Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keinginan untuk Menemukan Sesuatu

Farida Oetojo, Maxine Heppner, dan Yudistira Sjuman pentas di Teater Utan Kayu tanpa pretensi sebuah penciptaan. Tujuan utamanya adalah menemukan sesuatu dalam tari.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH sosok manusia tergeletak di tengah panggung dengan pose bayi dalam kandungan. Ia tertidur dengan tenang. Dengan iringan musik karya Aksan Syuman, sosok itu bergerak-gerak menunjukkan tanda kehidupan. Sosok itu berdiri. Kepala menengadah dengan kedua tangan terbuka sejajar dada, seolah meniupkan napas kehidupan, memberi kasih sayang kepada dunia.

Demikianlah tari Reinkarnasi karya Farida Oetoyo yang ditarikannya sendiri selama empat menit di Teater Utan Kayu, 5 dan 6 Desember lalu. Sebuah karya yang pendek, padat, dan bersahaja, tapi cukup untuk merasakan potensi seorang penari dengan ke-"penari"-annya. Gerakannya kadang lembut, diam, dan kadang menyentak dalam sekejap. Farida mulai menari pada usia sembilan tahun di sekolah Fine Art of Movement, Singapura, dan bergabung dengan Ballet der Lage Landen pada 1956 - 1958 di Belanda, Belgia, dan Jerman sebagai penari balet klasik. Setelah mendapat beasiswa dari Akademi Ballet Klasik Bolshoi Teater Moskwa dan lulus cum laude sebagai artis balet 1973-1974, ia mendalami teknik tari dari Martha Graham, Merce Cunningham, dan Alvin Nicolais di New York.

Menurut dia, sebagai seorang penari, keinginan untuk menari tidak pernah padam. Namun karena berbagai macam tugas dan pekerjaan, selama 15 tahun ia tidak menari. Sejak acara "The Old Dancer Never Fades Away" yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta bertepatan dengan ulang tahun Gedung Kesenian Jakarta pada September 1997, tiba-tiba semangatnya untuk menari kembali berkobar. "Tiba-tiba ada energi luar biasa yang datang ke dalam diri saya. Sejak saat itu saya kembali ke studio untuk menari secara rutin," katanya. "Saya menampilkan Perjalanan 20 detik, dan sebelumnya diawali dengan tarian saya, Prologue," tutur Farida.

Reinkarnasi merupakan satu di antara lima karya yang ditampilkan oleh grup Kreativitat Dance Indonesia malam itu. Karya lain adalah Snow dan Heron under Observation karya Maxine Heppner, Lullaby karya Yudistira Syuman, dan Impak karya Farida.

Sebuah sosok lain tampil dengan pakaian kumuh bernuansa putih, bergerak, menari, menghadirkan sebuah misteri. Misteri tentang kesendirian, juga kekuatan, kesunyian, juga kebesaran. Kadang terlihat kecil sebagai sebuah titik, sesekali membesar bagai alun gelombang. Maxine Heppner tampil dengan prima membawakan karyanya berjudul Snow. Di dalam tari Snow ia menyampaikan pengalamannya di musim salju yang menimbulkan rasa sunyi sekali, sendiri, dan terisolasi. Perasaan yang menurut Maxine Heppner melahirkan rasa putus asa, tapi juga semangat untuk bertahan hidup. Sesungguhnya tari Snow berbicara banyak. Tarian itu memberikan pengalaman tentang keputusasaan, keterisolasian, kesepian yang sunyi, bersamaan dengan sebuah kebangkitan yang penuh semangat. Sebuah spirit untuk hidup.

Maxine Heppner seorang koreografer, penari, artis, dan guru dari Kanada yang mengajar tidak tetap di Sekolah Ballet Sumber Cipta pimpinan Farida Oetoyo. Maxine sering melakukan pertunjukan di Indonesia, di antaranya pada Indonesian Dance Festival 1996.

Lulaby, karya Yudistira Syuman, dipentaskan Mira Teja dan Chendra Effendy diiringi musik indah karya Aksan Syuman dengan judul Naradia, yang vokalnya dinyanyikan Oppie Andaresta. Karya ini menarik, menggambarkan sebuah mosaik kehidupan. Tarian ini akan lebih menarik jika disajikan dengan sepenuh hati dan seiring bersama alunan musik. Atau, mungkin dibutuhkan lebih banyak kekentalan visi antara koreografer dan penari.

Farida Oetoyo seorang ibu. Melalui rahimnya telah lahir Yudistira dan Aksan Syuman. Melalui "rahim" Sumber Cipta-nya telah lahir Linda Hoemar Abidin, seorang penari yang kemudian lulus cum laude untuk bidang Art Managament di Columbia University, New York. Melalui rahimnya pula lahir Dita Miranda, seorang penari profesional Bremen Tanz Teater yang tampil di Art Summit lalu. Dengan demikian, selain seorang penari, Farida, seperti yang tercermin dalam Reinkarnasi, telah menjadi wadah yang dibutuhkan para pemuda untuk berkreasi, untuk menemukan sesuatu dalam dirinya. Sesuai dengan kata-kata yang menyertai Kreativitat Dance Indonesia, mereka ".…bukan untuk menciptakan sesuatu, tapi untuk menemukan sesuatu." Agaknya, wadah atau "rahim" seorang perempuan itulah yang sebenarnya sedang didambakan dunia tari Indonesia.

Maria Darmaningsih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus