Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gunting sjafrudin

Profil sjafrudin prawiranegara yang malang melintang di pelataran politik Indonesia. membela modal asing & meyakinkan semua pihak bahwa modal asing perlu. sebagai menteri keuangan, ia banyak jasanya.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERETA api ekspres De Eendaagse -- Si Sehari Sampai -- melaju cepat. Sjafruddin berada di dalamnya. Ia sedang menuju ke tempat pekerjaannya yang baru, di Kediri. Di hadapan Sjafruddin duduk seorang wanita Eropa. Usianya sekitar 40 tahun. Wanita itu terus menatapnya. Sjafruddin pun jengah. Lalu ia memberanikan diri bertanya, dalam bahasa Belanda: "Mengapa Anda terus memandang saya? Apa ada yang aneh pada diri saya?" Wanita itu tersenyum. "Marilah saya perkenalkan diri saya dahulu. Saya adalah Nyonya Bonner. Masih keturunan Rusia. Saya dikarunia Tuhan dengan kemampuan melihat ke belakang dan ke depan. Saya seorang clair-voyante. Saya tertarik kepada Tuan karena saya lihat di masa depan Tuan akan memegang peranan yang amat penting." Tetapi Nyonya Bonner menolak menyebut peran penting apa yang bakal dimainkan oleh Sjafruddin. Dalam bayangan Sjafruddin, bisa menjadi Kepala Jawatan Keuangan sudah merupakan karier bagus. Itu pun setelah 15-20 tahun bekerja. Peristiwa itu dikisahkan Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt. Ketika itu tahun 1940. Bagi Sjafruddin, ucapan Nyonya Bonner tak lebih dari keisengan. Ia -- dan banyak orang juga tak membayangkan bahwa sejarah demikian cepat berubah. Bahwa lima tahun kemudian Indonesia merdeka. Lalu dibutuhkan banyak tenaga untuk mengisi pos-pos penting. Termasuk dirinya. Sembilan tahun setelah pertemuan itu, Sjafruddin berada di Sumatera Barat. Ia memimpin PDRI -- Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Bisa dibilang ketika itu ia "presiden". Sebab, presiden sebenarnya, Bung Karno, ditawan Belanda dan sebelumnya telah memberi mandat padanya buat membentuk dan memimpin pemerintahan darurat. Pada saat bergerilya di belantara Ranah Minang itulah, ia terngiang kembali pada ucapan Nyonya Bonner. "Di masa depan, Tuan akan memegang peranan yang amat penting." Penting? Tentu saja. Toh ia juga bukan keturunan orang sembarangan. Walaupun ia tak pernah membanggakannya. Bahkan ia menanggalkan gelar raden yang sebenarnya boleh dipakainya. Ayah Sjafruddin, Arsjad Prawiraatmadja, adalah keturunan Sultan Banten. Sedang ibunya, Noer'aini, mewarisi darah biru istana Pagaruyung, Sumatera Barat. Sama seperti istrinya, Tengku Halimah. Dan kini ia berada di negeri leluhur itu, justru sebagai orang pertama di republik ini. Sjafruddin memang tak disebut sebagai "presiden". Dalam struktur PDRI, ia berstatus "Ketua". Dalam wawancara dengan harian Pelita tanggal 6 Desember 1978, seperti dikutip Ajip, Sjafruddin mengatakan "andai kata saya tahu tentang adanya mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah Presiden Republik Indonesia." Tetapi ia tak tahu. Dalam keadaan perang, di antara hujan bom "presiden" dan tokoh PDRI lainnya hidup pahit. Mereka harus berpindah-pindah tempat di hutan belantara. Mereka harus menyeberangi sungai-sungai besar dengan rakit, di antaranya ada yang sempat dihanyutkan air. Di Abai Sangir, rombongan besar itu dibuntuti harimau dalam jarak dekat. Beberapa kali di tengah hutan mereka diteror oleh auman raja hutan terus-menerus. Syukur, hanya seekor kambing hilang. Sementara itu, Belanda terus mengejek mereka lewat siaran radio. PDRI, kata radio itu adalah "Pemerintah Dalam Rimba Indonesia". Mau dengan apa lagi membalas kalau bukan dengan radio juga. Perang siaran pun terjadi. Sjafruddin orang Banten. Ia pemberani. Tetapi, agaknya, terlalu polos untuk terjun di dunia politik. Ia lahir tanggal 28 Februari 1911, sebagai anak kedua dari pasangan Arsjad-Noer'aini. Ketika "Kuding", nama panggilannya, baru berumur setahun, keluarga mereka pecah. Ayah dan ibunya bercerai. Sjafruddin ikut ayahnya. Kuding baru mengenal ibunya sendiri ketika ia berusia tujuh tahun. Waktu itu Sjafruddin sudah sekolah di ELS. Ia menumpang di rumah uanya, Ibu Haji Fatimah, di Serang. Ia tidak ikut ayahnya, Arsjad Prawiraatmadja, yang menjadi Camat Muncang. Daerah terpencil di Banten Selatan. Waktu itu Sjafruddin jatuh dari pohon rambutan. Haji Fatimah memang menelegram ayah Sjafruddin. Tetapi ia juga memberi tahu Noer'aini, ibu kandung Sjafruddin. Noer'aini datang menjenguk, dan memberi tahu siapa dirinya. Sjafruddin tercengang. Ia tak pernah tahu ada wanita selain Ibu Epoh -- yang ternyata ibu tiri sebagai ibunya. Bila kemudian Sjafruddin punya sikap keras bisa dimengerti. Kakek buyutnya, Sutan Alam Intan, adalah orang buangan Belanda ke Banten. Sutan Alam Intan memimpin rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Sikap keras itu menurun pada ibunya. Noer'aini minta cerai karena suaminya sering tayuban dan minum-minuman keras. Sebagai pejabat bawahan, waktu itu, kebiasaan itu lumrah. Seorang istri biasanya maklum. Tapi tidak buat Noer'aini. Dengan gayanya yang tersendiri, ayah Sjafruddin juga seorang keras. Ia suka berpakaian dan berbahasa Belanda. Hal yang tak lazim bagi pribumi, sekalipun seorang camat. Ia juga tak sudi merendah-rendahkan diri pada Belanda. Sikap itu terlihat sewaktu kontrolir, pejabat Belanda yang berstatus "saudara tua" camat, inspeksi ke kecamatannya. Arsjad mempersilakan kontrolir itu duduk. Lalu ia sendiri duduk di kursi di hadapannya. Bukan bersila di bawah, seperti camat lainnya. Di meja tergeletak alat pemotret. Barang langka ketika itu. Kontrolir itu menanyakannya dalam bahasa Sunda. Tetapi Arsjad menjawabnya dengan bahasa Belanda. Kontrolir marah, dan menyebut Arsjad tak sopan. Arsjad menampik mana yang tak sopan. Orang Belanda itu lalu mencaci-maki. Tetapi Arsjad malah naik pitam. Dipegangnya kerah baju sang kontrolir, lalu dihajarnya muka Belanda yang sombong itu. Sejak itu karier Arsjad pun seret. Sjafruddin mewarisi watak keras orangtuanya, untuk mempertahankan hal-hal yang dianggapnya soal prinsip. Ini dikisahkan Hasbullah Siregar yang kemudian menjadi sahabat kental Sjafruddin. Ketika itu zaman Jepang. Waktu itu Hasbullah hendak membayar pajak buat koperasi yang dipimpinnya. Hasbullah kaget ketika kepala Kantor Pajak itu menolak uang setorannya. "Tidak usah! Saudara tidak usah membayar pajak. Orang Jepang tadi pun tidak mau membayar pajak. Kalau mereka tidak mau membayar pajak, mengapa orang Indonesia harus membayarnya." Sebelum gilirannya masuk, Hasbullah memang mendengar pejabat itu bertengkar dengan seorang Jepang. Dan pejabat itu tak lain adalah Sjafruddin. Sekalipun demikian, Sjafruddin juga bukan orang yang sulit diajak kompromi. Di kalangan orang Republik, Sjafruddin masuk dalam golongan yang disebut kooperator. Yakni mereka yang beranggapan bahwa, untuk memperjuangkan kemerdekaan, bangsa Indonesia harus melakukan kerja sama dengan Belanda. Agaknya, ia realistis. Menjalankan negara bukan hal mudah. Sangat sedikit orang Indonesia yang siap mengambil alih pemerintahan. Jalan pikiran Sjafruddin dalam soal itu menyerupai pandangan ayahnya. Namun, pikiran guru-guru besarnya di RHS, nampaknya, juga berpengaruh besar pada Sjafruddin. Mereka orang Belanda penganut sikap "politik etis". Mereka percaya, suatu saat Indonesia bakal merdeka. Mereka mau menyumbang buat kemajuan bangsa Indonesia, untuk bersiap merdeka secara evolusi. Bukan secara revolusi. Sjafruddin sependapat dengan mereka. Bagi khalayak, sikap kooperator memang tidak populer. Sebab, kurang gagah bila dibandingkan dengan, misalnya, revolusi. Sjafruddin memang tak suka gagah-gagahan seperti Bung Karno. Ia tidak suka pada ingar-bingar massa, yang selalu mudah ditunggangi kaum politisi. Sjafruddin pada dasarhya lebih suka menyendiri buat membaca buku. Kebiasaan itu dipupuknya sejak di sekolah rakyat -- ELS. Di kelas dua ELS, ia telah menyantap novel terkenal Robinson Crusoe. Bandingkan dengan anak kelas dua SD sekarang yang membaca Bobo. Ia juga melahap karya Charles Dickens dan banyak pengarang terkenal lainnya. Sjafruddin belia juga membaca buku-buku sejarah dan filsafat. Sewaktu di Bandung untuk meneruskan sekolahnya di AMS, ia juga menelaah buku karya Karl Marx Das Kapital yang menjadi sumber ajaran komunisme. Juga buku Manifesto Komunis yang disusun Karl Marx dan Engels. Bisa dimengerti bila Sjafruddin ingin ke perguruan tinggi memperdalam sastra. Namun, kalau mau begitu, ia harus pergi ke Leiden. Itu mustahil. Ekonomi keluarganya tak memungkinkan menyekolahkannya ke Belanda. Dengan setengah hati ia pun mendalami ilmu hukum di RHS. Bidang studi yang disebutnya "kering" dan tak menarik. Toh Sjafruddin lulus juga dengan embel-embel "Mr". Agaknya, yang menjadikan Sjafruddin besar adalah justru ketidaktertarikannya pada bidang hukum. Ia pernah bekerja di PPRK Perkumpulan-Perkumpulan Radio Ketimuran. Tapi ia lalu banting setir ke Departemen Keuangan. Untuk tugas pertamanya, ia ditempatkan di Kediri -- dalam perjalanan ke Kediri itulah ia bertemu dengan Nyonya Bonner. Mengurusi keuangan merupakan sumbangan terbesar Sjafruddin bagi bangsa ini. Tanpa diduga Indonesia begitu cepat merdeka. Dalam benak Sjafruddin, Indonesia harus cepat mencetak uang sendiri. Jangan lagi memakai uang Belanda. Dengan penuh semangat Sjafruddin dan kawan-kawan menghadap Wakil Presiden menyampaikan gagasannya. Bung Hatta dan Sjafruddin berdebat tentang perlu-tidaknya mencetak uang. Ternyata, Sjafruddin selalu berhasil menggagalkan alasan keberatan Hatta. Akhirnya, Hatta setuju. Agaknya, Sjafruddin sangat diincar Sjahrir untuk menjadi menteri keuangan dalam kabinetnya. Ia menjadi menteri muda keuangan dalam kabinet yang dibentuk tanggal 3 Maret 1946. Pada kabinet berikutnya, tujuh bulan kemudian, Sjafruddin adalah menteri keuangan. Pada saat itulah gagasannya diwujudkan. Menteri keuangan sebelumnya, Maramis, sudah menjajaki rencana pembuatan uang. Rencananya uang akan dicetak di Surabaya. Tetapi kota itu jadi neraka. Pencetakan uang gagal. Percetakan G. Kolff, percetakan De Unie, pabrik cat Pieter Schoen bersedia membantu. Belum selesai uang itu dicetak -- belum bernomor seri -- bentrokan dengan Belanda terjadi lagi. Gagallah semua. Pencetakan uang pun disebar ke berbagai kota. Di Kendalpayak, Malang, Yogya, dan Solo. Kertasnya terpaksa memakai kertas dalam negeri yang sederhana. Oktober 1946, uang itu selesai dicetak. Namanya ORI -- Oeang Repoeblik Indonesia. Seluruh uang yang beredar di masyarakat ditarik, dan harus disetor ke bank. Setiap orang hanya boleh menyimpan 50 gulden uang lama, untuk masa transisi. Sedang uang baru disebarkan ke seluruh wilayah Jawa dan Madura. Untuk tidak memancing kekacauan. Menteri Sjafruddin menyampaikan pesan pada rakyat. Antara lain: "berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sekali. Perusahaan-perusahaan, terutama toko-toko, warung-warung buat keperluan sehari-hari, janganlah menjual banyak-banyak." Ternyata, langkah Sjafruddin benar. Perlahan-lahan, ORI mendapatkan tempatnya sebagai alat penukaran menggantikan uang Belanda. Tetapi kerja Sjafruddin itu berantakan lagi, bersamaan dengan terus berlangsungnya aksi-aksi Belanda. Ketika jumlah mata uang yang beredar di masyarakat sudah sangat terkontrol, harga-harga pun berangsur turun. Sejumlah besar uang pampasan perang dari Jepang pun dibekukan. Tetapi, oleh tentara Belanda dan Sekutu, uang itu dilepas lagi ke masyarakat dipakai buat berfoya-foya. Inflasi tak terkendalikan lagi. Sejak itu, di masyarakat terjadi perang uang. ORI beredar. Uang NICA yang juga disebut "uang merah" pun beredar -- kendati pemerintah Indonesia menyatakan uang itu tidak sah. Rakyat ternyata tetap lebih percaya pada "uang putih" -- ORI. Bukan itu saja jasa Sjafruddin. Seusai memimpin PDRI, lagi-lagi ia mengurusi moneter. Sjafruddin dipercaya menjadi menteri keuangan kembali. Ia melihat banyak sekali jenis uang yang beredar tanpa kejelasan kursnya satu sama lain. Belum lagi pemalsuan besar-besaran yang menyebabkan inflasi. Cetakan uang memang masih sederhana. Sementara itu, neraca perdagangan minus. Cadangan devisa menyusut tinggal seperempat dari yang mereka punyai di tahun 1945. Dari 458 juta dolar AS, tinggal 142 juta dolar AS. Sedang tingkat produksi, begitu ditinggal orang-orang Belanda, terus anjlok. Upaya Safrudin menyelamatkan semua itu terkenal dengan istilah "gunting Sjafruddin". Sjafruddin memerintahkan agar seluruh "uang merah" dan uang De Jauasche Bank yang bernilai Rp 5 ke atas digunting -- benar-benar digunting -- jadi dua. Bagian kiri potongan itu dinyatakan berlaku dengan nilai hanya setengah dari nilai sebelumnya. Dengan cara itu, Sjafruddin mengurangi jumlah uang yang beredar dalam jumlah besar. Bersamaan dengan itu, Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri juga mengeluarkan sertifikat devisa, SD. Siapa saja yang hendak mengimpor barang harus mempunyai SD. Untuk setiap Rp 10 ribu SD, importir harus membeli dengan harga Rp 20 ribu. Sedangkan mereka yang mengekspor barang mendapat keuntungan. Untuk setiap Rp 10 ribu nilai ekspor, pemerintah akan menghadiahi uang Rp 10 ribu. Ia juga dihadiahi SD seharga Rp 5 ribu yang kalau harus membeli berharga dua kali lipat. Dengan cara itu ekspor melesat naik. Impor pun berkurang. Pada awalnya "gunting Sjafruddin" itu dimanfaatkan oleh para spekulan. Sejumlah orang panik. Barang-barang ditubruk, dengan harga berapa pun. Harga membubung tinggi. Pedagang lalu menimbun barang. Tetapi, begitu keadaan normal, harga barang anjlok. Ganti pedagang yang panik, mereka segera melepas barang, untuk tidak lebih rugi. Orang boleh menuding Sjafruddin bukan ahli ekonomi. Ia memang bukan doktor ekonomi. Tetapi belum ada yang bisa membantah bahwa dialah ekonom yang punya langkah paling realistis yang pernah dipunyai Indonesia. Seperti ditulis Dawam Rahardjo, pada saat pemimpin Indonesia, di awal tahun 1950-an, "menggebu-gebu dengan gagasan nasionalisasi, Sjafruddin Prawiranegara, hampir sendirian, secara sangat vokal menentang rencana itu. (TEMPO, 25 Februari 1989). Sjafruddin menentang nasionalisasi De Jauasche Bank. Ia membela modal asing, dan meyakinkan semua pihak modal asing itu perlu. Ia menegaskan prinsip anggaran seimbang. Suara-suara yang tentu saja waktu itu, dalam istilah Dawam, "dianggap sumbang dan melawan arus". Profesor Sumitro Djojohadikusumo pun bertabrakan pendapat dengannya. Ketika itu, tak ada yang sudi membenarkan pendapat Sjafruddin. Siapa yang menduga bahwa sekarang pemerintah menganut prinsip seperti pikiran Sjafruddin dahulu. Sjafruddin seorang muslim. Muslim yang baik, malah. Tetapi ia tak suka berpikir utopis seperti kebanyakan cendekiawan muslim. Ia tidak tertarik njlimet mencari bentuk "ekonomi Islam" atau "ekonomi Pancasila". Kalau ada sistem ekonomi Islam, menurut Sjafruddin, itulah sistem ekonomi kapitalis atau profit ekonomi. Tetapi dibatasi oleh larangan dan suruhan Allah dalam Quran. Kalau saja ia hanya berkecimpung di bidang ekonomi dan moneter, Sjafruddin mungkin lebih bisa tersenyum. Paling-paling hanya spekulan yang tak suka padanya. Namun, ia sudah basah dalam arus politik. Bung Karnolah penyebabnya. Demikianlah ia menjadi " Ketua PDRI" . Kemudian menjadi "presiden PRRI". Akhirnya, mendekam bertahun-tahun dalam penjara tanpa alasan yang jelas dan tak pernah diadili. Lewat PRRI, Sjafruddin bermaksud memprotes Soekarno. Soekarno dinilainya menelantarkan daerah dan pro komunis. Tapi karena PRRI pula agaknya Sjafruddin "kurang diterima" kalangan baru yang juga menjungkirkan komunis.Zaim Uzhrowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus