Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yusana Sasanti Dadtun, baru-baru ini mengkaji tradisi masyarakat Surakarta, Jawa Tengah, dalam mengonsumsi minuman beralkohol bernama ciu. Penelitian Yusana memotret hubungan antara tradisi dan kepercayaan masyarakat di Surakarta. Khususnya bagi penganut Islam Abangan.
Yusana mendapatkan data bahwa aktivitas meminum ciu mempunyai fungsi simbolik yang kompleks dan menjadi bagian dalam sosiokultural di Surakarta. Tradisi ini dijalani oleh masyarakat non-Islam. Bahkan banyak ditemukan penganut Islam yang juga meminum ciu.
Menurut Yusana, Islam di Surakarta terdiri dari dua kelompok yang dikenal dengan Islam Syariat dan Islam Abangan. "Islam Syariat tidak meminum ciu. Peminum ciu mayoritas dilakukan oleh kelompok Islam Abangan, bisa juga disebut telah menjadi tradisi turun-temurun dari nenek moyang atau generasi sebelumnya," kata Yusana saat diskusi kebudayaan bertajuk Identitas Peminum Ciu di Surakarta, digelar daring pada Jumat, 15 Maret 2024.
Istilah ciu sebetulnya merujuk bahasa Hokkian yang berarti minuman beralkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi singkong cair. Minuman ini khas dan banyak dikonsumsi masyarakat di Jawa Tengah. Tradisi ini disinyalir telah ada sejak abad ke-18 atau di masa kolonial Belanda dengan label dagang Batavia Arrack.
Alasan kelompok Islam Abangan yang mayoritas peminum ciu, menurut Yusana, bermula dari tradisi Mataram kuno yang telah berkembang lebih lama di Jawa sebelum agama Islam masuk. Kondisi ini yang membuat tradisi minum ciu belum ditinggalkan hingga kini. Walaupun di Surakarta mayoritas beragama Islam.
Yusana melihat peminum ciu serupa dengan masyarakat yang memelihara binatang buas. Ini dua kebiasaan yang tabu di masyarakat tapi masih kerap dilakukan oleh banyak orang. "Bila memelihara binatang buas ini tidak bisa, maka akan meresahkan masyarakat. Begitu juga peminum ciu," ucap dosen Ilmu Sejarah tersebut.
Tradisi minum ciu di Surakarta—bila merujuk pada penelitian Yusana—menjelaskan peminum biasanya dapat mengatur kuantitas konsumsi. Tak heran bila jarang aktivitas minum ciu di Surakarta yang berdampak pada peningkatan kasus kriminalitas. Kalaupun ada, angkanya disebut tidak banyak.
Menurut dia, tradisi minum ciu di Surakarta cukup sulit untuk dihilangkan. Terlebih budaya sesajen di Surakarta masih memerlukan ciu. Akibatnya ciu menjadi minuman alkohol yang kerap ada dan selalu diproduksi di Surakarta. Bahkan pabrik minuman ciu—yang ditemukan Yusana di Surakarta—dibuat oleh penganut Islam dan sudah pergi ibadah Haji.
Yusana Sasanti Dadtun saat memaparkan hasil penelitiannya tentang peminum ciu di Surakarta. Yusana merupakan Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Sebelas Maret, Jumat, 15 Maret 2024. (Tangkapan layar di zoom meet)
Seandainya ciu identik dengan kekerasan dan non-Islam, justru menurut Yusana melihat kondisi itu tidak terjadi di Surakarta. "Justru pabrik ciu di Surakarta itu pemiliknya ada yang naik Haji, jadi saya melihat kalau tradisi minum ciu ini sudah melekat dan menjadi budaya turun temurun ya, di Surakarta," kata Yusana.
Terlepas dari kajian agama yang sesuai syariat dan sebenar-benarnya, Yusana menyebut kalau dirinya sebagai peneliti hanya bertugas memotret realitas di lapangan sesuai fakta. Ia tak membahas lebih lanjut bagaimana seharusnya Islam diajarkan dan dianut oleh masyarakat.
"Tapi perlu dipahami bahwa beginilah realitas yang terjadi di masyarakat Surakarta. Sebagai peneliti tentunya saya melihat fakta di lapangan. Kondisi di sana menurut saya terbilang unik dan menarik untuk diteliti," ucap Yusana.
Baca Juga: Menurut Studi Baru Minuman Beralkohol Bisa Baik Buat Kesehatan Usus, Benarkah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini