BOGOR bertirai gerimis itu biasa. Yang istimewa pada Rabu pekan lalu di Gedung Wanita itu, kehadiran Ars Antiqua de Paris, trio dari Prancis yang khusus memainkan nomor-nomor musik dari abad XII sampai XVII. Mereka itu vokalis countertenor Joseph Sage, pemain luthe Raymond Couste, Sophie Toussaint yang memainkan flut. Peralatan mereka yang lain adalah sebangsa tabla, psalterion (sejenis harpa), pikolo, tambur, cromorne -- alat tiup Eropa dari abad XVI yang ujungnya menggeliat ke atas. "Jangan kaget kalau saya akan bernyanyi dengan suara aneh dan lagu pertama saya ini akan terkesan panjang," demikian Joseph Sage memberi pembukaan pada pertunjukan yang dihadiri sekitar 400 orang, antara lain Wakil Wali Kota Bogor Daud, sejumlah bule tenaga asing perusahaan Good Year dan para siswa kursus bahasa Prancis. Malam itu mereka diguyur suasana Abad Pertengahan Prancis yang religius, mengawang-awang melalui Reis Glorios karya Guiraut de Borneilh. Vokal Joseph tinggi dan lembut bak suara bocah dalam sebuah kor di gereja. Ketika membawakan nada-nada pujaan kepada Tuhan itu, sembari memetik psalterionnya, Joseph, 48 tahun, sesekali memejamkan mata dan mengangkat bahunya. Naik mengikuti irama meninggi, lalu turun, selama enam menit, Seteguk anggur dari botol Les Chevaliers de Saint Martin dari Bordeaux adalah bahan bakar Joseph. Jenis suara kontratenor seperti yang disuguhkan Joseph itu memang langka. Konon ia salah satu dari tujuh pemilik vokal begitu di dunia. Tapi lelaki yang memulai kariernya sejak usia 15 tahun ini tetap merendah. "Suara kontratenor seperti saya bukan fenomena khusus. Semua lelaki di sini bisa mencapainya, coba saja... ha... ha... ha," katanya. Penonton yang diajak ber-ha-ha-ha akhirnya tertawa. Enak. Semua orang memiliki dua pita suara asli dan dua pita suara palsu. "Saya menyanyi dengan pita suara yang palsu, makanya suara saya seperti suara wanita. Atau anak-anak yang suaranya belum bengkok, atau suara lelaki yang dikebiri," sambung Joseph. Penonton tertawa lagi. Suasananya memang akrab, santai, kendati musik serius yang disuguhkan malam itu berakar jauh pada beberapa abad lampau. Di tempat dan legenda yang juga jauh dari warna budaya penonton di sini. Ada kisah dari Joseph, bahwa pada Abad Pertengahan wanita dilarang menyanyi sehingga suaranya harus digantikan oleh vokal lelaki, yang kemudian melahirkan jenis suara haute contre atau kontratenor itu. Legenda lain mengatakan, jenis suara seperti itu hasil dari tradisi para Satyre, dewa hutan yang bertubuh separuh manusia setengahnya kambing dalam mitologi Yunani. "Tradisi ini mulai hilang pada abad ke-18," tutur Joseph. Repertoar rombongan dengan akar riwayat seperti itu, seperti Ars Antiqua (bahasa Latin, artinya seni kuno) di Bogor dalam suasana gerimis itu, tidak semuanya berisi lagu pujaan kepada Tuhan. Joseph dan kedua kawannya menyenandungkan pula Troto et Saltarello. Mengentak, karena tentang kegembiraan pesta di sebuah istana abad XII. Maka, yang terbayang adalah anak-anak dengan rambut penuh rumput kering, berdansa di hadapan para bangsawan yang sedang melambung dibakar tuak. Lalu ada badut dan jongleurs, pemain akrobat. Tak perlu kata-kata di sini, kecuali sabetan tabla oleh Joseph dan Raymond, lalu Sophie melengkapi dengan pikolonya yang meliuk-liuk itu. Hei, dari mukanya yang memerah, kelihatan sekali Sophie, 27 tahun, bekerja keras ketika kemudian meniup cromorne. Kedua temannya mengguyurnya dengan luth dan tambur. Inilah Sire, Conte, j'ai viele. Dan cromorne Sophie sempat menyembur seperti suara bebek. Nomor pendek ini tentang seorang buruh lelaki yang mengiba pada tuannya agar diberi uang, lantaran ketakutan istrinya marah nanti jika ia pulang dengan tangan hampa. "Madre, madre, madre, mia... (Ibu, Ibu, Ibuku...)," terdengar lengkingan Joseph ketika mengisahkan dialog antara seorang ibu dan anak gadisnya yang khawatir diperkosa prajurit. Barisan serdadu memang telah lahir, kali ini oleh Perang Salib. Dan salah satu lagu tentang kecamuk zaman itu adalah Chanson de Croisade, karya Thibaut de Champagne. Pada kenyataannya, perkakas mereka seperti luth (dengan 19 dawai nilon, replika dari abad XVII, yang kini harganya Rp 6 juta), tamborin, dan tabla berasal dari Arab yang dibawa prajurit Perang Salib. Kerajaan Islam di Spanyol dan Prancis selatan memperkaya khazanah. Pada zaman sebelumnya, bermula abad XI, musik ini adalah hiburan duniawi yang berisi pesan-pesan religius yang penyebarannya diawasi gereja. Dan itu dinyanyikan pada hari-hari Natal dan Paskah. Kemudian berkembang, dinyanyikan oleh para minstrel (pemain musik keliling) dan jongleurs, pengamen ke pelosok Prancis, Spanyol, Jerman, Italia. Penyebaran di luar batas jangkauan gereja ini menyebabkan para tokoh seperti Martin Luther (1483-1546) gundah. Kendati setuju pada inovasi, maunya tetap taat pada jalur utama: musik itu harus sederhana, mudah dicerna, dan membangun iman. Upaya Ars Antiqua yang sejak berdirinya 1965 menekuni bentuk ekspresi kuno ini memang tak sia-sia. Mereka berkeliling ke pelbagai negeri di dunia, menyebarkan informasi sejarah dengan keunikan musik. Setiap tahun rata-rata mereka melakukan 200 konser, dan karya-karya itu sudah ada yang direkam dalam compact disc. Joseph dan Raymond, 43 tahun, sebagai duo pada 1980 dan 1981 pernah ke sini. Sekarang, dengan sponsor perusahaan penerbangan UTA dan pemerintah Prancis senilai 40 ribu franc (Rp 12 juta), plus Rp 3 juta per konser, mereka juga bermain di Bandung, Yogya, Balikpapan, Surabaya, dan Jakarta.M.C. dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini