Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH jenis busa baru telah ditemukan oleh tim riset polimer dan komposit dari Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FaÂkultas Keguruan dan Ilmu PendidiÂkan UniÂversitas Negeri Sebelas Maret, SuraÂkarÂta. Busa dari bahan organik ini bisa diguÂnakan sebagai alat untuk mencuci piring.
"Busa yang beredar di pasar atau busa sintetis dibuat dari minyak bumi, sementara kami menggunakan limbah jagung dan minyak sawit," ujar ketua tim riset, Mohammad Masykuri, awal Oktober lalu.
Selama ini hampir tak pernah ada yang peduli apa bahan pembuat spons pencuci yang lazim kita gunakan. Padahal, kata Masykuri, spons yang dipakai selama ini terbuat dari bahan sintetis yang bila dibuang ke tanah bakal merusak struktur tanah. "Sepotong kecil spons saja baru bisa hancur setelah puluhan tahun," ujarnya.
Karena itu, tim peneliti polimer dan komÂposit dari UNS bersemangat mengganti spons cuci sintetis. Riset busa ramah lingkungan ini dimulai dua tahun lalu. SeÂjak awal Masykuri memakai limbah jagung karena limbah itu mempunyai kaÂrakÂÂter polimer alami. "Kulit pisang dan cangÂkang rajungan juga bisa dipakai."
Untuk membuat busa dari limbah jagung, Masykuri mengekstrak limbah dan mengubahnya menjadi bioplastik. Kemudian bioplastik itu diolah dengan minyak sawit menggunakan metode sintesis terbaru, untuk menghasilkan busa ramah lingkungan. "Namanya jalur ERPP atau epoxidation ring opening reduction polymerization," katanya.
Walhasil, berkat kerja keras mereka, sekarang tercipta spons cuci yang jauh lebih ramah lingkungan. Lantaran berbahan alami, spons buatan UNS ini bisa hancur dan melebur dengan sendirinya, 300 hari setelah dibuang atau dipendam dalam tanah. Mereka menamakan sponsnya: Biofoam PUU-g-Z atau Biofoam Poly (urethane-urea)-g-Zein.
Masykuri menyatakan metode pembuatan busa dari limbah jagung tersebut belum pernah diterapkan peneliti lain. "Saat ini tengah dalam proses untuk mendapatkan paten," katanya. Selain berguna sebagai alat pencuci, spons dari UNS ini dapat dipakai sebagai peredam bising atau bahan pelindung produk elektronik. "Dengan pengaturan komposisi, busa dapat dibuat lembut atau keras," katanya.
Saat ini biaya produksi busa ramah lingkungan itu masih dua kali lipat busa sintetis karena memakai bahan murni yang harganya mahal. Tapi, jika busa ini sudah diproduksi massal, Masykuri yakin harganya setara dengan busa konvensional.
Sulistyo Saputro, peneliti yang juga terlibat dalam penemuan ini, mengatakan produksi massal harus menunggu paten dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Umumnya pengurusan paten butuh waktu hingga 60 bulan. "Memang lama karena harus dengan sosialisasi ke masyarakat untuk memastikan tidak ada pihak lain yang mengklaim sudah meneliti hal serupa," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo