Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ballet ID akan kembali menggelar pertunjukan Gala Balet pada September 2017. Yang cukup istimewa pada gelaran ini adalah kolaborasi penari difabel tuna rungu dengan penari non difabel. Mereka akan membawakan koreografi CANdoDANCE karya Mirjam Gutner dan Tanja Erhart dari grup Candoco Dance Company (Inggris).
Gala Balet ke-2 ini akan mengambil tema "An Inclusive Dance Event- Kesetaraan Menari Untuk Semua Manusia Tanpa Batas". Acara itu akan menampilkan penari difabel dari Australia, Prancis, Korea Selatan dan Italia dan kolaborasi penari difabel dan non difabel.
Sabtu lalu, 8 Juli 2017, enam penyandang tuna rungu dan delapan penari non difabel hasil audisi unjuk kebolehan selama 20 menit di Gedung Kesenian Jakarta. Koreografi itu hasil latihan sementara mereka selama sepekan. Tetapi mereka bakal tampil penuh pada September nanti. “Ini hanya sebagian materi hasil latihan kemarin,” ujar Tanja Erhart kepada wartawan.
Gutner dan Erhart, yang telah berkiprah selama 26 tahun dalam grup tari yang memfasilitasi penari difabel, membuat koreografi sesuai struktur yang telah diatur sebelumnya. “Tapi tidak ada aturan bentuk yang spesifik,” ujar Gutner.
Dalam koreografi ini penari dituntut menyatu dalam gerakan satu koreografi. Pada mulanya akan ada gerakan seperti gumpalan awan yang bergerak, lalu ada yang seperti jangkar yang akan menentukan gerakan penari lain. “Penari dibebaskan dan memilih gerakan mereka,” ujar Erhart yang tuna daksa -- hanya mempunyai satu kaki dan biasanya menari dengan dua tongkat atau kursi roda.
Bagi Khusnul dan Anisa, para penari difabel—pengalaman ini dirasakan cukup istimewa. Selama ini mereka hanya menari tradisional dalam acara di sekolah, ikut ekstrakurikuler menari tapi tidak ikut kursus menari. “Biasanya kami belajar dari melihat lalu menirukan, tapi di sini kami dituntut kreatif mengikuti gerakan yang berubah,” ujarnya.
Mariska Febriyani, salah seorang pendiri Ballet ID, mengatakan ini terobosan di Indonesia. Semula ia ragu untuk melaksanakannya. Hingga ia melihat Festival Seni Unlimited di Inggris yang menampilkan karya seni panggung seniman difabel internasional. “Dari sana saya mendapat pencerahan yang membatasi manusia itu bukan fisik tapi ketakutan di kepalanya.”
Acara ini didukung oleh British Council Indonesia dalam program UK/Indonesia 2016-2018.” Kami ingin menunjukkan bagaimana keterlibatan kreatif semua orang tanpa menghiraukan keterbatasan mereka,” tutur Paul Smith, Direktur British Council di Indonesia.
DIAN YULIASTUTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini