Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Rapid Test Antigen Bisa Deteksi Puncak Infeksi Covid-19, Ini 4 Catatannya

Masa liburan panjang akhir tahun melambungkan istilah rapid test antigen untuk deteksi kasus Covid-19. Berikut 4 catatan tentang metode tes cepat ini.

17 Desember 2020 | 10.55 WIB

Ilustrasi Tes Rapid Antigen. alodokter.com
Perbesar
Ilustrasi Tes Rapid Antigen. alodokter.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tes cepat Covid-19 kembali menjadi buah bibir di tengah masyarakat bersamaan dengan pengetatan lonjakan kasus baru Covid-19 di masa liburan panjang akhir tahun ini. Bedanya kali ini adalah rapid test antigen--bukan antibodi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapid test antigen bekerja dengan cara mendeteksi keberadaan protein spesifik--yang disebut antigen--asal permukaan virus corona Covid-19. Metode ini memang tetap tak mampu melampaui akurasi tes PCR, tapi punya kelebihan, di antaranya, bisa mengidentifikasi bila seseorang sedang di fase puncak infeksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apa maksudnya? Berikut ini beberapa informasi yang bisa menjelaskan kenapa rapid test jenis ini kini menjadi penting, termasuk seperti apa pengembangannya di Indonesia.

1. Perbandingan dan Cara Kerja

Hingga saat ini, metode tes Covid-19 dibagi menjadi dua kategori. Pertama, tes diagnostik seperti PCR dan antigen. Keduanya bekerja dengan mendeteksi bagian-bagian dari virus.

Kedua, tes antibodi. Tes ini mencari molekul yang biasa dihasilkan tubuh ketika ada infeksi virus. Banyak antibodi butuh beberapa hari berselang dari kedatangan infeksi untuk terbentuk dan sering sekali masih tinggal dalam darah selama beminggu-minggu setelah infeksi berlalu atau sembuh. Jadi tingkat akurasi tes ini terbatas.

Sebaliknya dengan tes PCR sensitivitas tinggi yang hampir 100 persen akurat dalam mendeteksi seseorang terinfeksi virus corona Covid-19 atau tidak. Tapi tes dengan alat ini membutuhkan tenaga profesional, reagen yang spesifik, dan mesin mahal yang butuh berjam-jam untuk mengeluarkan hasilnya.

Tes antigen bisa memberi hasil kurang dari 30 menit, tak butuh laboratorium, dan murah. Sama seperti tes PCR, sampelnya diambil dari swab atau usap lendir di hidung maupun tenggorokan. Beberapa perusahaan bahkan mengembangkan cara untuk bisa memeriksa sampel dari air ludah yang lebih memudahkan.

2. Kelebihan dan Kekurangan Versus Tes PCR

Sampel lalu dicampur dengan larutan yang berfungsi memecah virus dan membuat protein spesifiknya terlepas. Campuran larutan dan sampel lalu diteteskan ke atas kertas berisi antibodi yang telah didesain akan mengikatkan diri ke protein-protein itu--jika ada di sana. Hasil tes positif bisa dideteksi dari ikatan yang terbentuk yang biasa ditandai dengan kemunculan warna fluoresens ataupun pita gelap pada kertas.

Tapi kecepatan mengorbankan sensitivitas. Kalau tes PCR dapat mendeteksi satu molekul RNA dalam setiap mikroliter larutan, tes antigen butuh satu sampel mengandung ribuan, bahkan puluhan ribu, partikel virus per mikroliter larutan untuk bisa menyatakan hasil positif. Jadi, jika seseorang memiliki virus dalam jumlah sedikit dalam tubuhnya, hasil tes negatif yang diberikan bisa saja palsu.

Sebagai ilustrasi, ketika digunakan pada sampel dari orang-orang yang sudah terkonfirmasi positif menggunakan tes PCR, alat tes antigen bisa sesuai 95-100 persen jika sampel diambil dalam seminggu sejak gejala muncul. Tapi jika sampel diambil lebih dari seminggu, hasil positif yang diberikan turun ke 75 persen. Itu sebabnya deteksi antigen bisa memberi hasil negatif palsu tapi cukup bisa digunakan untuk identifikasi masa puncak infeksi, yakni ketika konsentrasi virus dalam tubuh seseorang sedang tinggi.

Selama ini, beberapa orang yang terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19 melalui tes PCR diketahui tidak lagi mampu menularkan virusnya kepada orang lain. Jadi, tes antigen dianggap bisa menggeser fokus untuk mengidentifikasi orang-orang yang mampu menulari yang lain (infectious).

3. Ayam dan Rapid Test Antigen ala Unpad

Di Indonesia, alat deteksi antigen Covid-19 dikembangkan oleh tim peneliti Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Universitas Padjadjaran (Unpad). Dinamai CePAD, sebanyak 3.000 unit alat ini terkini disebar pemerintah melalui Kementerian Ristek/BRIN untuk digunakan di RS Hasan Sadikin Bandung dan RS Pendidikan Unpad.

Sekretaris Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Unpad, Muhammad Yusuf, pernah menerangkan versi pertama dari prototipe CePAD mampu mendeteksi virus yang ada dalam sampel swab maksimal 20 menit dengan menunjukkan dua garis merah dalam alat tes.

Teknologi kunci dari alat deteksi itu adalah biosensor yang bertugas mendeteksi sampel protein SARS-CoV-2. Biosensor tersebut dicetak dalam kertas mikroselulosa, kertas dengan ukuran pori yang khusus. Sampel swab dari pasien lalu diteteskan pada alat rapid test.

“Kenapa dia bisa muncul garis merah di situ, karena di kertasnya kami sudah cetak, ada biosensor, itu adalah molekul penangkap virus,” kata Yusuf menerangkan.

Biosensor pada rapid test tersebut adalah antibodi antigen yang dihasilkan dari ayam yang disuntikkan protein antigen virus. Biosensor tersebut akan mendeteksi reaksi antibodi antigen terhadap protein virus yang ditangkap alat itu dengan hasil berupa tampilan dua garis merah.

“Kami menggunakan ayam untuk memproduksi antibodi IgY dari kuning telur. Kami suntikkan antigen virus ke ayam. Nanti ayam akan memproduksi antibodi yang spesifik yang bisa menangkap si virusnya. Itu lebih mudah,” kata Yusuf memaparkan.

Yusuf mengatakan, antibodi IgY itu relatif akurat untuk dipergunakan sebagai komponen rapid test Covid-19. Seluruh pengujian yang dilakukan pada sampel swab dengan hasil positif lewat uji PCR menghasilkan bacaan dua garis merah pada alat rapid test CePAD, yang menandakan keberadaan SARS-CoV-2 terdeteksi.

4. Tantangan Pengembangan di Indonesia

Yusuf mengatakan, biaya pengembangan antibodi antigen tersebut terhitung mahal karena mayoritas bahan baku seperti protein virus dan peralatan yang dipergunakan seperti kertas mikroselulosa masih impor. Itu sebabnya kebanyakan produsen rapid test akhirnya memilih untuk mengimpor antibodi karena biaya produksi rapid test akan jauh lebih ekonomis.

“Tapi kalau dari sudut pandang industrinya, dan secara ilmu pengetahuan, jadinya tidak akan pernah berkembang,” kata dia sambil menambahkan timnya menuntaskan pengembangan protein antigen sendiri. "Kebetulan Pusat Riset kami bidang kajiannya itu, sains protein, kami bisa memproduksi antigen sendiri,” kata dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus