PAMERAN Dirgantara Indonesia baru saja usai. Sebuah pancang baru dalam perkembangan industri penerbangan Indonesia untuk meraih masa depan telah diletakkan. Tapi dari manakah cita-cita bermula? Sayang, jawaban tersebut tidak ditemukan pada acara kedirgantaraan Asia terbesar itu. Bahkan nama Nurtanio dan kawan-kawan tak muncul di sana. Sejarah kedirgantaraan di Indonesia dimulai melalui perjalanan proses panjang dan Pahit Proses itu pada awalnya cuma kumpulan kegiatan yang terserak. Misalnya kegiatan yang dilakukan oleh Tulus dan Moch. Jacoub, Oktober 1945, di Cibeureum: memperbaiki pesawat tempur Nishikoren, yang kemudian berhasil terbang dengan pilot Almarhum Adisutjipto di atas Kota Tasikmalaya. Sukses kecil ini berhasil menggugah pimpinan TRI membentuk Biro Rencana dan Konstruksi Angkatan Udara yang berpusat di PAU Maospati (sekarang: Lanu Iswayudi, Madiun). Dipelopori Opsir Udara III Wiweko Soepono dan Opsir Udara II Nurtanio, mereka merancang enam pesawat layang jenis ogling, yang diberi identifikasi NWG Nurtanio-Wiweko-Glider). Sesudah itu, mereka membuat pesawat terbang olah raga bermesin tunggal dengan inisial Nurweko (Nurtanio-Wiweko) -- belakangan diberi registrasi RI-X. Sementara itu, Opsir Udara III Sumarsono dan Sersan Mayor Sunanto, dengan biaya sendiri, pada 1948, menciptakan helikopter pertama buatan Indonesia dengan registrasi RI-H. Peristiwa Madiun dan Aksi Polisionil Belanda memacetkan kegiatan kedirgantaraan Indonesia. Namun, pada 1953, kegiatan tersebut dihidupkan kembali di bawah naungan Depot Perawatan Teknik Udara di bawah pimpinan Mayor Nurtanio, dengan hasil Si Kumbang NU-200, pesawat antigerilya. Tahun 1957, seiring dengan pembentukan Depot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan (DPPP) AURI, mereka meluncurkan Si Kumbang NU-225. Tahun berikutnya mereka menghasilkan Belalang 85, pesawat latih dasar yang kemudian diperbaiki penampilannya dalam versi Belalang 90. Masih pada 1958, DPPP AURI mengorbitkan lagi hasil rancangan mereka: pesawat olah raga Kunang 25. Memasuki periode 1960-an perwujudan impian akan sebuah industri pesawat terbang mulai disiapkan melalui Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip). PAU Andir (sekarang: Lanu Husein Sastranegara, Bandung) dicanangkan sebagai tempat industri itu berlokasi. Langkah tersebut diiringi dengan pembelian lisensi produksi pesawat P2:L-104. Dengan bekal lisensi itulah Lapip memproduksi pesawat bermesin satu, Gelatik, prototip Kumbang 260 dan helikopter Kepik. Namun, setelah Nurtanio meninggal pada 1966, kegiatan cikal bakal industri berteknologi tinggi ini tersendat. Mereka hanya sempat menyelesaikan LT200. Tapi pemasarannya mengalami kesulitan. Dalam pada itu, dimotori oleh B.J. Habibie, Divisi Teknologi Maju Pertamina memulai debutnya. Tahun 1975, mereka menandatangani pembelian lisensi produksi pesawat angkut ringan C-212 Aviocar dan helikopter BO-105. Dengan bekal ini, Habibie melebur Lipnur ke dalam PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Dan, pola pengembangan industri tersebut sudah mulai mengarah kepada orientasi pasar seperti halnya industri sejenis di negara-negara Barat. Awal tahun ini, berdasarkan keputusan Presiden, Habibie mengganti nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Nusantara. "Nama pahlawan itu seharusnya dijadikan monumen, bukan untuk perusahaan multinasional ini," kata Habibie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini