Amerika. Namun untuk membelinya tidak ada uang. Apa akal? Djubair akhirnya memutuskan untuk mencari sendiri jenis kayu yang tidak jauh berbeda kekerasannya, sifat seratnya, berat jenisnya, maupun kegetasannya dengan Spruce. Masa pencarian ini menghabiskan waktu tiga tahun. Setelah menilik konstruksi rancangan tersebut, sampailah Djubair pada kesimpulan: tidak semua bagian pesawat mendapat tugas yang sama. "Ada bagian yang harus mendapat tekanan (sayap bagian atas), ada juga bagian yang harus menahan tarikan (sayap bagian bawah) maupun putiran (sayap keseluruhan)," katanya. Karena itu, untuk bagian-bagian tersebut, ia mencari kayu yang sesuai dengan kebutuhan. Namun, untuk tulang sayap (wing spar -- bagian yang paling banyak menanggung beban (untuk pesawat olah raga tercatat: empat kali berat kotor pesawat itu sendiri) -- kayu yang dipakai tidak mengenal kompromi. Maka, sampai dengan 1980, rancangan pesawat KR-2 itu masih berada di benaknya. Tahun-tahun berikutnya, 1980-1983, pengeraan proyeknya terhambat kembali. Sebab, tak gampang mendapatkan rigid polyurthane foam, dengan kepadatan 35 kg/ m3, untuk mengisi rongga-rongga di antara konstruksi rangka. Peletakan "batu pertama" proyek tersebut, kata Djubair, baru terjadi pada Malam Takbiran 1983. Setelah rangka keseluruhannya siap, ia terbentur pada pengadaan roda pendarat (landinggear assembly). Kali ini, yang datang membantu adalah seorang karyawan Union Oil, Garth Lyo, yang bersedia membawa kebutuhan itu dari Amerika dengan gratis, asalkan ia mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan hobi terbang layangnya. Peralatan lain, seperti komponen roda pendarat, dicarinya sendiri di sini. Per truk antara lain diambilnya dari truk yang dibuang. Kemudian pengerjaan pesawatnya sempat terhenti 4-5 bulan sebelum memasuki pemasangan fibreglass tipe 902 (berat 200 gram/ kaki persegi), sebagai penutup rangka. Sebab, penutup rangka ini harus dilekatkan dengan bantuan lem epoxy Dow Der 331, yang tak gampang dicari di dalam negeri. "Sebenarnya ketika memasang foam, proses pengerjaannya sudah tidak urut," kata Djubair. Maklum, "ruang" yang tersedia untuk menyelesaikan pesawat dengan rentang sayap 4 meter dan panjang 6 meter hanya seluas 24 m2. Karena itu, ia terpaksa memasukkan bagian ekor melalui jendela kamar agar sayap dapat terentang dengan baik. Untuk penghitungan aerodinamika, Djubair mendapatkan bantuan Rudy Harto, mahasiswa ITB Jurusan Penerbangan. Maka, penghitungannya tak banyak meleset. Awal Juni lalu, datanglah permintaan untuk menghadirkan hasil karya Djubair pada Pameran Dirgantara Indonesia. Padahal, proyek itu belum selesai. "Pesawatnya sendiri masih telanjang," ujar Djubair. Sementara itu, canopy, tutup kokpit, masih belum pas. Sejumlah instrumen, seperti altimeter, belum semuanya terpasang. Begitu pula throttle-nya. Sementara itu, ia juga diminta menyelesaikan pesawat terbang layang Wind Rose. Tapi dengan mengerahkan 13 tenaga bantuan, siang malam, akhirnya kedua pesawat tersebut selesai juga sehari sebelum pembukaan pameran. Untuk beberapa proses pembubutan, misalnya, ia dibantu M. Idris Prawoto, Kepala Balai Pendidikan dan Latihan Departemen P & K, Pulogadung. Kata Djubair, "Apa yang saya hasilkan itu bukan karya seorang insinyur. Tapi lebih banyak merupakan hasil kerja sama." Kendati begitu, ketika masih di sekolah, Djubair pernah membuat pesawat sendiri: pesawat model bertenaga karet. Bahan bakunya dicari sebisanya: kayu balsa untuk rangka badan diganti dengan kayu gelas gulungan kain yang didapatnya di tempat sampah Pasar Batang. Adapun lemnya dipakai lem benang layang-layang aduan. Sedangkan karet penggerak baling-baling dibuatnya dari karet ban sepeda. Ketika pesawat itu selesai, datang masalah berikutnya. "Saya ndak berani mencobanya di depan umum," kata Djubair. Maka satu malam di tahun 1958, pesawat yang diberi nama Skyhoper, dicoba. Pada mulanya Skyhoper mengangkasa hingga ketinggian tiga meter. Setelah puntiran karet baling-baling habis, pesawat tadi mundur. Lantas menghunjam bumi tanpa permisi lagi. Melihat tidak ada seorang pun yang menyaksikan peristiwa itu, Djubair muda mengumpulkan reruntuhan pesawat pertamanya. Kemudian menyembunyikannya di dalam sarung sebelum pulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini