Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu tampak kusam. Dindingnya berwarna putih sudah lama tak dicat ulang. Pintunya juga terkunci rapat. Tak ada tanda-tanda bakal ada acara khusus. Padahal hari itu sang tuan rumah, Ustadz Abu Bakar Baasyir, bakal pulang setelah hampir empat tahun menjalani hukuman penjara di Jakarta. Penghuni rumah yang terletak persis di belakang kantor Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu sama sekali tak berbenah.
Keriangan hanya tampak di halaman. Beberapa bocah sedang bermain sambil berteduh di bawah pohon belimbing wuluh. Menurut Rosyid Ridho, anak kedua Ba’asyir, keluarganya memang tidak menyiapkan acara khusus. Kedatangan sang ayah pada Rabu pekan lalu diurus oleh pesantren dan para pengurus Majelis Mujahidin Indonesia serta pendukung Ba’asyir lainnya.
Kalaupun ada yang berbeda hanyalah kesibukan Aisyiah Ba’asyir menyiapkan makanan untuk suaminya, sang Amir Majelis Mujahidin. ”Umi sedang memasak lauk marak (gulai kambing bumbu arab) untuk Abi,” kata Rosyid. Sang istri memilih menunggu suaminya di rumah ketimbang ikut menjemputnya ke Jakarta.
Ba’asyir resmi menjadi tersangka pada 19 Oktober 2002. Polisi menuduh ia memiliki hubungan dengan para pelaku peristiwa bom Bali 2002 dan terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Megawati Soekarnoputri. Selain itu, Ba’asyir juga dijerat pasal pelanggaran keimigrasian karena pernah pergi ke Malaysia secara ilegal. Setelah tiga kali dipanggil masih juga mangkir, polisi menangkap tersangka saat masih dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, dua pekan kemudian.
Pengadilan menimpakan hukuman empat tahun penjara bagi Ba’asyir setahun kemudian. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta mendiskon hukuman menjadi tiga tahun penjara. Soalnya, Ba’asyir hanya terbukti bersalah atas pelanggaran keimigrasian. Saat kasasi di Mahkamah Agung, hukumannya kembali dipangkas menjadi tinggal setahun enam bulan, Maret dua tahun lalu. Ba’asyir bebas sebulan kemudian.
Belum sempat menghirup kebebasan, Ba’asyir langsung ditangkap lagi oleh polisi. Kali ini dia diperiksa dalam perkara bom Hotel JW Marriott, Jakarta. Dari tuntutan jaksa delapan tahun penjara, majelis hakim menjebloskan Ba’asyir ke penjara selama dua setengah tahun.
Meski Ba’asyir telah dihukum, kecaman masih muncul dari negara lain. Pemerintah Australia mengkritik keputusan Indonesia membebaskan Amir Majelis Mujahidin Indonesia ini. Perdana Menteri Australia John Howard mendesak Indonesia untuk terus memantau aktivitas Ba’asyir. Dia mengingatkan tentang keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah memasukkan Ba’asyir ke daftar teroris. Australia masih marah karena ledakan bom Bali pada 2002 telah merenggut 202 nyawa dan 325 luka-luka yang sebagian besar warga negara Australia.
Negara barat selalu memasukkan Ba’asyir ke dalam daftar penting jaringan teroris. Majalah Time mengutip laporan lembaga intelijen Amerika Serikat (CIA) yang menyebut Abu Bakar Ba’asyir ”terlibat dalam berbagai plot”. Laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah terbitan Amerika ini memaparkan peran Ba’asyir sebagai pemimpin spiritual kelompok Jemaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara.
Pesantren Al-Mukmin yang diasuh Ba’asyir mulai disorot setelah Fathur Rahman al-Ghozi ditangkap di Manila, Filipina, tiga tahun lalu. Amerika Serikat mencurigai Ghozi, murid pesantren ini, terkait jaringan Al-Qaidah, organisasi milik Usamah bin Ladin. Kebetulan pula, sejumlah alumni pesantren Al-Mukmin terlibat dalam sejumlah aksi teror bom di negeri ini. Ba’asyir sendiri menyangkal mengenal Al-Ghozi secara pribadi.
Kebencian negara-negara barat terhadap Ba’asyir membuat keluarga, santri, dan pendukungnya merasa harus lebih berhati-hati. Dua pekan sebelum Ba’asyir bebas, mereka sudah beberapa kali mengadakan rapat. Rosyid mengaku sempat menyiapkan tiga skenario untuk menjemput ayahnya.
Pertama, menerbangkan Ba’asyir dari Jakarta menuju markas besar Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta. Setelah itu bersama arak-arakan besar menuju Ngruki. Ada juga pilihan kedua, yakni membawa Ba’asyir langsung ke Solo dengan pesawat terbang. Namun, kedua rencana itu batal. Salah seorang pendukung Ba’asyir mengingatkan kemungkinan adanya sabotase di udara oleh Amerika Serikat, musuh sejati Ba’asyir. ”Akhirnya, penjemputan Abi dilakukan melalui jalan darat,” kata Rosyid.
Rabu pagi pekan lalu, Ba’asyir benar-benar bebas. Santri dan para pendukungnya yang sudah menunggu sejak malam sebelumnya di halaman Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, menyambut pembebasan itu dengan takbir. Berbaju gamis putih dengan jas abu-abu dan sarung putih, Ba’asyir menuju mobil yang telah siap mengantarnya pulang. Sebelum masuk mobil, Ba’asyir sempat memberikan pidato selama tujuh menit.
Mobil yang ditumpangi Ba’asyir akhirnya melaju tidak terlalu kencang menuju Solo. Masalahnya, kesehatan Ba’asyir yang sudah berusia 68 tahun itu harus dipertimbangkan. Sejak di tahanan Ba’asyir mengeluh tidak betah duduk berlama-mana karena tulang ekornya bermasalah.
Sesampai di Jawa Tengah pada malam hari, rombongan tak langsung menuju rumah. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu 13 jam, keluarga membawa Ba’asyir ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo. ”Ini sebagai antisipasi agar nanti tidak ada saling menyalahkan,” kata Mahendradatta, pengacara Ba’asyir. Dokter memastikan kesehatan Ba’asyir secara klinis masih bisa ditoleransi. ” Beliau harus istirahat, tapi tidak perlu menjalani rawat inap,” kata Suradi, salah satu dokter yang memeriksanya.
Perjalanan Ba’asyir dari rumah sakit menuju pesantrennya diantar oleh sekitar tiga ratusan pendukung yang terus meneriakkan takbir. Mereka menunggu pria asal Jombang, Jawa Timur, ini sejak petang. Ada sekompi perempuan berjilbab lebar dengan bawahan hitam dan baju putih berbaris di tepi jalan. Mereka menggelar poster di pintu gerbang rumah sakit. Di halaman rumah sakit puluhan pria berbadan tegap bersepatu lars dan bersorban membentuk pagar betis.
Malam itu, Ba’asyir kembali menjejakkan kakinya di Pesantren Al-Mukmin, tempat dia mengajarkan agama kepada santri-santrinya sejak 1975. Di halaman pesantren, Ba’asyir langsung memberikan tausyiah. Di atas podium yang disiapkan khusus di halaman masjid pondok, dia berpidato selama 20 menit. Intonasi suaranya masih tetap tinggi ketika berbicara soal musuh kekalnya, Amerika. Santri dan pendukung yang mendengarkan menyambut dengan teriakan takbir setiap Ba’asyir mengakhiri kalimatnya.
Usai bersilaturahmi dengan para tamu yang menjemputnya, kakek bertubuh kering ini beristirahat. Keesokan harinya, Ba’asyir lebih banyak beristirahat. Dia masih tampak kelelahan karena sejak subuh sudah menerima tamu. Keluarganya akhirnya terpaksa menolak para tamu yang masih juga berdatangan. ”Sampai sebulan ini Abi tak boleh banyak acara, yang penting istirahat,” kata Rosyid.
Agung Rulianto, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo