Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Samurai-samurai masa depan

Kamera model baru makin banyak dipasarkan. serba ergonomis, otomatis, canggih & akurat. misal: ricoh mirai, nikon f-4, olympus infinity superzoom 300, chinongenesis, yashica samurai. persaingan ketat.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMERA berbentuk ganjil, yang aneh desainnya, kini makin banyak menyerbu etalase toko, juga di Indonesia. Lihat saja salah satu dari mereka: Yashica Samurai. Bentuk kamera itu unik, tubuhnya meninggi, bukan melebar seperti alat potret pada umumnya. Bodinya yang langsing -- tinggi 12, lebar 6,7 dan panjang 13 cm -- membuat penampilannya mirip betul dengan kamera video, jika dilihat dari depan. Yashica Samurai termasuk kamera bridge yang sedang trendy saat ini. Istilah bridge agaknya dipakai untuk menunjukkan bahwa jenis ini "menjembatani" kamera kompak dan SLR (single lens reflex). Jenis kamera ini cocok bagi para pemula yang ingin memperoleh hasil jepretan profesional, tanpa harus bersusah payah belajar teknik fotografi. Kamera bridge memang menjanjikan kemudahan itu. Dia sanggup mengatur fokus dan pencahayaan secara otomatis, dengan derajat akurasi yang tinggi. Pengoperasiannya pun mudah, tinggal tekan-tekan panil, lalu "jepret", cukup dengan satu tangan. Berbeda dengan generasi kamera AF (autofocus) terdahulu (banyak yang murah, sehingga sering disebut kamera kacang), jenis bridge ini lebih canggih, dengan hasil jepretannya yang lebih tajam. Kesalahan paralaks -- kesenjangan antara apa yang dilihat pemotret dan apa yang terekam lensa kamera -- pun tak perlu terjadi, lantaran kamera bridge menganut teknik lensa SLR juga. Pada sebagian besar kamera kacang -- yang berciri kecil, ringkas. dan relatif murah -- kesalahan paralaks sering tak terhindarkan. Sistem bidik rangefinder yang dipakai memang tak bisa memadukan tangkapan mata kamera dan mata pemotret secara utuh. Penggunaan sistem SLR, dengan cermin dan prisma, seperti pada Yashica Samurai, bisa menghapus efek paralaks semacam itu. Dengan tubuhnya yang meninggi, si Samurai menghendaki pemasangan film yang berbeda: gulungan film dipasang vertikal, dari bawah ke atas, dengan selongsong film berada di bagian bawah. Samurai ini tergolong dalam kamera half frame, negatif film yang dihasilkannya berukuran 24 x 17 mm, separuh dari frame standar. Jadi, satu rol film standar berisi 36 frame bisa menghasilkan 72 gambar. Dulu jenis kamera half frame ini sulit menembus pasaran. Namun, Samurai tergolong sukses. Dalam tempo 3 bulan, setelah produk itu menggelinding ke pasar, 60 ribu unit kamera itu terjual di Jepang. Harganya Rp 900 ribu sebiji. Kamera half frame seperti Olympus Pen, misalnya, yang diproduksi di akhir 1970-an, gagal menjaring pembeli. Untuk menghasilkan gambar dengan posisi horisontal, dengan kamera model Olympus Pen itu, justru pemotret harus menjungkirkan posisi kamera. Sebaliknya pada posisi normal, gambar yang dihasilkan berformat vertikal. Itu membuat kagok, karena berlawanan dengan cara konvensional. Mengecilnya ukuran frame film seperti pada Samurai itu memang selalu mengundang kekhawatiran akan terjadinya penurunan mutu gambar. Bagaimanapun, orang tetap berpendapat, negatif film yang berukuran besar akan menghasilkan potret yang lebih tajam dan halus. Tapi tunggu dulu. Ada fenomena yang menarik, seperti ditulis oleh Arthur Fisher, dalam Popular Science Januari lalu, bahwa Yashica Samurai laku keras di Jepang. Padahal, orang tahu, hasil jepretan kamera ini "pecah" jika dicetak dalam ukuran besar. Film ukuran 17 x 24 mm itu hanya bagus untuk dicetak sampai 9 x 13 cm, alias ukuran kartu pos. Usut punya usut, ternyata konsumen Jepang punya pertimbangan sendiri. Mutu cetak pada kertas ukuran besar memang tak mereka pedulikan, asal kualitas gambar pada ukuran kartu pos bisa diandalkan. Harap diketahui, 97% dari foto yang dicetak orang Jepang memang berukuran kartu pos. Sukses Samurai tentu saja tak lepas dari keandalan lensanya. Kendati lensanya tak bisa dibongkar-pasang, tak berarti kamera itu tak sanggup untuk membidik obyek jauh. Dalam tubuh Samurai telah tertanam zoom 25-75 mm. Cukup dengan menekan sebuah panil, pemakainya bisa memotret obyek yang berjarak dekat dan jauh. Desain ganjil pada Yashica Samurai itu tidak sekadar untuk memperoleh bentuk aneh. Yang diutamakan pada kamera jenis ini adalah pencapaian bentuk yang paling ergonomik, klop dengan lekuk-cerung tangan serta jemari, dan memberikan cukup ruang untuk menampung instrumen canggih. Yashica Samurai tak melaju sendirian dalam arena kamera yang ergonomik. Ricoh menurunkan seri Mirai, yang punya gagang, tempat parkir bagi jemari tangan. Gagang itu bisa diputar dalam beberapa posisi, sesuai dengan kebutuhan. Ricoh Mirai juga termasuk kamera dengan kepintaran yang komplet: SLR, autofokus, dan pandai mengontrol diafragma. Mirai, dengan berat 1 kg, juga memiliki zoom 35-135 mm, dan lampu flash, serta motor penggerak yang terpasang di dalam tubuhnya yang gemuk. Semuanya serba otomatis. Tapi berbeda dengan Samurai, kedudukan film dalam tubuh Mirai normal saja, dipasang menjulur dari kiri ke kanan. Keistimewaan Mirai -- yang dipasarkan mulai September tahun silam -- adalah kecepatan shutter-nya, yang berkisar antara 1/2.000 dan 32 detik. Orang boleh berharap bisa mendapatkan gambar jernih dari obyek yang melesat cepat, gerakan proyektil roket, misalnya, lewat Mirai. jika kecepatan shutter-nya diatur pada 1/2.000 detik. Majalah Photographic, salah satu bulanan fotografi yang cukup beken, menyebut kamera ini sebagai "kamera masa depan". Chinon tak mau ketinggalan. Kamera Jepang itu juga punya andalan baru: Chinon GS-7 Genesis yang ergonomis. Seperti halnya Samurai dan Mirai, Chinon Genesis juga menyimpan zoom, motor, dan lampu flash di dalam tubuhnya. Kamera ini menjanjikan pula berbagai kemudahan, seperti autofokus, yang diatur lewat sensor infrared dan pengaturan cahaya secara otomatis. Perusahaan kamera Olympus punya Infinity Superzoom 300, untuk duduk sekelas dengan Samurai, Mirai, dan Chinon Genesis. Fasilitas dan kecanggihan yang dimiliki Infinity Superzoom 300 tak beda dengan para pesainganya. Kemajuan besar yang dicapai jenis bridge seperti Samurai dkk. tak membuat pamor kamera konvensional jadi tenggelam. Nikon model terbaru F-4, misalnya. tetap prestisius dan canggih. Fasilitasnya memungkinkan dia dioperasikan secara manual atau autofokus. Salah satu keunggulan Nikon F-4 ini ada pada shutter-nya, "yang bisa tergelak sampai kecepatan 1/8.000 detik," tutur Prabowo Kuntjoro, Manajer Teknik Indonik Kandi, agen penjualan dan servis Nikon di Jakarta, pada Tommy Tamtomo dari TEMPO. Nikon F-4 bisa dipasangi motor drive model MB-20 atau MB-21. Motor penggerak MB-20 mampu berputar sedikit lebih cepat dibanding saudaranya. Di Jakarta, harganya (hanya body) sekitar Rp 2,7 juta, satu juta lebih mahal dibanding pendahulunya, F-3, yang lahir 9 tahun silam. Kelebihan kamera mahal ini, ia bisa menggunakan lensa biasa maupun autofokus. Ada tiga macam mode metering, tutur Prabowo, yang bisa digunakan untuk menentukan fokus obyek: spot metering, matrix, dan centre weighted metering. Spot metering, seperti teknik yang dipakai oleh kamera autofokus pada umumnya, hanya akan memfokus satu lingkaran kecil, 5 mm pada jendela bidik, di pusat obyek gambar. Lantas centre weighted metering, mirip dengan spot, tapi lingkaran yang difokuskan lebih luas, sampai 12 mm. Sedangkan pada matrix metering, fokus ditentukan berdasarkan rata-rata pengukuran dari beberapa titik (multispot). Kecepatan motor memutar film, pada Nikon F-4, juga bisa diatur. Dengan menekan tombol S (Standard), berarti setiap satu pijitan atas shutter hanya akan menghasilkan satu gambar. Sedang posisi HC biasa dipakai untuk merekam acara pidato atau pesta pengantin. Pada keadaan itu, motor drive di perut kamera boleh berputar dengan kecepatan santai. Bila panil CH yang dipilih. berarti motor drive dipersiapkan bekerja pada kecepatan tinggi. Bila shutter dipencet selama satu detik, jendela lensa akan membuka-tutup sebanyak 5 kali, dan lima buah gambar yang dihasilkan. Panil CL juga akan memberikan efek berondongan, dengan kecepatan lima buah gambar per detik. Masih ada satu lagi, panil CS, yang dioperasikan di tempat yang menuntut keheningan, pada konser musik, misalnya. Pada posisi CS, motor drive akan berputar nyaris tanpa suara. Di saat motor drive dipersiapkan untuk membidik secara berondongan, pijaran lampu flash secara otomatis akan mengikuti irama shutter. Di tengah ramainya gerakan ke arah kamera ergonomis yang aneh bentuknya, bentuk-bentuk "tradisional" tetap juga bertahan. Pabrik kamera kenamaan Leica, dari Jerman Barat, tetap menghadirkan produk dengan desain klasik, yakni seri Leica R-6. Yang menarik pada Leica R-6 ini adalah, dia kembalikepada sistem mekanik penuh, dan meninggalkan sistem yang serba otomatis seperti kamera-kamera canggih sekarang ini. Kamera SLR 35 mm ini berbeda dengan pendahulunya, model R-5, yang masih menggunakan sistem otomatis dalam pencahayaan. Tampaknya, dengan kembalinya ke sistem "kuno" ini, produsen Leica mengharapkan kamera ini bisa laris, terutama di antara para penggemar fotografi "sejati". Kamera jenis medium format juga mempertahankan bentuknya. Di antara deretan kamera jenis ini, Hasselblad 503 CX agaknya masih tetap paling unggul. Kamera berbentuk kotak itu -- lebar dan tinggi sekitar 11 cm, dengan panjang 18 cm -- bisa dipasangi pelbagai ukuran film: 6 x 6, 6 x 4,5, 4,5 x 4,5, 4 x 5,5 cm, atau film polaroid. Pelbagai macam lensa, dari ukuran 30-500 mm, bisa dipasang pada tubuh 503 CX itu. Yang baru dari kamera ini adalah pemakaian flash metering dengan sistem TTL-OTF (through the lens-off the film). Hampir seluruh bagian tubuh kamera ini bisa dibongkar pasang. Agaknya, ini memang selaras dengan semboyan Hasselblad, yang ingin produknya tampil sebagai "kamera paling mudah diservis" sepanjang sejarah fotografi.Putut Tri Husodo dan Rudi P. Singgih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum