Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memanfaatkan teknik analisis nuklir untuk mendeteksi polutan berukuran mikro. Cara ini mampu mendeteksi dan menentukan kandungan partikel pencemar udara berukur-an kurang dari 2,5 mikrometer (PM2,5), yang sulit didapatkan dengan metode analisis lain.
Selama ini pemantauan sejumlah senyawa, antara lain karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3), dan partikulat berukuran kurang dari 10 mikrometer (PM10), menjadi dasar dalam menghitung indeks standar pencemar udara (ISPU). Padahal di udara juga terdapat partikulat halus berukuran kurang dari 2,5 mikrometer (PM2,5).
PM2,5 lebih berbahaya karena dapat menembus bagian terdalam paru-paru dan jantung. Partikulat ini juga bisa menyebabkan gangguan pernapasan akut, kan-ker paru, penyakit kardiovaskular, bahkan kematian. Partikel halus tersebut berasal dari pembakaran biomassa dan bahan bakar fosil.
Pengambilan sampel
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Nuklir- Terapan Batan, Muhayatun Santoso, mengatakan teknik analisis nuklir dapat dimanfaatkan untuk menentukan konsentrasi PM2,5 dan PM10. Teknik itu juga bisa digunakan untuk mengetahui lebih detail komposisi kimia dalam partikulat udara.
Cukup sulit menentukan karakterisasi PM2,5 dan PM10 karena rendahnya konsentrasi unsur dalam sampel. Bobot sampel pun kurang dari 1 miligram, terlalu kecil untuk bisa dianalisis dengan metode konvensional. Namun teknik tersebut mampu mendeteksi unsur dengan bobot kurang dari 100 mikrogram.
Muhayatun mengatakan teknik analisis nuklir adalah satu-satunya metode karakterisasi partikulat udara yang unik. “Memiliki kemampuan mendeteksi secara simultan, cepat, selektif, sensitif, tidak merusak, dan memiliki limit deteksi orde nanogram, bahkan pikogram,” ujar Muhayatun seperti dilaporkan di situs Batan, Jumat, 8 Maret lalu.
Bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Batan memanfaatkan teknologi nuklir itu untuk meneliti kualitas udara di 16 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram, dan Denpasar.
Pengambilan sampel
Hasil riset itu menunjukkan kadar logam berat, terutama timbel (Pb), dalam PM2,5 dan PM10 di beberapa kota masih tinggi. Konsentrasi timbel di Tangerang Selatan dan Surabaya lebih tinggi dibanding di 14 kota lain, meski masih di bawah ambang rata-rata baku mutu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Muhayatun menyebutkan hasil studi bisa menjadi informasi penting sebagai peringatan dini untuk mengatasi masalah polusi di perkotaan. Datanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi peraturan baku mutu kualitas udara. “Data karakteristik yang diperoleh juga bisa diguna-kan untuk mendeteksi pencemaran secara dini,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo