HIDUP Affandi sekadar memenuhi kebutuhan minimum, bersama istri dan seorang anak, di bawah kondisi kolonial. Ia tahu betul kemasygulan ayahnya, seorang raden dan pegawai perusahaan gula, yang sangat benci pada pilihan hidup anaknya: jadi pelukis. Itu dulu, semasa umur 30-an. Sekarang, Affandi memang kakek-kakek. Tetapi lukisannya berharga jutaan. Ke rumahnya bergantian datang rombongan anak sekolah, menjenguknya dan meminta tanda tangannya. Ia telah menerima anugerah seni dan medali emas dari pemerintah (1969). University of Singapore memberinya gelar doktor kehormatan (1974). Menerima hadiah Perdamaian Internasional Dag Hammarskjoeld (1977). Presiden memberinya Bintang Jasa Utama (1978). Ia anggota kehormatan Akademi Jakarta, dan anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia Yogyakara. Pantas. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen P dan K, 23 Februari--16 Maret, menyelenggarakan pameran retrospektif lukisan Affandi, pada ulang tahunnya yang ke-80. Eksposisi ini sekaligus tanda peresmian gedung pameran seni rupa -- bagian Wisma Seni Nasional yang akan dibangun (lihat Dari Galeri ke Galeri). Meramaikan pameran tersebut, di ruangan lain dipajang karya sulaman istrinya, Maryati, dan lukisan putrinya, Kartika. Selain ada pemutaran film tentang Affandi, pada 28 Februari, 5 dan 10 Maret juga diselenggarakan sarasehan. Namun, memang tak mudah menyelenggarakan sebuah pameran yang lengkap serta mewakili berbagai sisi penting seni lukis Affandi, selama masa kerjanya setengah abad itu. Lukisannya yang berkisar 2.000-3.000 buah telah tersebar. Sebuah pameran, mungkin, tak mencerminkan secara proporsional berbagai pokok, tema, periode, dan lain-lain. Tanpa mengabaikan kemungkinan seperti itu, baiklah klta mencoba membentuk gambaran tentang seni Affandi berangkat dari 120 lukisan yang dipajang dalam gedung pameran seni rupa itu. Affandi begitu bergerak dari jenis seni luki yang mencitrakan obyek yang dipilih dari dunia sekeliling -- tanpa ragu memperlihatkan olesan atau sapuan kuas yang kasar Ibu Menjahit (1938). Kemudian sapuan ini luluh, hapus, seperti pada Ayah dan Anak (1939) dan Potret Diri (1940). Ini memungkinkan menyajikan secara lebih jelas dan cermat citra berbagai segi fisik obyek: raut volume, massa, sifat permukaan, terang dari bayangan, dan lain-lain. Citra yang disajikan lukisan mendekati citra fotografis. Naturalisme ? Nanti dulu. Dalam dua lukisan tad jelas ke mana mata kita dibawa. Tidak ke bidang. Melainkan ke unsur atau segi yang bersifat garis: blabar (kontur), tonjolan atau relief pada sosok (wajah dan lainnya), dan lain-lain. Unsur-unsur kegarisan in memberi "semangat" (daya hidup) kepada kedua pekerjaan itu. Ihwal ini menjadi lebih jelas pada Ibu (1941). Pada Kartika Kecil II dan Potret Diri (keduanya 1943) sapuan kuas muncul kembali dengan tegas, membentuk garis-garis mengalun atau meliuk, "menari". Selanjutnya Affandi tak pernah terpisah dari garis-garis -- corat-coret yang resah itu. Garis, ditarik dengan tangan adalah rekaman gerak psikomotoris. Karena emosi selalu disertai gejala psikomotoris maka garis, dalam seni lukis, menjadi wahana yang kuat untuk mengungkap emosi. Juga irama dari tenaga. Semakin menggebu-gebu emosi seseorang, semakin gerak-geriknya (dan suaranya) penuh dengan tekanan-tekanan kuat, penuh ulangan, semakin berirama. Dalam seni lukis, penyimpangan dari proporsi bentuk yang sewajarnya -- pemiuhan atau distorsi -- akan dicerap sebagai tanda bekerjanya tenaga yang menekan atau menarik bentuk. Garis, tenaga, tegangan, gerak, irama, pemiuhan, termasuk dalam ciri-ciri penting seni lukis Affandi. Ciri lain adalah kecenderungan kepada simbolisme. Semakin kuat emosi Affandi semakin tegas ia berungkap melalui lambang. Tujuh Matahari dalam Potret Diri dengan 7 Matahari (1950) bukanlah perian (deskripsi), melainkan ungkapan intensitas emosional. Dalam Menggendong Cucu Pertama (1953), tampak Affandi mendekap cucunya, melayang di langit biru kehitaman, dikelilingi bintang-bintang dan bulan. Mungkin saja dalam lukisan Affandi kita menemukan simbol-simbol pada matahari burung gagak, ayam aduan, kaki-kaki telanjang, topeng-topeng, dan lain-lain. Dan tidak jauh dari simbolisme adalah legenda dan mitologi -- melalui bentuk-bentuk seram dalam ikonografi tradisional atau kerakyatan. Affandi terpukau dan tergugah oleh topeng (Barong, Garuda, dan lain-lain), oleh sosok-sosok aneh dan menakutkan dalam perwayangan (lihat kedua Memedi Sawah, 1985). Affandi tertarik oleh semacam spiritualisme yang tersembunyi dalam khazanah legenda, mitologi, dan kepercayaan rakyat. Barangkali, kecenderungan Affandi kepada wirupa -- meminjam istilah yang tergores pada kaki Borobudur yang dulu terbenam -- kepada bentuk-bentuk buruk, menakutkan, dapat ditafsirkan dalam kerangka ini. Tentu ada sisi lain. Pengutamaan pengalaman subyektif, pendalaman jiwa, menempatkan Affandi sebagai pelukis yang percaya pada "yang alami". Konon, suatu pagi Affandi hendak melukis potret Bagong Kussudiardjo, ia sangat gembira menjumpai Bagong masih "awut-awutan", belum sempat mandi dan berdandan. Alasannya: lebih murni, lebih asli. "Selera" Affandi kepada yang seadanya, yang seenaknya, "bahkan kepada yang kasar dan yang buruk", adalah penolakan terhadap dandanan dan facade yang menutupi dan menindas apa yang sebenarnya, yang murni, yang alami. Potret dirinya yang telanjang, dan Tiga Darso Telanjang (tidak dipamerkan), menempelak rasa kepantasan dan rasa kesopanan masyarakat yang menggemari busana dan facale: terutama masyarakat priayi, masyarakat pegawai, masyarakat Raden Koesoemo -- ayahnya sendiri. Dan Affandi menempatkan diri, tentu saja, sebagai rakyat jelata. Proses melukisnya -- meleburkan diri dengan obyek, meminjam istilah Affandi -- menyebabkan kita berpikir bahwa Affandi tidaklah amat netral bila ia melukiskan kekejaman (Jago Aduan yang Mati), atau kemiskinan (Pengemis, Rakyat Jelata). Pemerintahan militer Jepang tidak dapat disalahkan, ketika dulu menyita lukisan Affandi yang menggambarkan Romusha yang kurus kering. Kecenderungan kepada simbolisme dan spiritualisme, kerinduan (sadar ataupun buta) kepada tata masyarakat lain yang lebih baik dan kepada manusia murni dan lugu, inilah hal-hal yang mendekatkan Affandi kepada gerakan ekspresionisme di Jerman pada awal abad ini. Masih ada satu perkara yang tidak kurang penting untuk dicatat. Kanvas-kanvas Affandi sesudah 1970, terutama dalam tahun 80-an, pada sejumlah yang kelihatan "kacau" bagi para pengamat. Apakah ini akibat usia tua yang melemahkan penglihatan dan pengendalian tangan ? Kita, terlebih yang terdidik di lembaga formal seni rupa, diajari estetika dan cara menggubah yang diturunkan dari teori Gestalt dalam psikologi. Kita terkondisi oleh itu. Tetapi teori Gestalt berkaitan dengan proses jiwa sadar -- "proses sekunder", kata para psikoanalis. Namun, dalam jiwa kita juga terjadi proses yang lebih mendasar, "proses primer" yang berkaitan dengan pencerapan (persepsi) yang "sinkretistik", yang tak membeda-bedakan. Bukan kemelut tak berstruktur, melainkan punya strukturnya sendiri. Kemampuan pencerapan ini, yang telah lemah pada kita, sedang bangkit pada Affandi. Barangkali, Affandi sedang merambah persepsi baru dalam seni lukis. Tinjauan ini sampai pada kesimpulan: adalah mungkin untuk melihat Affandi, dalam usia 80, sebagai tetap muda. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini