Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

1 Kakak 7 Ponakan: Dilema Generasi Sandwich

1 Kakak 7 Ponakan film kedua Yandy Laurens mengangkat karya Arswendo Atmowiloto setelah Keluarga Cemara.

1 Februari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
foto: Film 1 Kakak 7 Ponakan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ketika karya klasik 1 Kakak 7 Ponakan karya Arswendo Atmowiiloto diadaptasi menjadi film.

  • Pendekatan Yandy Laurens dalam mengemas cerita keluarga setelah Keluarga Cemara.

  • Visualisasi kesedihan dan kasih sayang dalam film yang manusiawi ini.

"JANGAN risaukan awan hitam, petir, atau banjir. Masih ada pepohonan yang ditanam sebelum kamu lahir. Jangan cemaskan masa depan, kini, atau nanti. Masih ada kesempatan yang ketemu bila kau cari."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua bait awal lagu berjudul Jangan Risaukan itu kembali terdengar setelah 29 tahun berlalu. Ya, bagi Anda generasi 1980-1990-an, tentu akan gampang mengingat lagu yang dinyanyikan secara keroyokan oleh Novia Kolopaking, Sandi Nayoan, dan kawan-kawan itu.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagu tersebut menjadi pembuka sinetron berjudul 1 Kakak 7 Ponakan yang tayang di salah satu stasiun televisi pada 1996. Sinetron karya mendiang Arswendo Atmowiloto itu bercerita tentang seorang kakak yang harus menanggung kehidupan tujuh keponakannya. 

Lewat sutradara Yandy Laurens, 1 Kakak 7 Ponakan muncul lagi dalam sebuah film yang tayang di bioskop sejak 23 Januari 2025. Yandy mengemas sinetron yang terdiri atas lebih dari 60 episode itu ke dalam film berdurasi 131 menit. 

1 Kakak 7 Ponakan versi Yandy ini bercerita tentang seorang pria bernama Moko (diperankan Chicco Kurniawan) yang kehidupannya berubah 180 derajat setelah kedua kakaknya, Agnes (diperankan Maudy Koesnaedi) dan Atmo (Kiki Narendra), meninggal pada waktu yang hampir bersamaan. 

Moko harus mengasuh keempat keponakannya, yakni Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), Ano (Ahmad Nadif), dan Ima yang masih bayi. Beban Moko makin berat ketika muncul Ais, anak perempuan mantan guru les piano yang menitipkan Ais kepada Moko. 

Adegan dalam film 1 Kakak 7 Ponakan. Dok. Film 1 Kakak 7 Ponakan

Bak istilah sudah jatuh tertimpa tangga, muncul lagi kakak Moko, yakni Ocha (diperankan Niken Anjani), bersama suaminya Eka (diperankan Ringgo Agus Rahman), yang datang menumpang hidup. Jika dihitung, pas sudah tujuh orang yang harus ditanggung Moko. 

Mimpi besar Moko merintis karier sebagai arsitek hingga membangun kantor biro jasa arsitektur bersama pacarnya, Maurin (diperankan Amanda Rawles), ambyar. Jangankan merajut mimpi, sekadar mengurus badannya sendiri saja Moko sudah tak punya waktu. 

Pujian layak diberikan kepada Yandy yang mengeksekusi cerita lawas 1 Kakak 7 Ponakan dengan sempurna. Sutradara 35 tahun itu berhasil menyajikan kisah yang baru dan lepas dari bayang-bayang besar sinetron mendiang Arswendo Atmowiloto

Yandy menebalkan tema sandwich generation atau generasi sandwich dalam filmnya kali ini. Ya, Moko menjadi contoh sempurna seorang generasi sandwich. Ia seperti terjebak keadaan untuk mengurus dua generasi yang mengimpitnya. 

Generasi sandwich dapat diartikan sebagai kelompok orang dewasa muda hingga paruh baya yang menghadapi tanggung jawab ganda, yakni mengasuh atau membiayai anak, adik, hingga keponakan sekaligus merawat dan membiayai orang tua mereka. Mereka diibaratkan isi sandwich yang digencet dua roti yang sejatinya merupakan tanggung jawab keluarga. 

Masalah generasi sandwich nyatanya sudah ada sejak beberapa dekade lalu dan kebetulan makin kental terasa akhir-akhir ini. Keberadaan media sosial menjadi pemicu isu generasi sandwich ramai belakangan ini. Ya, para pelaku generasi sandwich ramai berkeluh kesah di media sosial. Media sosial juga menjadi tempat mereka saling menguatkan dan memberikan solusi. 

Adegan dalam film 1 Kakak 7 Ponakan. Dok. Film 1 Kakak 7 Ponakan

Yandy mengakui fenomena generasi sandwich saat ini malah relevan dengan semangat dan ide cerita 1 Kakak 7 Ponakan milik Arswendo Atmowiloto. Bukan kebetulan, Yandy malah memuji penulis yang wafat pada 19 Juli 2019 itu sebagai seorang yang visioner. Betapa tidak, hampir 30 tahun lalu mendiang Arswendo sudah berpikir tentang masalah pelik generasi sandwich.  

Relevansi menjadi hal yang sangat dijaga Yandy dalam membuat ulang film 1 Kakak 7 Ponakan. Ia sadar, menghidupkan kembali cerita klasik tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak konteks yang harus diperhatikan agar cerita klasik itu terasa masuk akal diterapkan dalam kehidupan sekarang.

"Perubahan harus dilakukan agar rasa dan pesan yang diwariskan Arswendo bisa tetap tersampaikan dengan baik ke penonton sekarang," ucap Yandy. 

Bagi Yandy, ini bukan pertama kalinya ia mengadaptasi cerita karya Arswendo. Pada 2018, ia membuat film Keluarga Cemara yang juga berangkat dari sinetron bikinan mantan wartawan Hai dan Kompas itu. 

Hasilnya pun memuaskan. Film Keluarga Cemara, yang dibintangi Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Adhisty Zara, dan Widuri Putri, meraih 1,7 juta penonton. 

Saat itu Yandy masih punya kesempatan berdiskusi dengan sang pemilik cerita. Saat proses pembuatan film Keluarga Cemara, Yandy melibatkan Arswendo dalam penggarapan cerita yang lebih segar. 

Namun, Yandy bercerita, Arswendo memberikan kebebasan kepada dia untuk mengembangkan cerita Keluarga Cemara. Alih-alih mengintervensi tulang punggung cerita, Arswendo memberikan jawaban dengan filosofi yang dalam. 

Kata Yandy, Arswendo mengumpamakan cerita Keluarga Cemara seperti anak yang ia lahirkan dan besarkan. Adapun saat karyanya itu hendak dibuat menjadi film pada 2018, Arswendo menganggap cerita Keluarga Cemara layaknya pribadi dewasa yang siap untuk menikah. 

"Tapi kehidupan rumah tangganya seperti apa, saya enggak ikut lagi," kata Yandy menirukan perkataan Arswendo pada November 2018. 

Adegan dalam film 1 Kakak 7 Ponakan. Dok. Film 1 Kakak 7 Ponakan

Setelah Arswendo berpulang pada 2019, Yandy tak bisa lagi berdiskusi tentang cerita adaptasi 1 Kakak 7 Ponakan. Namun ia tetap berusaha menyelami isi hati sang kreator seperti apa kira-kira isi hati Arswendo saat membuat cerita tersebut. "Itu yang coba saya tangkap, lalu adopsi dari isi hati saya juga," tutur sutradara kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, itu. 

Kehati-hatian memang menjadi perhatian Yandy kala mengadaptasi sebuah karya, seperti Keluarga Cemara dan 1 Kakak 7 Ponakan. Sebab, menurut dia, cara kerja mengadaptasi sebuah cerita bukan sekadar membaca cerita lalu memindahkannya ke media yang berbeda. Tugas adaptasi karya adalah menangkap isi hati sang pembuat cerita untuk ikut dipindahkan dalam media baru. 

"Saya paling takut kalau adaptasi mengubah sesuatu, lalu perubahan itu mengkhianati tujuan hati pencerita pertamanya," ujar Yandy. 

Hebatnya, Yandy bisa menceritakan 1 Kakak 7 Ponakan dengan kadar yang sesuai. Ia mampu menyuguhkan kisah sedih keluarga Moko setelah meninggalnya Agnes dan Atmo—yang menjadi awal mula masalah—dengan sederhana. Tak ada adegan kesedihan yang diumbar pada paruh pertama film. Yandy menggambarkan kedukaan mendalam hanya lewat visual rumah keluarga Moko. 

Ya, komposisi visual menjadi senjata utama Yandy dalam menyuguhkan cerita ini. Palet warna yang hangat dan sedikit redup menambah haru cerita. Warna-warna itu seperti hangatnya pelukan sore menjelang malam. Tak lupa, visualisasi nan detail seperti sepatu dengan lem yang terkelupas hingga baju lusuh dan sobek-sobek yang dipakai sehari-hari oleh Moko dan karakter lain membuat cerita ini begitu dekat dengan realitas penonton. 

Bagi Anda yang merindukan kisah keluarga yang hangat dan rasa cinta yang memeluk erat, 1 Kakak 7 Ponakan bisa menjadi pilihan tontonan Anda pada akhir pekan ini. Film ini tersedia di jaringan bioskop Cinema XXI, CGV Cinemas, dan Cinepolis Cinemas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus