Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Para seniman Bandung merespons kondisi dunia dan manusia yang berdiri di sisi ketidakpastian hidup di tempat kehancuran yang bertemu dengan imajinasi. Mereka menggelar karya dalam pameran bersama berjudul Utopian Dreams: Dystopian World sejak 19 April-19 Mei 2025 di Neo Gallery yang bekerjasama dengan ArtSociates. “Pameran ini mengeksplorasi hubungan antara realitas distopis dan potensi utopis,” kata kurator Axel Ridzky, Jumat, 25 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan Editor: Mariam Safrina dan Guntur Timur Gelar Pameran Lukisan Fotorealisme di Galeri Lawangwangi
Pameran Refleksi Kekacauan Dunia
Berlatar berita konflik yang berkepanjangan, bencana iklim, kekacauan politik, hingga ancaman dari teknologi kecerdasan buatan, manusia tetap mencari harapan surga di belahan bumi. Para seniman yang terlibat dalam pameran itu, Chakra Narasangga, Dzikra Afifah, Etza Meisyara, Henryette Louise, Hilman Hendarsyah, dan Mujahidin Nurrahman, menggali kemungkinan-kemungkinan di balik keruntuhan sistemik sambil mempertanyakan apakah utopia hanya ilusi yang membutuhkan pembaruan secara menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Axel, karya Mujahidin Nurrahman menjadi refleksi mendalam atas lanskap dunia yang rusak akibat perubahan iklim dan krisis ekologis. Melalui teknik potongan kertas yang khas, ia merakit kembali bentuk-bentuk senjata menjadi struktur geometris yang mengingatkan pada motif spiritual seperti mandala dan arabes sebagai simbol ketenangan, kedamaian, dan keteraturan transendental. Bentuk senjata itu menyiratkan sisa-sisa peradaban yang hancur namun masih menyimpan potensi untuk dibentuk ulang.
Lukisan karya Hilman Hendarsyah berjudul Prepaid Breath. Foto: Dok. Galeri.
Teinspirasi dari Serat Kalatidha
Kekaryaan Chakra Narasangga yang ekpresif bercorak abstrak pada seri berjudul Character Developments misalnya, mengeksplorasi hubungan mendalam antara batu, prasasti, dan identitas manusia. Tema itu terinspirasi oleh Serat Kalatidha karya Ronggowarsita yang menjembatani ketegangan antara kekacauan dan harapan. Seri karya itu menurut Axel menjadi metafora visual tentang ketahanan dan transformasi upaya manusia untuk melampaui kekacauan.
Sementara Etza Meisyara lewat karya dua dimensi berbahan plat logam, menghadirkan distopia sebagai kondisi liminal antara kepastian dan keraguan. Gambarnya menampilkan fragmen-fragmen kenangan terdistorsi yang mencerminkan bagaimana sejarah diri dibentuk ulang seiring berjalannya waktu. “Etza menciptakan lanskap yang menyerupai mimpi, di mana masa lalu bertemu dengan masa depan yang belum pasti,” kata Axel. Sosok-sosok dalam karyanya tampak seperti bayangan atau hantu yang terjebak antara realitas dan alam bawah sadar hingga memancing refleksi mengenai pembentukan identitas yang dipengaruhi oleh tempat dan persepsi.
Sedangkan imajinasi Hilman Hendarsyah mengungkapkan dinamika kecemasan melalui lukisan yang menggambarkan figur manekin-manekin android dan hewan setengah badan sebagai metafora kehancuran ekosistem. Sementara kekaryaan seni grafis berbentuk plaster olahan Henryette Louise menampilkan mitos dan makhluk astral sebagai cara memahami kejanggalan alam dan dimensi lain yang mungkin telah rusak maupun terkubur kisahnya oleh dunia modern.