Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang kita bicarakan adalah kejahatan kerah putih. Jenis kejahatan yang dilakukan orang-orang terhormat, memiliki status sosial tinggi, dan sangat ahli di bidangnya. Edwin Hardin Sutherland, kriminolog paling berpengaruh pada abad ke-20, percaya benar bahwa perilaku sang pelaku lahir dari interaksi dengan ”sesamanya”. Kasus Dicky Iskandar Di Nata, orang pertama yang dituntut hukuman mati dalam kasus korupsi di Indonesia, boleh dibilang mendukung teori Sutherland.
Anatomi kasus yang membelit Dicky, Direktur Utama PT Brocolin International, bisa menjelaskan dukungan terhadap teori penulis buku White Collar Crime yang terbit pada tahun 1949 itu. Sekitar tiga tahun yang lalu, Dicky bertemu dengan Adrian Waworuntu dan Maria Pauline Lumowa. Nama terakhir ini merupakan Direktur Utama PT Gramarindo, sedangkan Adrian mengaku bekerja sebagai konsultan investasi di perusahaan yang sama. Dicky dan dua nama tadi konon bertemu untuk membahas soal investasi.
Singkat cerita, Gramarindo terlibat kasus Bank BNI. Perusahaan itu pada periode 2002-2003 didakwa melakukan kegiatan ekspor, membeli barang dari luar negeri, yang dibayar dengan letter of credit (L/C) Bank BNI yang belakangan diketahui fiktif. Bank pelat merah itu pun bobol Rp 1,2 triliun. Dicky ikut terseret kasus ini setelah Maria Pauline dan Adrian memakai sebagian uang tersebut untuk membeli kepemilikan PT Brocolin International dengan harga Rp 70 miliar. Dicky mengaku tidak tahu sumber uang untuk membeli perusahaannya, tapi keterangannya perlu diperiksa lebih jauh.
Penyelidikan jaksa dan polisi semakin memperkuat hubungan antara Maria, Adrian, dan Dicky. Diketahui bahwa Dicky pernah meminta stafnya membuka rekening untuk menampung uang kiriman Gramarindo. Selanjutnya, menurut dakwaan jaksa, uang itu disalurkan ke beberapa orang polisi yang terkait dengan kasus Bank BNI. Sebaliknya, Dicky juga mengaku pernah mengirim uang kepada Adrian, yang juga dipakai untuk menambah ”kesejahteraan” polisi.
Kita tahu, akibat kasus BNI, Adrian Waworuntu sekarang meringkuk di penjara. Ia dihukum seumur hidup. Maria Pauline kabur entah ke mana. Pergaulan Dicky dengan Adrian dan Maria, pergaulan sesama ”penganut risiko tinggi”, bukan tidak mungkin ikut mendorong orang semacam Dicky untuk berperilaku nekat yang akhirnya menjerumuskannya sangat dalam. Di sini teori Sutherland benar, walau tidak sepenuhnya.
Dikatakan tidak sepenuhnya karena masa lalu Dicky Iskandar Di Nata, kini 55 tahun, dipercaya ikut membentuk perilakunya dalam kasus yang sekarang. Sebagai Wakil Direktur Utama dan Direktur Eksekutif Bank Duta, pada tahun 1991, Dicky terbukti melakukan korupsi—akibat permainan valuta asing. Dia dihukum penjara sepuluh tahun dan dipaksa menyetor uang pengganti Rp 800 miliar ke kas bank milik tiga yayasan pimpinan bekas presiden Soeharto itu. Jumlah uang pengganti tadi pada masa itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Dicky sudah selesai menjalani masa hukumannya, namun ia tak mampu membayar uang pengganti.
Tentu saja Dicky perlu dihukum seberat-beratnya apabila kelak pengadilan berhasil membuktikan kejahatannya. Kerugian negara, dalam kasus ini, perlu sekuat-kuatnya diupayakan kembali. Sejauh ini pengembalian itu baru mencapai satu persen dari jumlah total yang digasak. Tapi ada yang lebih penting. Ada baiknya memakai momentum persidangan Dicky sebagai pintu masuk untuk membersihkan kepolisian dari aparat yang korup. Dalam persidangan Dicky, dan sidang kasus BNI dengan terdakwa yang lain, sudah begitu gamblang diungkapkan betapa buruknya perilaku polisi yang seharusnya bertugas membongkar kebusukan ini.
Persidangan untuk sejumlah nama jenderal polisi berbintang dua dan tiga kini sedang berjalan. Tapi rasanya belum semua petinggi yang kecipratan ”madu” kasus BNI diusut dan diberkas. Bahkan belum semua kejahatan yang dirancang bersama-sama oleh ”pemodal berisiko tinggi” tadi dan polisi diusut dalam berkas tersendiri. Salah satunya adalah dugaan penggelapan barang bukti berupa aset milik PT Brocolin International. Aset yang disita itu berupa perkebunan kakao dan bunga. Berkat kongkalikong yang curang, ditengarai tercapai kesepakatan untuk mengurangi daftar aset yang diajukan sebagai barang bukti di pengadilan. Perkebunan yang tak dicantumkan sebagai barang bukti itu kabarnya akan dijadikan ”mainan di masa pensiun” para petinggi polisi.
Apa lagi namanya kalau bukan pagar makan tanaman? Polisi, yang seharusnya melindungi warga dari pelaku kejahatan, dalam kasus ini justru diduga memeras dan jelas-jelas berusaha memperkaya diri sendiri dengan cara yang jahat. Ada dua alasan untuk mengatakan hal terakhir ini. Pertama, untuk mencoret atau mengurangi daftar aset yang diserahkan sebagai barang bukti itu diduga polisi mendapatkan sogok. Kedua, mengurangi daftar barang bukti itu sendiri sudah merupakan pelanggaran telak.
Tidak diragukan lagi: ini saatnya membersihkan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo