Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANGATNYA diskusi di ruang publik perihal pentingnya karya sastra dihadirkan dalam pembelajaran di sekolah beberapa minggu terakhir ini bermula dari program Kemendikbudristek: Sastra Masuk Kurikulum. Program yang diluncurkan pada 20 Mei lalu bertepatan dengan perayaan Hari Buku Nasional itu setidaknya mengusik kesadaran saya sebagai seorang guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang banyak bergumul dengan karya sastra bersama siswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir sekitar 30 tahun saya mengajar di sekolah yang seluruh siswanya laki-laki, tak pernah absen menyediakan waktu khusus untuk mengajak siswa membaca, mengapresiasi, menganalisis, menginterpretasi, bahkan mengalihwahanakan berbagai genre sastra. Di tingkat dan program studi apa pun, ada saja karya sastra yang kami (para siswa dan saya) gumuli. Bahkan, ketika saya berkesempatan membantu mengajar di sebuah sekolah yang seluruh siswanya perempuan pun, karya sastra tak luput dari perbincangan dalam pembelajaran. Pendeknya, menghangatnya isu pembelajaran sastra di sekolah mendorong saya untuk berbagi pengalaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak bisa dimungkiri bahwa karya sastra efektif untuk mengasah empati, melenturkan jiwa, membangun logika, dan membantu berefleksi secara mendalam (deep reflection). Sudah banyak tulisan dan hasil penelitian yang dijurnalkan menyatakan hal ini. Horatius, seorang penyair Romawi kuno, dalam Ars Poetica, menyebutkan karya sastra memiliki fungsi dulce et utile (indah dan bermanfaat).
Bagaimana memanfaatkan karya sastra sebagai alat/sarana untuk “mendidik” siswa? Sejauh mana kurikulum yang diberlakukan (dari dulu hingga sekarang) secara jelas menyebutkan sejumlah karya sastra yang sebaiknya digunakan dalam pembelajaran? Apakah karya sastra yang disebut fiksi itu bisa digunakan sebagai sarana belajar untuk mata pelajaran lain? Itulah beberapa pertanyaan yang sering dialamatkan kepada saya dalam beberapa kesempatan.
Membangkitkan Minat Membaca
Pertanyaan yang selalu saya lontarkan kepada siswa saat pertama kali masuk kelas pada awal tahun ajaran adalah: sudah berapa banyak karya sastra yang mereka baca sampai selesai. Dan jawaban siswa hampir selalu bisa ditebak: “Tidak ada, belum pernah”. Ketika saya bertanya lebih lanjut mengapa mereka tidak membaca karya sastra, jawabannya nyaris seragam: “Tidak tertarik, malas, jarang ditugasi guru, tidak sempat, buang-buang waktu”.
Jika sudah begitu, saya akan mengajak siswa membaca sebuah cerpen ataupun sebuah puisi. Karena tujuannya untuk membangkitkan rasa tertarik, cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma (SGA)-lah yang pertama saya pilih atau puisi karya Rendra yang naratif, puisi-puisi karya Gus Mus (KH Mustofa Bisri), dan puisi-puisi karya Joko Pinurbo.
Guru bahasa dan sastra Indonesia SMA Kolese De Britto Yogyakarta, Agustinus Prih Adiartanto. Dok. Pribadi
Ketika jam mengajar sudah siang, saya akan coba membacakan secara ekspresif supaya mereka tertarik. Jika hari masih pagi, mereka saya ajak membaca secara bergiliran per paragraf atau per bait. Demikianlah perkenalan pertama dalam pembelajaran itu. Siswa bersemangat ketika saya membacakan cerpen Clara, atawa Wanita yang Diperkosa atau Sarman karya SGA.
Cerpen Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo) karya SGA mereka baca secara bergantian. Pun ketika puisi Nyanyian Angsa atau Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya Rendra, Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana? karya Gus Mus, ataupun Kamus Kecil karya Joko Pinurbo itu dibacakan: senyum tipis, celoteh kecil, komentar spontan, hingga pendapat dengan alasan lebih serius sering mengemuka pada akhir aktivitas itu.
Motivasinya sederhana: untuk membuat siswa senang, tertarik, dan mulai mendiskusikan, menginterpretasi, atau setidaknya mengkonfirmasi tafsiran mereka atas karya-karya tersebut. Pengetahuan yang mereka dapatkan dari referensi atau googling tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan pembuangan becak ke laut saat becak dilarang di Jakarta pun mengemuka menyertai argumentasi dalam diskusi kecil setelah mereka menyimak atau membaca karya-karya sastra itu.
Keberadaan Sastra dalam Kurikulum dan Pembelajaran di Sekolah
Sejauh saya alami dan pahami, sejak Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2013 (KTSP), hingga Kurikulum Merdeka (Kurikulum Nasional) tidak secara tegas menyebutkan daftar atau rekomendasi karya sastra yang digunakan dalam pembelajaran. Jika ada daftar karya sastra pun (sejauh saya ingat ada dalam Kurikulum 1984), tidak beredar luas—hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkannya.
Kurikulum 1994 hanya menyatakan bahwa selama belajar bahasa Indonesia di sekolah menengah atas, siswa sekurang-kurangnya harus membaca sekian karya sastra tanpa menyertakan judul-judul buku. Begitu juga ketika KBK dan KTSP yang mulai menawarkan pembelajaran berbasis teks pun tidak ada rekomendasi judul-judul teks atau karya sastra yang bisa digunakan.
Lepas dari pro-kontra program Sastra Masuk Kurikulum (sebagai bagian dari kebijakan Kurikulum Merdeka), sebagai guru bahasa Indonesia, saya seakan-akan mendapatkan peneguhan dan energi baru: saya bersyukur karena diberi tawaran berbagai genre karya sastra sampai pada judul dan pengarangnya. Lebih menarik lagi genre yang ditawarkan beragam: ada puisi, kumpulan cerpen, novel, biografi, naskah drama, skenario film, dan esai. Dengan demikian, makin bervariasilah karya sastra yang bisa saya gunakan sebagai sarana pembelajaran bersama siswa.
Saya sepakat dengan logika yang menyertai program ini: untuk makin meningkatkan kekritisan, mengasah empati, dan meningkatkan literasi. Tentu saja saya akan memilih karya-karya yang sudah saya baca dan sungguh sesuai dengan konteks siswa yang saya dampingi.
Upaya meningkatkan literasi siswa dan menumbuhkan kecintaan pada karya sastra pernah dilakukan Taufiq Ismail bersama tim majalah sastra Horison sekitar 2000-an. Atas keprihatinan Pak Taufiq terhadap minat membaca masyarakat Indonesia yang kemudian disebutnya sebagai bangsa yang “rabun membaca dan menulis” itu lantas ditawarkan solusi antara lain dengan program Sastrawan Berbicara Siswa Bertanya (SBSB). Kebetulan sekolah tempat saya mengajar berkesempatan menikmati program ini. Siswa bisa bertemu dan berdialog secara langsung dengan sastrawan. Lebih menarik lagi ketika dalam majalah Horison ada sisipan Kaki Langit yang memuat karya-karya siswa, seperti cerpen, puisi, dan esai berupa ulasan serta resensi karya sastra, yang kemudian dikomentari oleh sastrawan pengasuh rubrik. Sayangnya program ini tidak berumur panjang.
Sejauh pemahaman saya, belum ada upaya-upaya lain secara masif yang sungguh memotivasi gairah pembelajaran sastra di sekolah. Lomba-lomba sastra untuk siswa kebanyakan diselenggarakan secara insidental dalam rangka peringatan hari-hari tertentu. Bengkel sastra yang diprakarsai balai atau lembaga bahasa di provinsi menyediakan kuota terbatas dan tidak bisa diakses banyak siswa. Komunitas atau sanggar-sanggar sastra selalu tidak berumur panjang dan jumlahnya terbatas. Dengan demikian, program Sastra Masuk Kurikulum dalam benak saya ibarat oase di tengah kering dan terbatasnya program yang mendukung pembelajaran sastra di sekolah.
Dinamika Pembelajaran Sastra di Kelas
Program SBSB yang tidak berlangsung lama itu menginspirasi saya hingga menemukan cara bagaimana mengajak siswa menggauli sastra secara intens. Pada awal tahun ajaran, saya membuat daftar novel sesuai dengan jumlah siswa dalam satu kelas. Novel-novel itu saya pilih berdasarkan tema dan intensi pesan apa yang ingin saya olah bersama siswa dalam satu semester.
Dua tahun ini, saya bersama siswa kelas XI Bahasa dan XII IPS menggauli novel-novel yang berkisah tentang perempuan serta segala persoalannya. Pilihan ini didasari oleh konteks siswa yang saya ajar seluruhnya laki-laki. Dengan demikian, terdaftarlah novel, dari Siti Nurbaya dan Layar Terkembang sebagai awal kanon sastra Indonesia modern, Midah Simanis Bergigi Emas dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, hingga Bekisar Merah-nya Ahmad Tohari.
Lalu Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Hati yang Damai, hingga Keberangkatan karya Nh. Dini. Canting dan Roro Mendut karya Mangunwijaya, Wanita di Jantung Jakarta karya Korrie Layun Rapan, Putri Cina karya Sindhunata, Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy, dan beberapa novel lain yang berkisah tentang perempuan.
Setiap siswa wajib membaca satu novel hingga selesai dan berbeda antarsiswa dalam satu kelas. Begitulah dalam setiap kelas setidaknya ada 29-30 judul novel. Tugas diberikan pada Juli dengan beberapa pertanyaan pemantik seperti: apa persoalan yang dihadapi perempuan dalam novel tersebut? Bagaimana dia menyelesaikan persoalan? Sebagai laki-laki, apa tanggapanmu terhadap persoalan yang dihadapi oleh perempuan?
Selain itu, ada beberapa pertanyaan seputar bagaimana siswa yang semuanya laki-laki memahami perempuan dalam novel. Dalam pembelajaran berikutnya, 10 menit awal sebelum belajar kompetensi lain, digunakan untuk mengecek progres membaca anak per anak dan novel wajib selesai dibaca pada akhir Oktober.
Selama tiga bulan itulah, 10-15 menit pada tiap jam pembelajaran saya gunakan untuk memastikan siswa membaca lembar demi lembar serta memahami dan menemukan jawaban pertanyaan pemantik yang sejak awal diberikan. Hal ini bukan sesuatu yang mudah saya lakukan dalam dua tahun terakhir.
Kondisinya agak berbeda dengan kesungguhan siswa membaca novel dengan tema lain, seperti persoalan sosial dan budaya, sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Namun belakangan betapa susahnya mengajak siswa membaca 10-15 halaman sehari. Cukup banyak siswa membaca dengan melompati beberapa bagian atau halaman. Ada yang hanya membaca tulisan di sampul belakang buku dan seolah-olah sudah tahu isi novel. Ada yang menggunakan jalan pintas membaca resensi orang lain atau menggunakan program berbasis AI untuk menjawab pertanyaan pemantik.
Siswa menjadi tersadar bahwa cara pintas yang mereka lakukan tidak tepat ketika saya mengajukan pertanyaan siapa tokoh ini, siapa tokoh itu, bagaimana relasi tokoh ini dengan tokoh itu, dan apa yang terjadi pada peristiwa tertentu, yang notabene adalah detail-detail kisah novel yang mereka baca.
Siswa yang membaca melompat-lompat pastilah tidak akan bisa menjawab dengan tepat. Begitu pun siswa yang hanya mengandalkan resensi orang lain yang belum tentu juga membaca novelnya secara detail. Hal ini bisa saya lakukan karena sudah membaca semua novel yang dibaca siswa. Setidaknya pengalaman membaca novel sejak kuliah hingga sekian puluh tahun mengajar membuat saya masih bisa mengisahkan kembali novel yang pernah saya baca.
Pada waktu tertentu, saya juga memberikan soal yang harus mereka jawab secara tertulis tentang hal-hal sederhana dari detail novel tersebut. Pertanyaan untuk siswa yang membaca Kembang Jepun karya Remy Sylado, misalnya, “Jelaskan siapa dan bagaimana tokoh: Broto, Kotaro Takamura, Hiroshi Masakuni, Yoko, dan Jantje? Apa hubungan masing-masing tokoh itu dengan tokoh utama novel? Bagaimana relasi Keke dengan Yoko baik ketika di Indonesia maupun ketika di Jepang? Apa yang dialami Keke ketika ditawan di markas tentara Permesta dan bagaimana caranya membebaskan diri?
Sebagai guru, saya sangat sadar bahwa yang saya tanyakan bukan hal penting dan kualitas pertanyaan itu sangat jauh dari pertanyaan high order thinking skill (HOTs). Namun tujuan yang ingin saya capai adalah apakah siswa sungguh-sungguh bergaul, menikmati lembar demi lembar kisah novel yang mereka baca. Pengalaman membaca, merasakan, dan berhadapan langsung dengan tuturan pengarang itulah yang ingin saya berikan kepada para siswa.
Tagihan dari pengalaman membaca ini adalah menulis esai, atau analisis yang membahas persoalan perempuan yang mereka pahami dalam novel, sebagai ujian akhir semester. Tanpa harus motivasi panjang-lebar, tentulah tuntutan tagihan itu dikerjakan siswa dengan serius dan optimal. Tujuan saya dengan aktivitas ini sederhana: agar siswa laki-laki yang saya damping itu mampu merasakan, memahami, mengerti, dan akhirnya bisa menghargai perempuan meski sarananya adalah novel (karya sastra).
Pembelajaran sastra ini juga tidak menghabiskan seluruh jam mengajar dalam satu semester. Sebab, saya masih memiliki tanggung jawab menyelesaikan kompetensi atau tujuan pembelajaran lain sesuai dengan rencana pembelajaran. Adapun ketika membaca esai atau analisis siswa saat mengoreksi dan memberikan penilaian ujian akhir semester, saya sering tercenung dengan ide, interpretasi siswa laki-laki berusia 15-17 tahun itu.
Tidak pernah saya membayangkan siswa bisa sampai pada kesimpulan bahwa kecantikan itu adalah privilese dan ancaman, setelah siswa selesai membaca novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Atau kesimpulan siswa lain yang menyatakan bahwa prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi itu menggambarkan bagaimana perempuan Jawa memahami kesejatiannya sebagai manusia. Atau seorang siswa yang berefleksi tentang kisah hidupnya sendiri dari novel yang dibaca dan sampai pada pemahaman bahwa persoalan yang dihadapi Hayuri dalam novel Hayuri karya Maria Etty itu terjadi karena absennya sosok ayah.
Sejauh Mana Karya Sastra Bisa Dimanfaatkan untuk Pembelajaran Lain
“Sastra adalah adalah tiruan kenyataan”, begitulah kira-kira pernyataan Plato, seorang filsuf Yunani, dalam teori mimesisnya. Pernyataan yang kemudian dilengkapi Aristoteles dengan pernyataan bahwa tiruan itu bukan semata-mata tangkapan indrawi, melainkan juga cerminan gagasan. Dengan demikian, membaca karya sastra juga bisa dimaknai sebagai upaya memahami realitas yang dideskripsikan atau dinarasikan oleh sastrawan. Menggauli karya sastra adalah aktivitas mencerna dan mencecap realitas yang ditafsirkan serta diimajinasikan seorang penulis.
Buah permenungan atas realitas yang diungkapkan penulis melalui bahasa yang sungguh diperas-peras, dirasa-rasa, dipilih, dan ditata dengan mempertimbangkan nalar serta logika itu tentulah efektif digunakan sebagai medium mempelajari bidang atau disiplin ilmu lain.
Setelah membaca kumpulan cerpen Saksi Mata karya SGA, kita seperti diajak kembali melihat peristiwa-peristiwa kemanusiaan di Timor Timur. Hal itu akan membantu pembaca menyimak kembali penggalan sejarah perjalanan bangsa ini. Setelah menyimak novel Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih, kita juga diajak memahami bagaimana budaya Asmat, adat, dan aturan-aturan sosialnya. Hal ini tentu juga akan makin memperkaya pemahaman siswa ketika belajar sosiologi atau antropologi.
Sungguh menarik menyaksikan bagaimana anak-anak di SDN Banyuripan, Bantul, bersama gurunya membaca novel Mata dan Rahasia Pulau Gapi karya Okky Madasari sekaligus bisa belajar tentang Garis Wallace dan Weber untuk memahami keanekaragaman fauna Indonesia.
Ini sekadar contoh yang bisa membuktikan bahwa karya sastra sangat mungkin dipadukan untuk belajar hal-hal lain di luar bahasa dan sastra itu sendiri. Pembelajaran tematik di sekolah dasar sangat mungkin memanfaatkan karya sastra sebagai pengikat tema sekaligus daya tarik untuk memotivasi siswa belajar mata pelajaran lain. Sebab, karya sastra bukan hanya karya fiksi semata, tapi juga sebagai tiruan kenyataan, potret sosial yang ditafsirkan melalui bahasa bernas.
Semua itu tentu ada syarat yang perlu dikuasai guru. Pertama, tentu guru harus membaca karya sastra tersebut. Kedua, guru perlu memiliki keluasan dan kemendalaman literasi. Dengan demikian, guru tak membaca karya sastra hanya sepotong-sepotong, melainkan harus utuh dan tuntas sehingga tidak salah menangkap maksud dan pesan karya tersebut. Ketiga, kreativitas tentulah menjadi syarat penting pula.
Merayakan Kelegaan-kelegaan Kecil
Lega rasanya ketika tiba-tiba mampir e-mail dari seorang mantan murid yang menyapa dengan pertanyaan apakah saya masih sering membacakan cerpen atau puisi dalam pembelajaran? Rasa lega juga tebersit ketika berjumpa dengan alumnus yang kini sudah menjadi dokter atau direktur sebuah perusahaan dan menanyakan judul karya sastra yang hanya dia ingat kisahnya.
Sungguh, itulah kebahagiaan luar biasa seorang guru manakala sesuatu yang pernah diajarkan masih diingat siswa-siswanya. Sapaan-sapaan itulah yang pantas saya syukuri sebagai upaya merayakan kelegaan-kelegaan kecil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo