Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mencium pasangan secara romantis ternyata bukanlah hal yang sama sekali baru. Penyelidikan mendalam tentang bagaimana manusia menautkan bibir mereka satu sama lain memiliki cerita yang lebih kompleks daripada berbagai hasil riset terdahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jauh sebelum hari ini, berciuman dengan rasa cinta tidak dilakukan oleh semua budaya manusia. Itu kemudian menimbulkan spekulasi bahwa ciuman adalah perilaku yang muncul terlebih dahulu di daerah tertentu, lalu menyebar seperti “tren kekinian”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut assyriologist (ahli linguistik dan peradaban Mesopotamia kuno) Troels Pank Arboll dari Universitas Copenhagen serta ahli biologi Sophie Lund Rasmussen dari Universitas Oxford, anggapan bahwa ciuman muncul di beberapa lokasi seperti India sebelum menyebar sebagai tren ke tempat lain tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
Seperti yang sebelumnya telah diterima secara umum, catatan tertulis paling awal tentang ciuman romantis diklaim berasal dari teks Sanskerta Weda Hindu bertanggal sekitar 3.500 tahun lalu. Mendiang antropolog Vaughn Bryant menggunakan penggambaran tersebut untuk menyatakan bahwa para jenderal Alexander Agung dari Macedonia mungkin membawa kembali tren ciuman setelah menaklukan Punjab pada 326 Sebelum Masehi (SM).
Walau demikian, Arboll dan Rasmussen menunjukkan temuan berbeda dalam artikel jurnal berjudul “The Ancient History of Kissing” yang terbit dalam science.org per 18 Mei 2023. Menurut mereka, catatan ekspresi romantis paling awal justru berasal dari sekitar 4.500 tahun lalu di Mesir dan Mesopotamia, setidaknya 1.000 tahun sebelum muncul dalam kitab suci Weda Sanskerta. Sebagai pendukung tambahan, sebuah riset lain yang terbit pada 2022 tentang spekulasi bangkitnya virus herpes simpleks 1 (HSV-1)—patogen penyebab herpes bibir (cold sore atau herpes labialis)—mungkin dapat melacak transmisi budaya berciuman sekitar 5.000 tahun lalu.
Bukti terbaru mengemukakan bahwa berciuman adalah praktik umum di zaman kuno yang berpotensi memiliki peran sebagai pengaruh konstan pada penularan mikroba lewat mulut, misalnya HSV-1. Oleh karena itu, tampaknya tidak mungkin kalau berciuman muncul sebagai adaptasi perilaku masyarakat kontemporer secara tiba-tiba yang kemudian mempercepat penularan penyakit.
Sejarah ciuman romantis bagaimanapun sulit untuk diungkap. Para ahli belum mencapai kesepakatan apakah itu sesuatu yang dipelajari atau naluriah. Akan tetapi, berciuman bukan hal unik bagi manusia; bonobo dan simpanse juga melakukannya. Di sisi lain, penelitian sebelumnya menemukan bahwa ciuman romantis tidak bersifat universal antarmanusia. Penelitian tersebut juga mengungkap, ciuman romantis semakin banyak dilakukan oleh masyarakat dalam struktur sosial budaya yang lebih kompleks.
Sementara orang dewasa mungkin mencium anak-anak mereka, aktivitas berciuman untuk mendapat kenikmatan di antara orang dewasa sering kali sulit diuraikan dalam catatan sejarah. Lebih lanjut menurut Arboll dan Rasmussen, referensi ciuman romantis dapat ditemukan pada teks Sumeria paling awal dari 2500 SM dan seterusnya. Terdapat penjelasan yang berkaitan dengan tindakan erotis, khususnya pada bibir.
Di Mesopotamia (peradaban manusia kuno di antara Sungai Eufrat dan Tigris di Irak dan Suriah), orang-orang menulis dalam aksara runcing pada lempeng tanah liat. Ribuan lempeng tersebut bertahan hingga kini dan berisi contoh nyata bahwa berciuman dianggap sebagai bagian dari keintiman romantis zaman kuno maupun hubungan persahabatan atau antaranggota keluarga. Maka dari itu, berciuman tidak bisa dianggap sebagai kebiasaan yang berasal secara eksklusif dari suatu wilayah, melainkan praktik berbagai budaya kuno selama beberapa milenium.
Ciuman bahkan mungkin saja sudah ada lebih lama lagi. Sebuah artikel jurnal pada 2017 menyelidiki data genom bakteri yang ditemukan pada mulut Neanderthal dan menemukan jejak perpindahan mikroba mulut antara manusia dan Neanderthal sekitar 126.000 tahun lalu. Meski masih jauh dari kesimpulan adanya aktivitas ciuman dalam konteks erotis, temuan ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena nyatanya, patung prasejarah berumur 5.000 hingga 11.000 tahun lalu di Timur Tengah dan Neolitik di Malta juga tampak menggambarkan sosok orang saling berciuman saat mereka melakukan tindakan erotis.
Itu berarti bahwa berciuman, secara historis, mungkin berperan dalam proses penyebaran penyakit. Arboll dan Rasmussen mencatat bahwa teks medis dari Mesopotamia kuno memerinci penyakit yang terdengar sangat mirip dengan HSV-1—virus yang dewasa ini menyerang sekitar 3,7 miliar orang di seluruh dunia.
Menariknya, ada beberapa kesamaan antara penyakit yang dikenal sebagai bu’shanu dalam teks medis Mesopotamia kuno dan gejala yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks. Penyakit bu’shanu umumnya terletak di dalam atau sekitar mulut dan tenggorokan dengan gejala yang termasuk gelembung di dalam atau sekitar mulut. Itu juga merupakan salah satu tanda dominan infeksi herpes.
Namun, perlu diingat bahwa terdapat perbedaan antara interpretasi penyakit di masa lalu dan bagaimana seorang peneliti memandangnya saat ini. Itu berarti para ilmuwan harus berhati-hati dalam menggunakan teks medis kuno untuk melacak suatu praktik budaya.
Bukti-bukti gabungan semakin membuat sulit untuk menafsirkan peran aktivitas berciuman dalam munculnya jenis penyakit tertentu. Ciuman pasti memainkan peran, tetapi peran itu harus diselidiki dengan upaya kolaboratif dari berbagai pakar. Perdebatan tentang ciuman sebagai vektor penularan penyakit akan menggambarkan manfaat dari pendekatan interdisipliner untuk menghasilkan representasi holistik dari sejarah penularan penyakit melalui interaksi sosial.
Pilihan editor: Benarkah Sariawan Bisa Menular Melalui Ciuman?
SYAHDI MUHARRAM