Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tisa Mafira menuturkan bahwa tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia sangat kecil. Sehingga pelarangan plastik sekali pakai menjadi solusi terbaik untuk mengurasi sampah plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia itu tidak sampai 11 persen, hanya 9-10 persen. Artinya 90 persen sampah plastik tidak terdaur ulang. Artinya PR kita banyak sekali, kalau mau mendaur ulang ya coba daur ulang 90 persen itu dulu," ujar Tisa, di Artotel, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin, 9 April 2019.
Menurut Tisa, dalam sebuah penelitian, di seluruh dunia sejak 1950 pertama kali plastik diciptakan, sampai 2015, 60 persen mencemari lingkungan dan masih ada hingga saat ini. Tisa melanjutkan bahwa hanya sekitar 9 persen saja yang terdaur ulang. "Itu dari sekian banyak sampah plastik di dunia," kata Tisa.
Pada 2015, peneliti Jenna Jambeck menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbanyak ke lautan, kedua terbesar di dunia. Penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Science.
"Tidak ada satu negara maju pun yang dapat mendaur ulang sampah hingga 100 persen. Banyak negara maju yang malah mengirimkan sampah plastiknya ke kita. Sebelumnya ke Cina," kata Tisa.
Sembilan persen yang didaur ulang di Indonesia merupakan sampah yang jelas nilainya tinggi untuk didaur ulang, sehingga nilainya dan tingkat koleksinya tinggi, serta materinya bagus untuk didaur ulang dengan kualitas produk yang bagus.
Sampah yang bagus untuk didaur ulang adalah botol plastik. Menurut Tisa, botol plastik berbeda dengan sedotan dan kresek yang sulit di daur ulang. Kresek adalah sesuatu yang tidak bisa didaur ulang. "Sedangkan sedotan merupakan sampah plastik yang sulit untuk didaur ulang. Ini menjadi jelas," tutur Tisa.
Di Indonesia, sudah 12 kota yang sudah atau sedang merumuskan kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai. Yang sudah membuat aturan yang konkrit adalah Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, Kota Bogor dan Provinsi Bali.
Dampak penerapan larangan sampah plastik, Tisa menuturkan, contohnya di Banjarmasin yang sudah berjalan dua tahun, terdapat pengurangan kantong kresek 9,4 juta lembar per tahun, yang berkontribusi 3 persen dalam pengurangan sampah per tahun.
Sementara di Kota Bogor sudah menerapkan Perwali Nomor 61 Tahun 2018 dan berhasil juga mengurangi peredaran plastik sekali pakai. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor Elia Buntang, penerapan aturan itu sudah mendapatkan hasil dan sudah mencapai target yang sesuai.
"Kami memulai per 1 Desember 2018. Yang jelas secara total data dari mereka yang kami dapatkan bahwa rata-rata per bulannya itu sekarang yang berkurang adalah 41 ton plastik, itu per bulan yang mereka edarkan selama ini," ujar Elia. "Karena sudah 0 kantong plastik yang ada di ritel dan pasar modern. Kami sudah mulai sosialisasi mulai hari ini ke pasar tradisional."