Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REAKTOR nuklir generasi keempat, bagi Muksin Aji Setiawan, semestinya bisa mengikis pandangan miring terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Peneliti Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu menilai reaktor tersebut memiliki fitur keselamatan lebih tinggi karena menggunakan desain reaktor temperatur tinggi berpendingin gas atau high temperature gas-cooled reactor (HTGR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada desain ini dibuat tidak mungkin terjadi kejadian seperti di Fukushima 2011 dan Chernobyl 1986,” kata Muksin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muksin menyampaikan pandangannya saat menjadi salah satu pembicara di acara Nuclear Talks Series bertajuk “PeLUIT-40 Desain HTGR Menjawab Tantangan Kebutuhan Energi Hijau Masa Depan Indonesia” pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Acara ini merupakan bagian dari Indonesia Research and Innovation Expo 2024 yang digelar di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Sesuai dengan tajuknya, Muksin menjabarkan rancangan peluit-40, yang merupakan kependekan dari pembangkit listrik dan uap panas industri berdaya 40 megawatt termal. Pembangkit yang tengah dirancang BRIN ini menggunakan reaktor nuklir kogenerasi yang beroperasi pada temperatur sangat tinggi dengan output uap panas bersuhu 520 derajat Celsius.
Bila seluruh uap panas—sekitar 30 megawatt–itu disalurkan ke turbin, pembangkit akan menghasilkan listrik sebesar 10 megawatt. Adapun jika uap panas tersebut digunakan untuk memproduksi hidrogen, diperoleh 1.300 ton hidrogen per tahun. “Peluit-40 merupakan gambaran Indonesia go nuclear dengan desain generasi baru,” ucap Muksin.
Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir BRIN Topan Setiadipura mengatakan pengembangan peluit-40 masih dalam tahap awal, yakni pembuatan desain dasar. Namun, menurut dia, peluit-40 yang dikembangkan dari reaktor daya eksperimental (RDE) 10 megawatt telah diakui komunitas nuklir dunia.
“Menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), ada 80 small modular reactor (SMR) yang dirancang-bangun di seluruh dunia. Peluit-40 salah satunya,” ujar Topan di kantornya di Kawasan Sains Terpadu BJ Habibie, Serpong, Banten, pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Topan mengungkapkan, meski tergolong sebagai SMR atau reaktor berdaya 300 megawatt listrik atau lebih kecil, peluit-40 tidak akan masuk ke pasar di kategori tersebut. Peluit-40 dirancang sebagai micro modular reactor (MMR) atau pembangkit dengan daya 10 megawatt listrik atau kurang.
“Peluit-40 utilisasinya menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan unit untuk memproduksi hidrogen,” tutur doktor teknik nuklir dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, ini.
Topan menambahkan, program dedieselisasi atau penggantian PLTD yang dilancarkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) cukup besar, yakni sekitar 2 gigawatt. “Kalau 5 persen saja bisa dapat program dedieselisasi, artinya butuh 100 megawatt atau 10 unit peluit-40,” ujarnya. Dalam kajian pengembangan peluit-40, BRIN menjalin kerja sama dengan berbagai institusi, di antaranya PLN Nusantara Power—anak perusahaan PLN.
Sebelum bisa diwujudkan, peluit-40 harus mendapat izin desain dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir dulu. Syaratnya adalah menyerahkan desain detail dan laporan analisis keselamatan. Sebelum sampai ke desain detail, ada fase desain konseptual dan desain dasar. “Kalau desain dasar, sudah ada spesifikasi reaktor dan rincian komponennya. Kalau desain detail, setiap komponen sudah ada mereknya,” kata Topan.
Pembuatan desain detail tersebut memerlukan mitra internasional yang berpengalaman. Topan mengaku telah mencari calon mitra dalam acara AtomExpo 2024 di Sochi, Rusia, pada Maret 2024. Cina termasuk yang dilirik lantaran memiliki tipe reaktor serupa, yaitu HTR-10 yang dikembangkan Institute of Nuclear and New Energy Technology, Tsinghua University. “Kami juga menawarkan kepada Rosatom (Rusia) karena mereka yang memberikan desain konseptual RDE pada 2015,” ujarnya.
Setelah izin desain digenggam, tahap selanjutnya adalah pembangunan reaktor demo (demo plant) atau prototipe. Topan mengungkapkan, estimasi kebutuhan anggaran untuk mengembangkan peluit-40 mencapai Rp 2 triliun. Agar mitra internasional tertarik membangun demo plant itu, peluit-40 harus dikaitkan dengan program dedieselisasi PT PLN.
“Kami bisa bilang, kalau kamu bantu membuat demo plant, akan ada 10 unit serupa yang dibangun setelahnya,” ucap Topan memberi contoh.
Utilisasi reaktor demo sudah bisa menghasilkan cuan. Topan memberikan contoh lain, satu demo plant peluit-40 bisa memproduksi hidrogen sebesar 1.300 ton per tahun. Jumlah tersebut enam kali lipat lebih besar dari yang bisa dihasilkan oleh 21 unit green hydrogen plant dari pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga gas uap milik PLN, yang selama ini hanya 200 ton per tahun.
Potensi keuntungan lain dari keberadaan reaktor demo peluit-40 adalah dapat menekan harga produksi listrik di masa mendatang. Menyitir koleganya di PT PLN Nusantara Power, Topan menjabarkan bahwa harga jual listrik ke PLN Holding senilai Rp 1.600 per kilowatt-jam (kWh). Tapi, untuk memproduksi listrik, PLN Nusantara Power selama ini menggunakan listrik sebesar 5 persen dari total produksi, yang dibeli dari induknya dengan harga Rp 2.500 per kWh.
“Mereka tanya, bisa atau enggak harga listrik peluit-40 di bawah Rp 2.500 per kWh? Kalau bisa, mereka mau ambil,” kata Topan.
Menurut Topan, harga listrik peluit-40 masih dalam studi. Setidaknya ada tiga opsi harga yang saat ini tersedia, yakni skenario optimistis US$ 8 sen per kWh, pesimistis US$ 13 sen per kWh, dan paling pesimistis US$ 38 sen per kWh.
“Angka ini jangan dibandingkan dengan pembangkit batu bara. Peluit-40 bersaing dengan diesel yang harga listrik rata-ratanya US$ 24 sen per kWh,” tutur Topan. Dia menargetkan harga listrik peluit-40 setidaknya sama dengan harga listrik diesel yang tercantum dalam keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yakni US$ 19 sen per kWh.
Lalu kapan peluit-40 akan terwujud? Jawabannya, kata Topan, sangat bergantung pada keberadaan mitra internasional. Jika pemerintah merestui Cina atau Rusia sebagai mitra, dia optimistis tahap inisialisasi bisa dimulai pada 2025. Dengan adanya mitra, BRIN bisa segera membereskan desain dan menyiapkan tapak secara paralel yang perizinannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun.
"Maka pada 2027 sudah harus memesan barang-barang besar, seperti pressure vessel (pengungkung),” ucap Topan. “Kemudian bisa mulai konstruksi. Berapa lama konstruksi? Kalau Rusia biasanya tiga tahun.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Reaktor Nuklir Penyokong Dedieselisasi"