Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Wawancara Satine Zaneta: Jatuh Hati pada Film Horor Aksi

Satine Zaneta debut genre horor aksi lewat film Penjagal Iblis: Dosa Turunan, buka perspektif baru pahlawan perempuan dalam lanskap sinema horor lokal

7 April 2025 | 12.20 WIB

Satine Zaneta membintangi film Penjagal Iblis: Dosa Turunan. Foto: Arman Poplicist
Perbesar
Satine Zaneta membintangi film Penjagal Iblis: Dosa Turunan. Foto: Arman Poplicist

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aktris muda Satine Zaneta menandai debutnya di genre horor lewat Penjagal Iblis: Dosa Turunan, film terbaru karya sutradara Tommy Dewo yang akan tayang di bioskop pada Rabu, 30 April 2025. Selain Satine, film ini juga dibintangi oleh Marthino Lio, Niken Anjani, hingga Kiki Narendra. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dalam wawancara daring bersama Tempo, Jumat, 21 Maret 2025, aktris kelahiran 2002 ini menyebut bahwa genre penuh adegan fisik dan teka-teki itu memberinya tantangan baru yang menyenangkan—juga memuaskan sisi perfeksionis dalam dirinya. Tak sekadar menjajal atmosfer supranatural, film ini mempertemukan Satine dengan dunia aksi yang intens, dan justru membuatnya ingin kembali menyelami genre serupa di masa mendatang. 

Berperan sebagai Ningrum, gadis 19 tahun yang ditahan di rumah sakit jiwa karena dituduh delusional usai membantai satu keluarga saat ritual rukiah, Satine tampil sebagai sosok yang tidak biasa dalam lanskap horor lokal. Satine merasa karakter Ningrum menjadi penanda pergeseran representasi perempuan dalam film horor Indonesia. Jika biasanya perempuan digambarkan sebagai korban atau objek mistis pasca kematian, Ningrum tampil sebagai penyelamat. 

Satine juga menceritakan proses casting yang lebih banyak berupa diskusi, latihan fisik yang intens demi adegan aksi, serta dinamika kerja sama dengan lawan mainnya yang sebagian besar adalah senior di industri film. Ia juga bercerita mengenai peran sang ayah, aktor kenamaan Abimana Aryasatya, yang memberinya ruang diskusi serta kesempatan untuk bereksplorasi sebagai seorang aktris muda.

Film Penjagal Iblis: Dosa Turunan memadukan horor dengan elemen aksi dan investigasi. Ceritanya mengikuti Daru (Marthino Lio), seorang wartawan yang menyelidiki kasus pembunuhan berantai terhadap para pemuka agama. Di tengah pencarian, ia bertemu Ningrum, satu-satunya tersangka dalam pembantaian misterius, yang mengaku sebagai pemburu iblis dan menuding seorang perempuan bernama Pakunjara (Niken Anjani) sebagai pemuja setan yang ingin membangkitkan pemimpin sekte sesat.

Poster film Penjagal Iblis: Dosa Turunan. Dok. Screenplay Films

Debut di film horor, apa yang membuat Satine tertarik mencoba genre ini?

Ini masih film ketiga saya. Jadi, lebih ke ingin belajar sebanyak-banyaknya saja. Ini sangat menyenangkan karena ini bukan horor yang cuma menakuti, seram, atau gimana. Tapi ini adalah horor yang ada aksi-nya. Ketika seorang penyelamatnya adalah perempuan. Terus bukan hanya aksi, tapi ada misterinya. Layer-nya banyak. Jadi saya rasa ini bisa menjadi pelajaran juga bagi saya, sebagai aktor.

Untuk pertama kalinya memerankan tokoh utama, apakah Satine merasa terbebani?

Anak sekecil ini diberi tanggung jawab yang lumayan besar. Saya bilang anak sekecil ini secara pengalaman masih kecil, ya. Karena baru film ketiga gitu loh. Tapi lingkungannya, saya dikelilingi dengan orang-orang yang sangat suportif. Kan Niken, Kak Lio, Mas Kiki—yang kita tahu filmnya banyak banget. Kita selalu melihat mereka di mana-mana. 

Mereka tidak pernah sekalipun meragukan saya. Jadi itu yang membuat saya merasa, “Oke, ini adalah kewajiban. Ini adalah tanggung jawab saya.” Mungkin karena bahkan orang-orang di sekitar yang pengalaman jauh lebih banyak saja bisa memberikan kepercayaan. Jadi saya tidak akan membiarkan mereka kecewa.

Masih ingat bagaimana proses casting-nya berlangsung?

Waktu itu seingat saya lebih ke ngobrol sih, sama dikasih sinopsisnya. Habis itu, seingat saya waktu itu belum pernah ngobrol sama Pak Tommy segitunya. Ya kayak casting pada umumnya sih, sebenarnya.

Latihan apa saja yang dilakukan untuk mempersiapkan peran Ningrum?

Karena koreonya itu adalah gabungan dari banyak (adegan aksi). Ada banyak street fight-nya juga. Enggak ada yang sampai peraturan bela dirinya seperti apa. Sudah gitu megang senjata. Latihan fisik waktu itu saya nge-gym, dan memang karena bakal panjang banget proses syutingnya, jadi harus disiapkan juga fisiknya. Jadi saya lebih fokus ke situ—jaga makan, habis itu latihan koreo sih, sama kakak-kakak dari stunt team-nya.

Film horor Indonesia sering mengangkat tema iblis atau ilmu hitam. Apa yang membuat Penjagal Iblis: Dosa Turunan terasa berbeda?

Ini bukan film horor yang takut-takutan doang, seram-seraman. Ini ada sosok terpilih yang menjalani sebuah misi—yang sebenarnya nanti akan kita lihat di film, apa sih tujuan dia sebenarnya. Jadi bukan sekadar horor hantu, bisa dibilang dia tuh penyelamat. Yang bedanya juga adalah, tokoh perempuannya itu bukan menjadi korban, atau terzolimi, tapi dia adalah sosok penyelamat bagi banyak orang. Dia tangguh, dia kuat, walaupun dia punya misteri, apa pun misteri itu bisa kita lihat nanti—tapi dia adalah suatu tokoh penyelamat orang.

Sering kali karakter perempuan di film horor lokal digambarkan sebagai korban atau menjadi kuat hanya setelah mati dan menjadi entitas lain seperti hantu. Apakah karakter Ningrum yang Satine perankan bisa dibilang membongkar stereotip itu?

Ini sesuatu yang segar. Saya juga setuju, tokoh perempuannya tidak menjadi korban. Jadi, waktu membaca skripnya, ini sangat menarik, dan bisa jadi membuka ide-ide juga ke depannya bahwa film horor itu kayaknya enggak selalu harus melulu tentang seram-seram, atau kayak hantu-hantu ditakut-takuti saja. Bisa digabungkan dengan unsur-unsur lain, contohnya seperti ini ada seorang penyelamat, perempuan lagi. 

Terus serunya juga adalah karena sebenarnya Ningrum ini adalah anak remaja ya, dia masih muda. Jadi, di sisi lain, ini terlepas dari film tentang horor atau apa pun itu, perempuan muda, terus semangatnya segitunya, dan dia yakin pasti bahwa dia bisa menyelamatkan banyak orang. Itu sesuatu yang membangun semangat juga sih, baca skripnya. Ternyata dia bisa melakukan hal semulia dan seluar biasa itu.

Bagaimana chemistry Satine dengan Marthino Lio yang berperan sebagai Daru, seorang wartawan yang juga menyelidiki misteri dalam film ini?

Sebenarnya kalau secara peran Ningrum dan Daru, mereka enggak terlalu gimana-gimana. Cuma karena Ningrum ini tidak banyak bicara, jadi kayak enggak ada chemistry yang harus gimana-gimana. Tapi sebagai aktor, Kak Lio benar-benar membantu saya. Karena beliau sudah banyak banget filmnya, sudah pernah menang penghargaan juga, pernah beradu peran juga sama Ayah (Abimana Aryasatya). 

Jadi awalnya banyak tekanan. Tapi ternyata dia juga enggak memberi batasan kayak, “Ya gue duluan, gue senior”—itu enggak sama sekali ada. Ada satu adegan yang bisa dilihat di trailer juga—kami berhadapan dan ngobrol. Itu salah satu yang paling membuat saya tertekan. Tapi hari itu dia benar-benar memberi ruang untuk saya, dan enggak yang mengintimidasi. Super fun working with him.

Apakah pengalaman di film ini membuka perspektif baru soal akting, terutama di genre horor?

Saya masih mau belajar banyak, tapi lebih ke sisi aksi sih. Karena sebagai orang yang sangat perfeksionis, di situ saya merasa sangat ditantang. Kamu harus tahu batasanmu, di waktu yang sama kamu juga harus tahu kemampuanmu, juga percaya sama diri sendiri. Jadi, aksinya sih yang menantang. Ke depannya saya benar-benar ingin main di film aksi lagi—apalagi kalau horor aksi lagi, kenapa tidak?

Dalam trailer, terlihat Satine banyak melakukan adegan aksi. Se-intens apa adegan pertarungan di film ini?

Sebenarnya intens karena banyak yang Ningrum lakukan. Dia tidak banyak bicara, tapi banyak aksinya. Bagian paling seru adalah—jujur, buat saya belajar koreografi bertarung sepanjang itu sangat menantang. Saya jadi lebih bisa menghafalnya juga, karena jujur susah. Bukan masalah gerakannya doang, tapi soal keselamatan orang lain juga. Itu kan seperti menari ya, karena ini bukan adegan bertarung beneran yang baku hantam, tapi banyak yang harus diperhitungkan juga. Apalagi dengan lawan-lawannya. Pertama kali juga megang senjata yang itu lumayan besar dan berat. Jadi belajar untuk tahu batasan juga sih—mana yang aman, mana yang enggak.

Lebih susah menghafal koreografi atau dialog?

Naskah ya, (sebagai Ningrum) saya jarang ngomong. Di film ini, sekali ngomong langsung—sikat. Jadi jujur, menghafal koreografi lebih susah. Tapi kalau misalnya saya dikasih naskah, kayaknya saya bakal bilang menghafal naskah lebih susah. Karena saya tuh pelupa. Dan Pak Tommy itu di film ini enggak mau saya ngomongnya seperti ini—karena suara ini suara asli kan. Kalau saya ngomongnya seperti ini, dengan orang yang tampilannya se-badass itu (Ningrum), tidak bisa dipercaya dong. Kok suaranya gini? Jadi Pak Tommy maunya ambil rendahnya (suara). Dan itu menurut saya tantangan juga, karena saya jadi tidak bisa bicara terlalu keras. Kalau bicara terlalu keras, suara saya balik ke yang ini.

Ada satu adegan favorit yang bisa Satine bocorkan sedikit?

Cuma sedikit di trailer. Kalau lihat Ningrum melakukan gerakan di udara, nah itu. Sangat seru dan juga membuat frustasi sebagai orang yang sangat perfeksionis. Itu tantangan yang lain cerita. Karena, ya tahu lah ya orang perfeksionis gimana. Saya maunya ulang. Saya ulang-ulang (adegan tersebut).

Satine melakukan semua adegan laga sendiri? Atau ada bantuan stunt?

Saya bisa bilang, hampir semuanya. Kalau semua koreonya betul, saya yang melakukan. Tapi kalau misalnya membutuhkan skill set yang lebih—seperti jatuhan tinggi atau yang terlalu kompleks—itu ada penggantinya.

Kira-kira berapa persen dilakukan sendiri?

90 ya. Karena kebanyakan koreo sih. Soalnya dia enggak ada yang terlalu ekstrem gimana-gimana. Ada, cuma beberapa doang, dan itu digantikan. Ya, paling yang berkaitan sama keselamatan, kami ganti jadi stunt gitu. Misalnya dia harus kelempar ke tembok atau apa.

Waktu pertama kali mengetahui proyek ini, Satine sempat minta saran ke Ayah (Abimana Aryasatya)?

Saya ngobrol. Saya selalu ngobrol. Apa pun proyek yang akan saya terima, saya pasti ngobrol sama dia. Apalagi secara teknis—kalau aksi, dia jauh lebih berpengalaman. Dan dia selalu mengingatkan saya, yang penting adalah keselamatan. Dia selalu ngomong berulang kali. Karena percuma kalau yang saya lakukan bagus, tapi mencelakai orang lain. Saya juga ngobrol sama ibu saya, karena dia adalah manajer saya.

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus