Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Tim peneliti dari Telkom University mengembangkan alat pemantau udara yang dinamakan AirGradien. Alat itu dirancang berukuran mini bagi pengguna yang ingin mengetahui kondisi udara di sekitarnya. “Sekarang kami kembangkan alatnya untuk mudah dipakai dan dibawa,” kata ketua tim riset, Casmika Saputra, kepada Tempo, Selasa 3 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alat pemantau udara mini itu memiliki panjang 6 cm, lebar 5,3 cm dan tebal 2,6 cm. Casmika menyebutnya sebagai purwarupa awal yang pada tahun ini dilakukan uji coba terbatas di dalam laboratorium dan luar ruangan sekitar kampus. Di dalam kotaknya yang berwarna putih terdapat aneka sensor, mikrokontroler, serta batu baterai berukuran 150 mAh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sensornya digunakan untuk mengukur polutan PM2,5 dan PM10, karbondioksida, gas volatile organic compounds (VOC), suhu, dan kelembapan udara. Hasil pengukuran itu selanjutnya bisa diakses pengguna lewat aplikasi khusus di smartphone melalui Bluetooth. Dari ponsel yang dilengkapi global positioning system (GPS), sistem pemantauan udara mendapatkan geolokasi pengukuran kualitas udara.
Data kondisi udara yang diperoleh pengguna itu selanjutnya disimpan di server komputasi awan sebagai basis data. Menurut Casmika, alat pemantau udara portabel itu bisa digunakan pada lokasi tertentu atau dipakai sambil bergerak antarlokasi. Kinerja alat dan sistemnya sudah teruji bisa mengirimkan data ke ponsel dan dikirim ke server.
Selain itu, AirGradien telah melalui berbagai tahap pengujian, termasuk kalibrasi, validasi, dan uji kualitas pelayanan, serta jangkauan konektivitas Bluetooth. Pengujian yang dilakukan bersama anggota tim, yaitu Mukhammad Ramdlan Kirom dan Nurwulan Fitriyanti, dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Teknik Fisika Universitas Telkom.
Rencananya, pada 2025 tim peneliti akan mengkaji efek pergerakan dari alat yang dipakai pengguna untuk mengetahui kualitas udara. “Ada tidak pengaruh ke akurasinya,” kata Casmika.
Sejauh ini tim belum menargetkan kapan alat ini bisa diselesaikan dan diluncurkan ke publik. Alasannya, karena perlu investor untuk memproduksi dan menjual alat tersebut yang saat ini diperkirakan seharga sekitar Rp 5 juta.