Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK berpikir panjang, Laksana Tri Handoko mengatakan kesediaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) jika diamanatkan menjadi badan pelaksana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). “Besok pun kami siap,” kata Kepala BRIN itu ketika ditemui seusai pembukaan Indonesia Research and Innovation Expo 2024 di Kawasan Sains Terpadu Soekarno, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 8 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan pelaksana yang dimaksud Laksana adalah Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir (NEPIO), satu dari 19 infrastruktur yang disyaratkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Menurut dia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran telah menempatkan BRIN sebagai salah satu lembaga terdepan dalam pengembangan nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BRIN itu badan pelaksana, dalam strateginya tentu kami bersama dengan kementerian terkait,” kata Laksana.
Sejatinya, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang diberi amanat Undang-Undang Ketenaganukliran. Namun, pada 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 yang membentuk BRIN. Batan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional melebur ke BRIN. Di tubuh BRIN, peran Batan dilakoni Organisasi Riset Tenaga Nuklir, satu dari 12 organisasi nonstruktural yang menyelenggarakan teknik penelitian.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko ketika membuka Indonesia Research and Innovation Expo 2024 di, Cibinong, Jawa Barat, 8 Agustus 2024. Dok. BRIN
Pemerintah, dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2023-2060, telah mematok target pengoperasian PLTN secara komersial pada 2033. Artinya, menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi, waktu yang tersisa untuk membangun PLTN hanya sembilan tahun. “Harus dipersiapkan dari sekarang. Jika tidak, waktunya akan terus berkurang,” ucap Eniya pada Senin, 12 Agustus 2024.
Karena itu, Eniya gamang ketika awal Juli 2024 Dewan Perwakilan Rakyat memperpanjang pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dia berharap RUU EBET disahkan pada periode saat ini. "Jika tidak, bukan hanya pemanfaatan nuklir yang terbengkalai, melainkan juga seluruh sumber energi baru," tuturnya.
Draf RUU EBET mencantumkan nuklir sebagai sumber energi baru, bersama hidrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan. Menurut Eniya, di antara sumber-sumber energi baru tersebut, nuklir yang paling mungkin dikembangkan. Pasalnya, riset pemanfaatan nuklir telah lama dilakukan di Indonesia, dari era Lembaga Atom Nasional yang merupakan cikal bakal Batan.
Indonesia juga memiliki dan mengoperasikan tiga reaktor nuklir, yakni Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat; Kartini di Yogyakarta; dan Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy di Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Presiden Sukarno meresmikan pengoperasian reaktor Triga Mark II pada 20 Februari 1965. Ketiganya adalah reaktor riset yang menghasilkan radioisotop untuk kebutuhan medis, pertanian, dan industri.
Menurut Eniya, reaktor nuklir yang ada bisa dikembangkan untuk menghasilkan daya listrik. "Semua reaktor ini skala penggunaannya masih dalam bidang riset, untuk edukasi penelitian dan sejenisnya," ujarnya. "Sedangkan yang kita butuhkan saat ini untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya atau energi listrik.”
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Puji Prasetyono, menghitung kebutuhan energi listrik Indonesia pada 2040 mencapai 1.600 terawatt-jam (tWh). Kebutuhan itu, dia menjelaskan, tidak akan bisa dipenuhi semua pembangkit listrik energi terbarukan yang dalam kalkulasi DEN hanya menghasilkan listrik maksimal 1.390 tWh.
"Ditambah pada 2040 kebutuhan akan energi listrik makin meningkat. Itulah alasannya PLTN harus bisa masuk ke Indonesia," kata Agus saat dihubungi Tempo pada Kamis, 15 Agustus 2024.
DEN menargetkan satu unit PLTN tersedia pada 2032, setahun lebih cepat dari rencana Kementerian ESDM. PLTN pertama di Indonesia itu dirancang berkapasitas 1.000 megawatt (MW). Jika skenario ini terlaksana, menurut Agus, masih ada waktu delapan tahun hingga 2040 untuk membangun tujuh unit PLTN lain dengan ukuran sama.
Pembangunan PLTN dengan cara mencicil ini bukan tanpa sebab. Agus mengungkapkan, tidak ada negara yang secara tiba-tiba membangun PLTN yang menghasilkan daya 8 gigawatt (GW). Apalagi mungkin saja ada PLTN yang dibangun di Indonesia yang berukuran kecil dengan daya sekitar 250 MW. "Pasti akan bertahap. Nah, dalam tahapannya ini, dibangun PLTN 1 GW per tahun," ujarnya.
Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir BRIN Topan Setiadipura mengatakan PLTN orde besar 1 GW memang sudah tersedia di pasar. Negara seperti Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bangladesh sudah membangun PLTN ini. “Kalau di Indonesia, menurut data PLN, penetrasi PLTN 1 GW hanya bisa di Jawa yang pasarnya sudah penuh dan infrastrukturnya sudah siap,” tutur Topan saat ditemui di kantornya di Kawasan Sains Terpadu BJ Habibie di Serpong pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir oleh perusahaan Rusia, Rosato di Akkuyu, Mersin, Turki. Akkuyu Nuklear/Rosatom
Teknologi reaktor nuklir, Topan melanjutkan, kini makin berkembang. Sementara dulu hanya ada PLTN 1 GW, kini ada teknologi reaktor nuklir kecil dan modular atau small modular reactor (SMR) yang memiliki daya 300 megawatt atau kurang. Karena kecil, SMR ini bisa mengisi banyak tempat.
"Opsi SMR inilah yang mungkin menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara,” ucap Topan, yang meraih gelar doktor teknik nuklir dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, pada 2014.
Menurut dia, ada tiga pemain utama dalam pengembangan PLTN 1 GW. Yang pertama adalah Rusia, lalu Korea Selatan dan Cina. Rusia sudah mengekspor banyak reaktor, seperti ke Belarus, Turki, Bangladesh, Mesir, dan bahkan ke Cina. Adapun Korea Selatan terlibat dalam pembangunan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab dan Republik Cek. "Cina mengekspor ke Pakistan dan membangun beberapa untuk dalam negerinya,” kata Topan.
Topan menilai, untuk membangun PLTN sebesar itu, opsi yang tersedia bagi Indonesia adalah membeli reaktor yang sudah terbukti. Impor, dia menambahkan, bukan hal tabu. Korea Selatan pun memulai pengembangan PLTN dengan lebih dulu mengimpor reaktor besar. “PLTN besar ini waktu penyiapannya 8-10 tahun,” ujar Topan seraya menegaskan posisi BRIN sebagai pendukung teknis bagi pemerintah.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Tianwan di Lianyungang, provinsi JIangsu, Cina, Oktober 2018. Reuters/StringerFile Photo
BRIN, Topan melanjutkan, juga sedang merancang-bangun SMR yang disebut peluit-40—kependekan pembangkit listrik dan uap panas industri berdaya 40 megawatt termal. Namun BRIN berfokus memasukkan peluit-40 ke kelas micro modular reactor (MMR)—reaktor dengan daya di bawah 10 megawatt listrik. Pengembangan peluit-40, reaktor bertipe temperatur tinggi dengan pendingin gas (HTGR), masih dalam tahap desain dasar.
Ihwal SMR, Topan mengatakan saat ini ada 80 unit yang dikembangkan di seluruh dunia. Ada yang sudah terbangun dan masuk pasar seperti RITM-200M dari Rosatom, Rusia, dan HTR-PM dari Tsinghua University, Cina. Ada pula yang sedang dibangun seperti ACP-100 dari China National Nuclear Corporation dan VOYGR rancangan NuScale Power Corporation asal Amerika Serikat yang telah mengantongi lisensi Komisi Pengaturan Nuklir (NRC). Adapun SMR Korea Selatan, i-SMR, masih dalam tahap desain.
Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan Institute for Essential Services Reform (IESR), Pintoko Aji, menganggap keinginan pemerintah membangun PLTN dalam waktu sembilan tahun sebagai langkah yang tergesa-gesa. Dia bahkan menilai urgensi pembangunan PLTN belum terlihat. Sebab, sumber energi terbarukan yang potensial dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional berlimpah. "Kenapa kita harus memilih nuklir sekarang?" ucap Pintoko pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Pintoko, yang juga analis energi terbarukan di IESR, menyebutkan masih banyak sumber energi lain yang risiko bahayanya lebih kecil untuk dikembangkan di Indonesia. Ketimbang membangun PLTN, dia merekomendasikan pengembangan yang lebih maju terhadap pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Energi terbarukan yang memanfaatkan sinar matahari itu ia klaim lebih aman ketimbang PLTN. "PLTS ini kan cukup ditaruh di mana saja sebenarnya, apalagi PLTS atap," ujarnya.
Dia pun membandingkan perkembangan PLTS di Indonesia dengan banyak negara di dunia, seperti Vietnam dan India. "Kita lihat di negara-negara itu pemerintahnya menargetkan kapasitas produksi solar cell kepada industrinya. Mereka sudah sangat besar-besaran, Indonesia ketinggalan banget," kata Pintoko.
Pintoko optimistis kebutuhan listrik, yang diperkirakan meningkat menjadi 1.600 tWh pada 2040, masih bisa ditopang energi terbarukan jika dikembangkan serius. Pemerintah bisa mengkombinasikan PLTS dengan pembangkit bertenaga sumber energi terbarukan lain seperti air dan bayu.
Pintoko pun ragu akan kalkulasi kebutuhan energi masa depan yang dibikin pemerintah. "Kadang dibuat overprojection. Padahal ada shift-technology yang bisa dipertimbangkan untuk dikelola berbarengan, tanpa harus ada PLTN ini," tuturnya.
Pendapat kontra ihwal pembangunan PLTN di Indonesia juga datang dari Didit Haryo, Manajer Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia. Menurut dia, PLTN berpotensi mempersempit ruang hidup, tidak ada bedanya dengan dampak yang ditimbulkan industri pertambangan selama ini. Greenpeace menilai klaim pemerintah bahwa nuklir merupakan sumber energi baru yang lebih hemat dan ramah lingkungan ketimbang batu bara hanya solusi palsu.
Bahan bakar nuklir, uranium, tetap akan ditambang untuk pengolahannya. Lama-kelamaan aktivitas penambangan ini juga akan terhenti karena cadangan di dalam kerak bumi bakal habis. Kondisi ini sama persis dengan industri batu bara. "Sangat disayangkan kemunduran bagi pemerintah Indonesia yang ingin menggunakan nuklir sebagai salah satu sumber energi," kata Didit.
Didit juga masih ragu akan klaim pemerintah ihwal keamanan dalam pemanfaatan teknologi nuklir. Belajar dari inkonsistensi kebijakan yang membudaya di tubuh pemerintah selama ini, dia menerangkan, klaim pembangunan pembangkit dengan tingkat keselamatan tinggi bisa meleset di kemudian hari. Didit mencontohkan klaim-klaim pemerintah ihwal keamanan data. "Indonesia saja masih abai untuk hal yang satu ini, lalu tiba-tiba ingin beralih ke nuklir yang risiko bahayanya sangat tinggi," ucapnya.
Risiko PLTN tidak kecil. Didit berkaca pada bencana ledakan PLTN Fukushima Daiichi di Jepang pada 11 Maret 2011. "Orang Jepang yang sudah dikenal sangat ulet dan disiplin masih gagal dalam menjaga dan menggunakan nuklir ini," katanya. "Lalu Indonesia, yang kita tahu bagaimana kapasitas pemerintahannya, ikut membangun PLTN. Siapa yang menjamin rencana ini akan aman?"
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Syaiful Bakhri menanggapi soal penambangan uranium untuk bahan bakar PLTN. Menurut dia, Indonesia memang memiliki sumber daya uranium yang terdata sebesar 89 ribu ton yang tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat. Namun hingga saat ini belum ada regulasi pengusahaan di sektor ini.
Karena itu, Syaiful menilai, sumber daya uranium tersebut tidak mesti ditambang dan lebih baik disimpan saja. Apalagi pengolahan uranium menjadi bahan bakar nuklir memerlukan proses yang cukup panjang, dari penambangan, pelindian, pemurnian, pengendapan, hingga penyaringan. Selanjutnya masih ada proses pengayaan uranium yang sangat sensitif karena bisa dicurigai sebagai upaya membuat bom nuklir.
Menurut Syaiful, bahan bakar uranium yang selama ini dibutuhkan tiga reaktor riset BRIN diperoleh dengan cara diimpor. “Lebih murah daripada mengolah uranium sendiri,” ujarnya. Bahan bakar nuklir, kata Syaiful, sekarang juga bisa bersumber dari limbah bahan bakar PLTN serta penurunan grade uranium dan plutonium dari hulu ledak nuklir.
Ihwal pengoperasian reaktor nuklir, Syaiful melanjutkan, sumber daya manusia Indonesia berpengalaman sejak 1970-an. Reaktor nuklir pertama Indonesia, Triga Mark II, beroperasi sejak 1965. “Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy di Serpong itu berdaya 30 megawatt, terbesar di Asia Tenggara,” tutur Syaiful.
Memang, ketiga reaktor nuklir itu merupakan reaktor riset yang tidak menghasilkan listrik seperti PLTN. Namun produk radioisotopnya digunakan di dunia kesehatan, pengujian industri, dan pertanian.
Teknologi reaktor nuklir pun, kata Topan Setiadipura, terus berkembang. Reaktor generasi keempat, seperti tipe HTGR yang diadopsi peluIt-40, memiliki sistem keselamatan pasif. Dalam desain reaktor itu sudah melekat sistem keselamatan yang tidak memerlukan intervensi manusia. “Seperti kantong udara di mobil, sistem keselamatan pasif ini akan mencegah pelepasan bahan bakar ketika terjadi kecelakaan,” ujarnya. Sistem pendingin pasif juga memungkinkan reaktor dan termal dingin melalui sirkulasi alami.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dikejar Target Pembangkit Nuklir"