BERAPA lama hutan tropis, yang hilang akibat letusan Gunung Krakatau, tumbuh lagi? Ternyata ratusan tahun. Buktinya, hutan tropis di sekitar Krakatau yang musnah di tahun 1883 itu hingga kini belum muncul kembali. Tak heran bila kawasan Krakatau, laboratorium alami yang tak ada duanya untuk kawasan tropis, didatangi berbagai tim ekspedisi dari pelbagai macam disiplin. Rombongan ekspedisi terakhir, yang meneliti selama lima minggu, September lalu, ialah tim peneliti dari Universitas La Trobe, Melbourne, Australia, yang bekerja sama dengan LlPI, Bogor. Tim yang terdiri dari 29 ahli - 8 dari Indonesia - yang dipimpin oleh Prof. Ian W.B. Thorton dari Universitas La Trobe melakukan penelitian atas pelbagai bidang. ''Jumlah dan ragam flora serta fauna di Kraatau terus berkembang, tanpa mengalami stagnasi," kata anggota tim, Dr. Richard Zann. Betulkah? Menurut laporan ahli gunung api Verbeek (1885) dan Treub (1888), ada indikasi bahwa ketika Krakatau meletus seluruh yang hidup di pulau ItU musnah. Kawasan Krakatau, waktu itu, bagaikan padang pasir saja. Tahun 1980, Treub melihat sejenis marga kangkung-kangkungan (Pescaprae) di kawasan pantai. Agak ke daratan didapatinya marga pakis dan gelagah (Saccharum). Makin jauh ke dalam, Treub bahkan menemukan 11 jenis pakis-pakisan lainnya dan ganggang biru-hijau (Cyanopbyceae). Ganggang biru-hijau itu ditemukan Treub hidup dibatu apung dan karang. Menurut Treub, ganggang-ganggang inilah yang menjadikan permukaan tanah lembap sepanjang tahun. Itulah yang mempercepat tumbuhnya biji-bijian yang dibawa angin atau burung. Di akhir ekspedismya, Treub berhasil mengumpulkan 26 jenis tumbuh-tumbuhan di dataran rendah Pulau Rakata. Sejak itu, setiap tahunnya, vegetasi di pulau-pulau gugusan Krakatau makin bertambah. Tahun 1897, para ahli botani berhasil mencatat 53 jenis pakis dan tumbuhan berbunga lainnya. Awal tahun 1900-an, di pantai Pulau Sertung bahkan terbentuk vegetasi seperti di pantai Pulau Jawa yang belum dijamah manusia. Tahun 1932, tercatat marga beringin (Ficus) dan cemara (Casuarina) telah tumbuh di bukit-bukit gugusan Krakatau. Peran angin dan air laut tampak cukup besar dalam menghijaukan kembali pulau-pulau yang dulunya gersang itu. Bagaimana dengan faunanya? Tahun 1982, Prof. Hideo Tagawa dari Jepang melakukan penelitian suksesi ekologi ini. Jenis serangga, seperti laba-laba, adalah penemuan paling dini di Pulau Sertung, Rakata Besar dan Rakata Kecil. Tagawa kemudian memusatkan penelitian pada binatang bertulang belakang (vertebrata), terutama tikus. Dari 350 perangkap yang dipasang di Pulau Panaitan, Tagawa memperoleh 7 ekor tikus. Di Rakata Besar, ia menapatkan 29 ekor tikus (tanpa memperinci jenisnya) dari 329 perangkap. Tim ekspedisi Universitas La Trobe dan LIPI menemukan perbedaan perkembangan biologis, baik fauna maupun flora, di pulau-pulau gugusan Krakatau. "Mungkin karena adanya perbedaan morfologis pulau-pulau itu," kata Zann kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Ketinggian Pulau Rakata Besar, yang sampai 200 meter, menurut Zann, sangat mempengaruhi kolonisasi fauna dan flora di sana. Selama lima minggu di kaasan Krakatau, Zann mendapati tambahan jenis burung yang ada di sana. Di Anak Krakatau, misalnya, pada 1950 cuma tercatat 4 spesies burung, tapi 34 tahun kemudian menjadi 13 jenis. Di Pulau Sertung, pada 1952 belum ada kolonisasi burung kini terdapat 15 spesies. Binatang mamalia, di Pulau Rakata Kecil, pada 1929 cuma ada 3 jenis, tahun ini didapati 5 jenis. Di Pulau Panjang, yang semula tak punva catatan tentang mamaia, kini memiliki 8 jenis. Zann percaya bahwa tikus dan babi (jenis mamalia) di kawasan itu ada karena terbawa manusia. Tahun 1920, Pulau Rakata memang pernah dihumi orang. Kapan kolonisasi fauna dan flora di Krakatau seperti abad lalu? Tahun 1979, Keith Richards dan Harry Wiriadinata, dua ahli ekologi, membuat kesimpulan penelitian mereka bahwa selama 50 tahun terakhir jumlah kolonisasi flora bertambah cuma sekitar 2,60 spesies per tahun. Tapi yang musnah, baik secara alami maupun oleh ulah manusia, ada 2 spesies. Berdasarkan angka-angka itu, terlihat bahwa suksesi ekologi secara alamiah untuk mengembalikan hutan hujan tropis di gugusan Krakatau membutuhkan waktu panjang. Entah kalau Kautor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) turun tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini