Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepakbola

Prajurit Soca Membuka Pesta

Sejumlah pemain tampil memikat di penyisihan grup Piala Dunia. Mereka dipuja fans. Tapi perjalanan belum usai.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”I am a Soca Warrior, I say win or lose I am a fighter.”

Bait lagu Soca Warrior itu dinyanyikan lautan manusia di jalan-jalan kota Port of Spain, ibu kota Trinidad dan Tobago, Sabtu malam dua pekan lalu. Sejumlah kendaraan melintas dengan membawa bendera nasional sambil membunyikan klakson berkali-kali. Warga kota bernyanyi dan menari-nari. Suasana begitu gaduh.

Kegilaan itu dimulai setelah tayangan langsung pertandingan Trinidad dan Tobago melawan Swedia di Stadion Dortmund, Jerman, berakhir. Tim berjulukan Prajurit Soca itu mampu menahan imbang Swedia 0-0. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk tim kecil yang baru pertama kali berlaga di pentas Piala Dunia.

Di Stadion Dortmund, suasananya tak jauh berbeda. Setelah wasit meniup peluit panjang, kapten tim Trinidad dan Tobago, Dwight Yorke, memimpin rekan-rekannya melakukan victory lap—berlari mengelilingi lapangan laiknya merayakan kemenangan. Mereka melambaikan tangan kepada para pendukung di tribun penonton. Tak hanya bak merayakan kemenangan, mereka berlaku seakan telah merebut mahkota juara. ”Ini adalah momen bersejarah bagi kami,” kata kapten berusia 35 tahun yang pernah main di Manchester United dan tiga klub Inggris lainnya itu.

York, yang sekarang membela Sydney FC Australia, pantas berbangga. Lawan mereka merupakan tim unggulan yang berulang kali mengikuti putaran final Piala Dunia. Apalagi, mereka terpaksa harus bertarung dengan 10 pemain setelah bek Avery John terkena akumulasi kartu kuning pada menit ke-46. ”Bisa bermain seri, jelas, menjadi hasil yang luar biasa. Ini sebuah kemenangan bagi kami,” kata Cornell Glen, 26 tahun, striker Trinidad dan Tobago.

Kebanggaan itu tidak lepas dari peran penjaga gawang Shaka Hislop. Sarjana teknik lulusan Howard University 1992 ini tampil cemerlang melindungi gawangnya dan membuat jago-jago Swedia frustrasi. Gempuran Freddie Ljungberg, Zlatan Ibrahimovic, maupun Henrik Larsson seakan membentur tembok.

Bahkan pelatih Swedia Lars Lager-back ikut gatal untuk memuji penampilan Hislop. ”Pemain kami tampil cukup baik, namun kiper Trinidad melakukan penyelamatan yang luar biasa,” katanya.

Hislop mengawali debut profesionalnya bersama klub Reading F.C. pada musim kompetisi 1992–1993. Dia berjasa mengangkat klub ini naik dari divisi dua ke divisi utama untuk pertama kalinya. Setelah itu, ia sempat bergabung dengan Newcastle United, West Ham United, Portsmouth, dan musim ini kembali ke West Ham sejak April 2005.

Penjaga gawang yang memiliki tinggi 6 kaki 6 inci (sekitar 2 meter) itu lahir di Hackney, London, Inggris, 37 tahun lalu. Dia pernah tampil membela tim Inggris di kejuaraan dunia junior. Namun, belakangan, dia memilih bermain di bawah bendera Trinidad dan Tobago, tanah kelahiran orang tuanya.

Awalnya, nama Hislop hanya tercantum sebagai pemain cadangan skuad Trinidad dan Tobago. Tiga jam menjelang kick-off, pelatih Leo Beenhakker memasang Hislop sebagai kiper utama menggantikan Kelvin Jack. ”Jack sebenarnya sudah cedera di awal minggu dan cederanya memburuk saat pemanasan,” kata Beenhakker. ”Sebelum pertandingan mulai, saya menugaskan Hislop dan dia melakukannya dengan baik.”

Hislop menjadi salah satu pemain yang tampil memikat di pertandingan awal Piala Dunia. Pada partai perdana, muncul nama Paulo Cesar Wanchope, penyerang Kosta Rika yang tampil menawan ketika menghadapi Jerman. Kendati timnya kalah 2-4 oleh tuan rumah, penampilan Wanchope menuai banyak pujian setelah menyarangkan dua gol ke gawang Jens Lehman.

Pendukung-pendukung Kosta Rika pun tidak kecewa dengan kekalahan tim kebanggaan mereka. ”Kosta Rika bermain sangat bagus,” kata Jessica Palmer, sales mobil berusia 23 tahun, yang hadir di tengah ratusan orang yang menyaksikan pertandingan di layar raksasa di pusat kota San Jose, Kosta Rika.

Bahkan Presiden Kosta Rika Oscar Arias Sanchez menyampaikan pujian untuk tim berjulukan Los Ticos ini. ”Saya kira kami berhasil menunjukkan penampilan bagus pada pertandingan pembukaan,” katanya. Semua itu, antara lain, berkat andil Wanchope. Mungkin jika tidak ada dua gol dari bomber klub lokal Heredinao ini, ceritanya akan menjadi lain.

Wanchope lahir dari keluarga pencinta sepak bola di Distrik Fatima de Heredia, 31 Juli 1976. Ayahnya, Vicente Wanchope, adalah pemain sepak bola. Demikian pula dengan dua kakaknya, Javier dan Carlos. Namun, hati Wanchope mulanya tak cuma berisi sepak bola.

Pemain dengan tinggi badan 186 sentimeter ini pernah kepincut pada bola basket. Bahkan ia sempat memperkuat tim junior negerinya dalam kejuaraan bola basket Amerika Tengah pada 1993. Berkat basket pula ia mendapat beasiswa setahun belajar di Vincent Memorial College di California, Amerika Serikat. Setelah lulus dan kembali ke negerinya, Wanchope mulai ragu untuk meneruskan karier di bola basket.

Kebimbangan muncul setelah ada panggilan untuk memperkuat tim junior sepak bola Kosta Rika. Apalagi, setelah itu ia juga mendapat tawaran bergabung dengan klub lokal terbesar Kosta Rika, Herediano. Menghadapi dilema antara dua cabang olahraga yang digemarinya, Wanchope akhirnya memilih sepak bola. Ia tak menyesali keputusan itu.

Dua gol Wanchope pada laga pertama di Piala Dunia, kendati gol keduanya berbau offside, melambungkan namanya lebih tinggi sebagai pemain cemerlang. Sampai Kamis pekan lalu, namanya masih berada di daftar pencetak gol terbanyak bersama Miroslav Klose (Jerman), Tim Cahill (Australia), Omar Bravo (Meksiko), Tomas Rosicky (Republik Ceska), dan David Villa (Spanyol).

Sayangnya, dalam pertandingan perdana itu pamor Wanchope masih kalah dibanding pemain tuan rumah Miroslav Klose. Pemain Jerman kelahiran Polandia itu tak cuma mencetak dua gol seperti Wanchope, ia juga dinobatkan sebagai Man of the Match. Penghargaan serupa diterima Tim Cahill dan Tomas Rosicky.

Tim Cahill sejak awal memang menjadi tumpuan Australia untuk menciptakan gol. Tak kurang dari pelatih Guus Hiddink mengharapkan buah gocekan Cahill yang sebetulnya masih dibekap cedera. Harapan itu ia sampaikan beberapa hari sebelum penampilan tim Socceroos—ini julukan tim Australia—di Stadion Kaisersalutern. ”Kami mendapat keuntungan karena dapat menampilkan Tim Cahill dan Harry Kewell,” katanya.

Harapan Hiddink tak sia-sia. Cahill, 26 tahun, yang di masa remaja pernah memperkuat Samoa, bukan saja memberi kemenangan bagi Socceroos, tetapi juga tampil mengesankan dengan aksi-aksinya. Australia melumat Jepang 3-1 setelah sempat tertinggal 0-1. Ketiga gol itu dicetak dalam delapan menit terakhir, dan Cahill, yang bermain di klub Everton, Inggris, menyumbang dua gol.

Di kubu Republik Ceska, pelatih Karel Brueckner juga tidak salah menyandarkan harapan pada Tomas Rosicky, 25 tahun. Maklum, dua penyerang andalannya, Milan Baros dan Jan Koller, tengah didera cedera. Harapan itu tak percuma. Rosicky menyumbang dua gol dari tiga gol yang disarangkan pemain-pemain Ceska ke gawang Amerika.

Rosicky kerap dijuluki Mozart Kecil karena bakatnya. Saat ”merumput” di Sparta Prague (1998–2001), dia terpilih sebagai pemain terbaik Ceska dan termuda sepanjang sejarah. Bersama Borussia Dortmund, ia meraih satu gelar juara Bundesliga dan menjadi finalis Piala UEFA.

Sekarang, ia mulai menunjukkan kemampuannya di pentas Piala Dunia. Gol pertamanya ke gawang Amerika dilesakkan dari jarak 25 meter. Padahal, Rosicky bukan penendang jarak jauh andal seperti seniornya, Pavel Nedved. ”Saya bukan penendang yang hebat, tapi selalu berusaha mencoba melakukannya. Dan hari ini ternyata berhasil,” katanya gembira.

Pemain gelandang ini pada Mei lalu baru menandatangani kontrak dengan klub Arsenal. Rosicky dibeli klub Inggris itu dari Borussia Dortmund seharga 6,6 juta pound sterling (Rp 105,6 miliar). Ia akan mengenakan kaus nomor 7 yang ditinggalkan Robert Pires. Rosicky mengakui kepindahannya ke Arsenal turut memberi motivasi bagi penampilannya di Jerman. ”Itu sangat membantu karena saya tak perlu lagi memusingkan masa depan,” ujarnya.

Namun, Piala Dunia masih jauh dari selesai. Hislop, Wanchope, Cahill, dan Rosicky masih harus unjuk gigi, bahwa mereka benar-benar ”bertaring” tajam.

Suseno (berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus