Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerpen Baron Yudo Negoro: Orang-orang Katolik di Belfast

Mereka tinggal satu atap, kawan seperjuangan, tapi kini Sean termasuk orang yang menganggapnya berkhianat.

4 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Orang-orang Katolik di Belfast

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Baron Yudo Negoro menggambarkan lika-liku kehidupan anggota IRA.

  • Perang batin terjadi di antara anggota kelompok karena ada yang dianggap berkhianat.

  • Ada pula ketegangan antara penganut Katolik dan Protestan.

DI bangku kayu, Liam duduk pasrah dengan tangan terbelenggu, terkurung dalam ruangan lembap tersembunyi di Felons Club. Ia berulang-ulang mengecam dalam hati. Kalian salah, aku salah, kita salah. IRA mengatasnamakan Katolik, tapi malah jadi ancaman umat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari tempatnya duduk, Liam bisa melihat Sean menenteng senapan dan berjaga di balik jendela buram dengan wajah kaku. Mereka tinggal satu atap, kawan seperjuangan, tetapi kini Sean termasuk orang yang menganggapnya berkhianat. Liam terus-terusan membatin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan, bukan aku… IRA-lah sesungguhnya yang mengkhianati umat Katolik.

Liam lalu ingat bahwa dirinya pernah terlibat dalam pengkhianatan yang ia maksud, dengan Edmund sebagai korbannya.

Di mata Liam, Edmund bukan cuma anggota IRA (Tentara Republikan Irlandia), tetapi juga kawan baiknya di Cavehill, tempat asalnya. Mereka sepantaran. Saat berusia 18 tahun, mereka bergerak dalam aksi damai di jalanan Belfast. Sejak Britania Raya menguasai Irlandia Utara, mereka memprotes pemerintah yang menggencet umat Katolik lewat sikap pasif instansi-instansinya, dan karena membiarkan umat Protestan menyerang umat Katolik.

Pada November 1969, aksi damai berlangsung kacau. Kelompok Protestan loyalis pemerintah mendadak muncul dari balik dinding gedung, membawa balok-balok kayu dan melempari pengunjuk rasa dengan batu. Seperti pengunjuk rasa lain, mereka pun kalang kabut dan sempat melihat orang-orang digebuki seperti anjing.

Orang-orang terluka, terkapar, dan beberapa mati di trotoar jalan. Siang mencekam itu membakar kemarahan mereka, mendorong mereka bergabung dengan IRA, paramiliter yang bukan cuma memerangi Protestan, tetapi juga bernafsu mendepak Britania Raya dari Irlandia Utara.

Liam lalu meninggalkan orang tuanya di Cavehill. Bersama Edmund, Liam berpindah ke Divis Flats, tempat IRA dan pendukungnya bersarang. Di sana, mereka tinggal bersama Sean, anggota lain IRA. Perlawanan mereka dimulai lagi, tetapi kali itu dengan senapan dan di bawah perintah Brendan.

Suatu saat, Edmund disekap tentara Inggris. Ia lalu membocorkan informasi bagaimana sesungguhnya wajah Gerry Adams, petinggi IRA yang diburu tentara Inggris. Ulahnya membuat tentara Inggris kerap mondar-mandir di jalanan kumuh Divis Flats untuk memburu Gerry Adams. Oleh IRA, Edmund diseret ke Felons Club, dan diinterogasi dengan tangan terikat kawat dan diputuskan akan dieksekusi.

Liam saat itu berjaga. Benaknya berkecamuk saat melihat Edmund dari balik jendela. Dalam hati, ia bertanya-tanya. 

Apakah semua ini perlu. Edmund salah, tapi dia Katolik taat. Bukankah IRA berjuang untuk kelompok Katolik? Toh siapa saja tidak akan bertahan jika senasib dengannya, didera siksaan tentara Inggris. Apalagi Gerry Adams lolos dari perburuan, menikmati anggur dan rasa aman di tempat persembunyian.

Brendan tahu-tahu muncul di lorong dengan bayangan memanjang di lantai. Mukanya tegang, napasnya megap-megap. “Bawa dia,” katanya, yang kemudian raib dalam gelap.

Merasa tak punya pilihan, Liam menodongkan pistol dan menggiring Edmund yang tampak lelah menyusuri lorong muram menuju pintu belakang Felons Club. Brendan telah menunggu dalam mobil. Mereka lalu membawa Edmund keluar dari Belfast.

Sepanjang perjalanan, kebisuan bagai meremas dada Liam. Ia duduk di samping Edmund, yang memandang keluar jendela dengan sorot mata kosong. Brendan membawa mobil menyusuri jalanan lengang South Armagh.

Mobil melaju di antara lembah berumput, dan lembah itu berakhir pada bukit-bukit kelabu, dan mereka menepi saat melihat lampu senter berkedip-kedip di sebuah bukit. Di tengah desir angin, mereka menggiring Edmund ke arah bukit.

Tiga orang menunggu di balik bukit, termasuk seorang pastor, dan mereka semua berdiri tak jauh dari dua batang sekop yang tertancap di tepi tanah galian. Lalu Brendan mendorong Edmund.

“Berlutut!” teriaknya.

Dengan kaki lemas, Edmund berlutut dan tak berkedip saat memandang tanah galian. Sementara Pastor melafalkan doa, Liam merasa ngeri dengan apa yang akan menimpa Edmund. Ia tak tahan. Ia lalu menjauh, melangkah terhuyung-huyung menuju mobil.

“Dor!”

Gema letusan senapan bagai benda tajam yang menghunjam punggungnya. Kawan seperjuangannya mati, dan ia berkontribusi atas kematian itu. 

“Itulah harga untuk seorang pengkhianat,” kata Brendan saat di mobil.

KAMIS lalu, baku tembak antara tentara Inggris dan IRA terjadi pada petang hari di jalanan becek Divis Flats. Di tengah rentetan senapan, para penghuni memadamkan lampu, menutup pintu dan jendela serta mengintip dari balik tirai. Gerimis saat itu merintik, membawa bau mesiu yang bercampur bau aspal basah.

Liam bersembunyi di flat kosong lantai dua, mengintip dari balik tirai lusuh dengan dada berdebar-debar. Tak ada siapa pun di jalan, selain bangkai anjing yang tergolek di genangan air. Rintih kesakitan terdengar samar dari lantai satu. Menduga bahwa rintihan itu berasal dari anggota IRA, Liam pun mengendap-endap menuruni tangga dengan pistol di tangan.

Seorang lelaki tua berlutut di trotoar. Ia memberi segelas air untuk tentara Inggris yang bersandar pada tiang lampu, yang menahan luka tembak dengan tangan gemetaran. Darah mengalir turun dari pinggang.

“Tolol.” Liam mengerutkan kening, mengintip dari balik dinding.

Liam mengenali lelaki tua itu, yang juga penghuni lantai satu Divis Flats. Saat malam Natal, lelaki tua itu berbagi kegembiraan dengan semua tetangga, termasuk kepadanya, dengan mangantarkan roti soda hangat yang dibungkus kertas cokelat. "Untukmu. Selamat Natal dan berkah Tuhan,” kata lelaki itu dengan suara lemah. 

Sejak Natal itu, Liam akhirnya tahu bahwa mereka di gereja yang sama, Gereja St. Patricks Haven. Setiap misa, lelaki tua itu duduk di bangku paling belakang, terpisah dari anggota jemaat lain, seolah-olah menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar doa. 

Setelah menoleh ke kanan-kiri, Liam bergegas menghampiri. “Kau ingin mati?”

“Lihatlah, dia kehausan.” Suara lelaki tua itu datar, bagai tak menyadari gentingnya situasi malam itu.  

Liam gelisah, memandang sekeliling. Di balik jendela, bayang-bayang orang bergerak pelan dalam kegelapan. Rintihan engsel terdengar dari orang yang menutup pintu. Tangga ke lantai dua berderap-derap.

“Berhenti,” bisik Liam. “Orang-orang melihatmu. Mereka akan bicara.”

Lelaki tua itu seperti tidak mendengarnya, terus mengulurkan gelas ke mulut sang tentara yang telah pucat dan terengah-engah dan berkedip lemah.

“Lepaskan. Pergi!” Liam mencengkeram tangan lelaki tua itu sehingga gelas jatuh dan air berhamburan. “Jangan buat ini lebih buruk!”

Dengan santai, lelaki tua itu bangkit sambil menghela napas, lalu pulang ke flat tanpa mengatakan apa pun. Liam menodongkan pistol, sementara tentara itu menatapnya dengan sorot mata seperti memohon. 

“Sa—Saya punya keluarga…”

Sungguh, Liam ingin membiarkannya pergi. Namun, tentara itu terluka. Seandainya menjauhkan tentara itu dari Divis Flats, Liam harus memapahnya. Itu tindakan gegabah karena orang-orang mengintai dari sudut-sudut gelap Divis Flats.

Liam memberikan sebatang rokok kepada tentara itu, menyulut api, dan membiarkannya menyesapnya sesaat. Dengan tangan gemetaran, ia lalu mengokang pistol.

“Sori. Aku tak punya pilihan,” katanya.

“Dor!”

Keesokan siangnya, Liam mendekat ke jendela dan terkejut saat melihat flat si lelaki tua. Di pintunya, satu kata tertulis dengan cat merah menyala: Spy.

“Ada yang salah?” Sean, yang tengah meneguk bir di sofa usang, membuatnya kaget. Sejak kematian Edmund, mereka hanya berdua di flat itu.

“Tidak.” Liam menutup tirai, lalu duduk di bangku dan menyesap teh yang telah dingin.

“Pintu itu…” Liam bicara pelan. “Ada tulisan di pintu.”

“Aku tahu… orang-orang sudah cerita.”

“Dia cuma orang tua tolol yang mau menolong. Itu saja.”

“Tapi mereka tak peduli, bukan. Siapa yang mau dengar alasan itu.”

Di Belfast, membantu tentara Inggris sama artinya berkhianat, dan tidak menaruh hormat kepada IRA yang berjuang dalam pembebasan Irlandia Utara, bahkan bisa dianggap mata-mata Inggris.  

Pintu depan diketuk. Liam beranjak dari bangku dan berjalan menuju pintu depan. Saat ia membuka pintu, seorang lelaki di hadapannya berkata, “Brendan menunggu.”

Sampai di Felons Club, mereka masuk lewat pintu belakang. Brendan merokok di ruangan. Mereka lalu membicarakan si lelaki tua. Pendapat Brendan membuatnya bagai dicucuki ribuan batang lidi sehingga ia tak kuat menahan diri.

“Dia Katolik!” seru Liam. 

“Semuanya Katolik, Liam!” Brendan menggebrak meja dan mencondongkan badan. “Semua yang kita bawa…” Kalimat Brendan terputus, ia mondar-mandir sambil mencengkeram kepala. “Tapi ini sudah jadi aturan kita!”

Liam mengepalkan tangan. Ia ingin mengatakan bahwa itu tidak adil, bahwa lelaki tua itu tak pantas diperlakukan semena-mena, dan bahwa bukan ini alasannya bergabung IRA. Namun semua kata seakan-akan macet di tenggorokannya.

“Aku tidak bisa. Silakan kalian menjemputnya,” tegasnya.

Saat Brendan dan orang-orang menjemput lelaki tua itu, Liam pergi ke meja bar untuk merokok dan meneguk wiski. Ia tak ingin melihat lelaki tua itu diinterogasi, menderita, dan ia khawatir jika lelaki tua itu menyapa dan bertanya apa yang akan menimpanya.

Jendela-jendela Felons Club memantulkan sinar dari neon biru. Bau alkohol menguar di antara percakapan orang. Kerumunan perempuan tertawa, seorang lansia sendirian di meja, dan bartender tampak bosan saat membersihkan gelas dengan kain.

Pintu di samping meja bar terbuka, Brendan melongok dan memanggil. “Jaga dia. Aku ambil mobil.”

Liam memasuki ruangan. Tidak ada siapa pun, kecuali lelaki tua yang duduk lesu dengan tangan terikat kawat. Ia mengamati lelaki tua yang gelisah dan gemetaran itu.

“Apa yang akan kalian lakukan kepadaku?” kata lelaki tua itu.

Liam tidak menjawab, tetapi ia teringat wajah Edmund saat memandangi lembah berumput dari jendela dengan sorot mata pilu. Liam lalu mondar-mandir dengan perasaan tegang, sementara ingatan tentang Edmund makin mengusiknya. Tanpa berpikir panjang, ia lalu melepas belenggu lelaki tua itu.

“Pergi. Pergi jauh. Jangan pernah kembali,” katanya.

Setelah lelaki tua itu kabur, Liam menyulut rokok dan berjalan pulang lewat pintu belakang. Liam tampak tenang, tetapi sejak itu waktu singkat yang ia lalui seakan-akan selalu malam.

SEAN menodongkan senapan, menggiring Liam yang putus asa menuju pintu belakang Felons Club. Setelah Liam memasuki mobil, Sean duduk di sampingnya sedangkan Brendan di belakang kemudi membawanya keluar dari Belfast.

Di luar jendela, gerimis merintik pelan, rerumputan di lembah meliuk-liuk tertiup angin. Liam tiba-tiba teringat Cavehill, tempat asalnya. Bayangan pepohonan lebat, rerumputan liar, dan sungai berair jernih terlintas di kepalanya. Ia lalu teringat sore hari saat orang tuanya duduk di teras dan menyantap roti soda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Baron Yudo Negoro

Baron Yudo Negoro

Seorang buruh di Semarang, Jawa Tengah. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba "Menulis Dongeng Batik Nusantara" yang diselenggarakan Museum Batik Indonesia serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Oktober 2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus