Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Film

Berita Tempo Plus

Kisah Sebuah Negeri yang Kelam

Jakarta International Film Festival memutar 65 buah film, antara lain dokumenter Jalan Raya Pos. Inilah rekaman derita rakyat negeri ini dari dua masa yang berbeda.

28 November 1999 | 00.00 WIB

Kisah Sebuah Negeri yang Kelam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

DE GROOTE POSTWEG (JALAN RAYA POS)
Skenario/Sutradara:Bernie Ijdis
Narasi:Pramoedya Ananta Toer
Produksi:Pieter van Huystee Film & TV, Nederland, 1996
Ambisi penguasa bisa berarti derita bagi rakyat. Herman Willem Daendels, yang berambisi membangun jalan yang membentang dari Anyer sampai Panarukan, telah memangsa ribuan nyawa rakyat Jawa saat itu. Mereka, yang dipaksa rodi, mati karena keletihan, kelaparan, atau terserang penyakit. Yang membangkang digantung di pepohonan di sepanjang ruas jalan itu. Penguasa lainnya, Soeharto, memiliki ambisi mempertahankan kekuasaannya. Selama 32 tahun, dia menghilangkan nyawa dan membungkam rakyatnya sendiri. Penderitaan rakyat lebih berat ketimbang ulah Daendels. Dua derita dari dua masa yang berbeda itu diangkat Bernie Ijdis dalam filmnya, Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg. Film ini dibuka dengan beberapa adegan kehidupan orang kecil di Jakarta. Seorang pendatang dari daerah, misalnya, harus merantau ke ibu Kota untuk sekadar mencari penghidupan yang layak, walau kemudian ia hanya menjadi sopir taksi. Sesaat kemudian muncul Pramoedya Ananta Toer, yang menuturkan perjalanan hidupnya yang penuh kepahitan. Tanpa bukti kesalahannya, ia dilempar ke Pulau Buru sebagai tahanan politik. Pada masa Orde Baru, kebebasan dan penghidupannya dirampas. Buku-bukunya dilarang terbit. Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 ini merupakan salah satu sosok yang tidak beruntung dengan perlakuan Orde Baru. Pram kemudian menjadi tokoh sentral dari film ini. Dia muncul di sepanjang film dengan kegiatan sehari-harinya, mulai dari bangun tidur, berolah tubuh, hingga saat senyum mengembang ketika bermain-main dengan cucu-cucunya. Pram juga mengungkapkan kepedihannya sebagai mantan pejuang, yang keluar-masuk penjara pada masa Belanda, tapi kemudian jadi tahanan politik. Film ini diangkat dari esai yang ditulis Pram pada 1992, tentang pembangunan jalan yang, menurut dia, menjadi penentu kehidupan dan peradaban Jawa. Dengan suara lantang, Pram membacakan narasi esainya untuk menuntun pada sebuah perjalanan menyusuri ribuan kilometer dari titik ujung barat ke timur Pulau Jawa. Di sepanjang jalan kenangan itu, lintasan kekejaman Daendels diulangi rezim Orde Baru. Sopir truk yang dipungli polisi, becak penuh muatan bebek, bus yang mogok hampir seminggu, dan para gembel yang hidup di sekitar sungai yang tercemar. Namun, di tengah ''jeritan" itu, Ijdis menyisipkan sebuah kenyataan lain dari segelintir masyarakat Indonesia. Muncul sosok pengusaha, anak seorang perwira tinggi, yang dalam usia muda mampu memiliki kekayaan sekitar US$ 2 juta. Inilah gambaran betapa korupsi begitu membubung dan ikut merobohkan ekonomi negeri ini. Dengan kenes ia menikmati makanan ala Barat sambil berujar, ''Ini hasil kerja keras saya." Menyaksikan film yang dibuat pada 1995, saat taring rezim Soeharto berada di puncaknya, seolah kembali membuka peti yang lama terkunci. Selain karena baru sekarang film ini bisa disaksikan publik, film ini sekaligus memanggil kembali memori tentang kisah kelam dari negeri di bawah Orde Baru yang hampir dikubur begitu saja. Film ini merupakan upaya merekonstruksi sejarah kekejaman Daendels dan rezim Soeharto. ''Film ini bisa menjadi salah satu referensi dalam suatu tinjauan esai dan itu diperlukan karena masyarakat bisa berkaca dengan berbagai cara," tutur Garin Nugroho. Dokumenter karya Ijdis ini adalah sebuah upaya yang mendekati kesempurnaan berkat ketekunan dan kerja keras. Selama empat tahun menggarap film ini, Bernie berhasil menampilkan detail-detail yang nyaris terlewat. Namun, durasi 155 menit memang terasa amat panjang dan melelahkan untuk tetap bertahan mengikuti rentetan adegan film ini. Film yang diongkosi sekitar US$ 340 ribu ini identik dengan sebuah ''buku" pelajaran yang penting. ''Saya ingin membantu penulis-penulis Indonesia bercerita mengenai sejarah negara ini," kata Ijdis. Hal lain yang tak kalah penting, mengutip penuturan Pram di akhir film, sudah saatnya menempatkan rakyat pada kedudukannya yang layak. Tidak lagi hanya menjadi tumbal dari perjalanan masa, yang sering dianggap tidak ada dalam sejarah. Irfan Budiman dan Dwi Arjanto

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus