Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bangsa serangga mungkin kini harus berjuang lebih keras untuk menemukan bunga. Penyebabnya, dugaan polusi udara telah mendegradasi senyawa kimia di balik aroma memikat bunga-bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam beberapa tahun ini, ada perhatian yang semakin besar terhadap 'polusi sensorik'," kata Jeff Riffell, profesor di Departemen Biologi, University of Washington, Seattle, Amerika Serikat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata Jeff, polusi itu, yang datang dari aktivitas manusia, "Dapat mengubah perilaku kehidupan liar dengan cara mengubah atau mengintroduksi stimulan baru."
Polusi bising, misalnya, telah ditunjukkan mempengaruhi kicauan burung dan mungkin berhubungan dengan semakin seringnya kejadian paus terdampar. Polusi cahaya, sementara itu, bisa mengacaukan sejumlah hewan migrasi, termasuk burung-burung dan penyu.
Tapi masih sedikit yang diketahui tentang bagaimana aktivitaas manusia telah berdampak kepada indera penciuman hewan-hewan. Ini yang melatari Riffell dan timnya meneliti apa saja efek polutan antropogenik pada hewan penyerbuk.
Mereka fokus kepada molekul radikal ozon dan nitrat, polutan-polutan yang tercipta dari interaksi antara emisi kendaraan bermotor dengan gas-gas di atmosfer. Keduanya juga dikenal bereaksi dengan senyawa-senyawa yang dilepaskan bunga, sehingga mengubah baunya.
Jeff dan timnya mengumpulkan senyawa-senyawa yang dilepaskan pale evening-primrose (Oenothera pallida), jenis bunga gurun yang ditemukan di Amerika Utara. Kedua polutan dibuktikan oleh tim mampu memecah senyawa aroma bunga primrose itu, dengan radikal nitrat melakukannya lebih parah.
Untuk mempelajari apakah perubahan ini mengubah perilaku hewan penyerbuk utama, para peneliti lalu bereksperimen dengan spesies ngengat elang, termasuk white-lined sphinx (Hyles lineata). Dipaparkan kepada jenis serangga itu bunga-bunga pale evening primrose yang melepaskan aroma alami dan yang telah dimanipulasi untuk melepaskan aroma yang sudah terdegradasi.
Hasilnya, bunga-bunga yang merilis aroma yang sudah tidak asli itu didapati dikunjungi 70 persen lebih sedikit. "Frekuensi kunjungan yang anjlok ini dapat mempengaruhi kesehatan bangsa ngengat elang," kata Rifell seperti yang juga dipaparkan dalam laporan penelitian yang terbit di Jurnal Science, 8 Februari 2024.
Dampaknya juga bisa menyasar ekosistem yang lebih luas. Para peneliti mengkalkulasi bahwa penurunan frekuensi kedatangan ngengat elang berkorelasi dengan pengurangan hingga sebesar 28 persen pada jumlah buah yang dihasilkan tanaman atau pohonnya.
Juga, menurut model yang dikembangkan tim peneliti itu, jarak ngengat elang bisa mengendus bunga-bunga telah surut dari sekitar dua kilometer era revolusi industri menjadi hanya beberapa ratus meter saja saat ini.
"Ini menambahkan alasan bahwa kita harus beralih ke sumber-sumber energi yang tidak melibatkan pembakaran," kata anggota tim peneliti, Joel Thornton, juga dari University of Washington.
Kimiawan yang juga profesor di Departemen Ilmu Atmosfer itu menambahkan, “Jika kita dapat mengurangi emisi nitrogen oksida, ini akan menjadi kemenangan untuk kaualitas udara dan juga pertanian dan ekosistem."
NEWSCIENTIST, SCIENCE