BAGAIMANA menyulap gurun menjadi ladang hijau? Aljazair tahu. Di atas bukit dan padang pasir sunyi, terik matahari dan hawa panas bergetar. Erg, gurun dan bukit pasir itu, membentang 1,9 juta km persegi, melingkup 80 persen wilayah negeri di Afrika Utara ini. Tak banyak orang bersedia hidup di alam begitu keras. Sebagian rakyat Aljazair bahkan mengaku belum pernah melihat Sahara, di mana akal dan mata manusia acapkali dipermainkan fatamorgana. Bagi sebagian yang lain, gurun tandus Sahara penuh janji. Mereka tahu, ratusan meter di bawah sana bukan saja minyak (8.820 juta barel menurut perhitungan 1986) yang mengalir. Air juga ada. Seperti diabadikan fosil dan goresan bisu di tepi ladang garam Djebel dan Chott, 600 juta tahun lalu air pernah menggenang di sini. Sejak tahun 70-an Aljazair membenahi kembali pertaniannya yang terbengkalai tersedot industri. Gurun, juga benih dan alat pertanian, dibagikan cuma-cuma. Tapi di mana air? Hujan bahkan tak menentu, menetes dari 0 sampai 100 mm setahun (di Indonesia bisa lebih dari 3.000 mm). "Paling sedikit setahun mencari mata air dan membersihkan ladang dari pasir," kata Hassan. Ia pengusaha percetakan yang kini bertani di luar Kota Ouarglaba. Cara tradisional ditempuh. Mata air dicari dengan ranting kayu. Pasir digunduk-gunduk di sekeliling lahan pertanian, selain untuk menghambat pasir Sahara yang terempas datang. Dan dengan pinjaman dari bank, petani membeli traktor Jepang, mesin penumbuh tanaman (Hassan adalah petani pertama Aljazair yang memilikinya), pompa penghisap air 200 meter di bawah pasir, plastik dari Italia untuk melindungi tomat dari serbuan angin pasir dan terik matahari. Sekian tahun berlalu, hasil jerih payah itu mulai tampak. Tomat, kentang, cabai, kacang, makanan ternak mulai melimpah. Kendati sebagian besar masih liar, Erg kian hijau dan subur. Karavan unta kini hilang, diganti dengan pick-up Peugeot bermuatan ternak dan sayuran yang meluncur di Trans-Sahara. Sedangkan daerah Oasis berkembang menjadi stasiun bensin dan tempat berdirinya hotel-hotel bintang tiga. Albert Camus, sastrawan Prancis yang lahir dan tumbuh di Aljazair, menulis negeri itu sebagai "sebuah tempat di mana semangat harus mati agar lahir suatu kebenaran yang baru." Tentu saja bahwa bila "semangat" berarti gurun pasir, maka "kebenaran yang baru" itu adalah penghijauan.ZU dan Yudhi Soerjoatmodjo (Aljir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini