Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lewat Sragen Prehistoric Festival, para pelajar SMP dan SMA dikenalkan dengan arkeologi secara langsung di lapangan.
Metode belajar interaktif ini diyakini membuat murid lebih mudah memahami materi pelajaran.
Selalu ada kemungkinan penemuan benda prasejarah di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo di Sangiran.
KELVIN mengamati dengan cermat beberapa jenis batu di hadapannya. Dia mendapatkan hamparan cadas itu dari museum alam alias Museum Lapangan Brayat Krajan Sangiran, Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Kawasan itu merupakan bagian dari Situs Sangiran, situs arkeologi yang, menurut UNESCO, salah satu yang terpenting dalam mempelajari fosil manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelvin kemudian memilih dua batu. Satu berjenis rijang. Sedangkan lainnya berjenis andesit. Dia menggunakan andesit untuk memangkas batu rijang, dengan cara dipukul-pukulkan atau dibentur-benturkan pada rijang hingga menghasilkan serpihan yang tajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tanon, Sragen, itu melanjutkan aktivitasnya dengan memilih-milih beberapa serpihan batu yang tajam. Bagian itulah yang kemudian dibuatnya menjadi alat pemotong layaknya alat potong daging yang digunakan oleh manusia purba, yang diperkirakan pernah hidup di kawasan itu jutaan tahun silam.
Kelvin tidak sendirian. Bersamanya, ada sekelompok teman satu sekolahnya, puluhan pelajar, dan guru-guru pendamping dari SMP dan SMA lainnya. Mereka adalah peserta program Sragen Prehistoric Festival 2024 atau Festival Prasejarah Sragen 2024 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen.
Selama dua hari, yaitu Rabu-Kamis, 12-13 Juni lalu, para pelajar itu mengikuti serangkaian kegiatan di dua kawasan, yakni di Museum Klaster Bukuran, Kecamatan Kalijambe, serta Museum Lapangan Brayat Krajan Sangiran di kota berjulukan Bumi Sukowati tersebut. Melalui program itu, mereka diajak belajar ilmu arkeologi, prasejarah, sekaligus edukasi tentang museum purbakala dengan cara tak biasa. Tak sekadar mendengarkan cuap-cuap teori dari guru ataupun instruktur, tapi juga langsung mempraktikkan apa yang mereka dapat.
Pelajar melempar bambu ke arah replika gajah jerami saat mengikuti praktik berburu pada acara Sragen Prehistoric Festival Archeofun for Youth di Klaster Bukuran, Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah, 12 Juni 2024. ANTARA/Mohammad Ayudha
Praktikumnya aneka rupa. Dari membuat alat pemotong seperti di atas sampai menyalakan api tanpa korek. Ada juga simulasi berburu ala manusia purba yang bikin suasana bertambah seru.
Para pelajar SMP dan SMA itu diajak bermain peran layaknya arkeolog yang menyelidiki jejak prasejarah. Mereka mempelajari sekaligus mempraktikkan metode ekskavasi benda cagar budaya. Misalnya, saat menemukan fosil atau temuan arkeologis lainnya, mereka harus melakukan tahapan wajib, dari survei, pendokumentasian, hingga ekskavasi.
Di Museum Klaster Bukuran, siswa-siswi diajak berkeliling untuk mengenal lebih dekat berbagai jenis hewan purba dan kehidupan masa itu. Dengan materi Youth Archeologist, mereka diperkenalkan dengan anatomi hewan-hewan purba. Komunitas Brayat Krajan Desa Manyarejo juga ambil bagian dengan sajian cerita tutur legenda Balung Buto dalam bahasa Jawa dan seni pertunjukan.
Ada juga sesi Cultural Heritage Conservation, yakni mempelajari metode konservasi untuk merawat benda cagar budaya. Berikutnya, dalam Cultural Heritage Casting, peserta diajak berpraktik membuat tiruan benda cagar budaya dari cetakan fiber untuk suvenir.
Peserta kegiatan Sragen Prehistoric Festival 2024 mendengarkan penjelasan tentang anatomi hewan purba di Museum Klaster Bukuran, Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Rangkaian kegiatan Sragen Prehistoric Festival itu berlangsung Rabu-Kamis, 12-13 Juni 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Para peserta mengakhiri rangkaian kegiatan dua hari penuh itu dengan penuh senyum dan tawa. "Saya bisa lebih mudah memahami tentang seluk-beluk manusia purba. Bagaimana kehidupan mereka, cara mereka bertahan hidup, bahkan mendapat pengalaman baru membuat alat-alat atau perkakas yang mereka gunakan," kata Kelvin saat ditemui Tempo seusai kegiatan di Museum Klaster Bukuran pada Kamis, 14 Juni lalu.
Luhur Budi Sayekti, guru pendamping dari SMP Negeri 1 Tanon, mengatakan Festival Prasejarah Sragen itu tak hanya memberi pengalaman dan ilmu pada siswa, tapi juga bagi guru. Dia mengatakan festival tersebut memberi gambaran menyeluruh soal arkeologi. Dari cara menangani fosil, mempelajari kehidupan masa lampau, sampai cara mengelola museum. "Anak-anak sangat antusias. Terlebih karena mereka cenderung lebih suka dengan kegiatan lapangan," ujarnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen, Johny Aryawan, mengatakan bahwa Sragen Prehistoric Festival merupakan kegiatan tahunan yang kali ini merupakan hajatan yang kedua. Dia mengklaim event pertama pada tahun lalu direspons positif oleh guru, pelajar, dan media massa. "Mereka menilai Sragen Prehistoric Festival mampu menyajikan materi arkeologi, prasejarah, serta edukasi museum dengan cara menyenangkan sehingga siswa dan guru lebih mudah menyerap ilmu pengetahuan yang disampaikan," katanya di lokasi.
Johny mengatakan kegiatan ini mengadopsi metode belajar interaktif yang diterapkan di banyak negara, termasuk Prancis, Ukraina, Cina, dan Korea Selatan. "Kabupaten Sragen adalah pionir yang mengawali pola pembelajaran ini di Indonesia," ujarnya.
Peserta Sragen Prehistoric Festival 2024 di Museum Lapangan Brayat Krajan Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 12 Juni 2024. Dokumentasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen
Dengan tema Archaeo Fun for Youth, Festival Prasejarah Sragen 2024 sekaligus untuk menyambut Hari Purbakala Nasional yang diperingati setiap 14 Juni. Ketua Tim Cagar Budaya-Permuseuman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen, Andjarwati Sri Sajekti, mengatakan festival ini diikuti 90 pelajar dan guru dari 20 sekolah—15 SMP dan 5 SMA—di Kabupaten Sragen. Jumlah itu meningkat dari 13 sekolah pada tahun lalu. Pemilihan sekolah diutamakan bagi yang berlokasi di kawasan sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, dari Sangiran hingga Sambungmacan. "Mengingat di kawasan itu banyak ditemukan fosil atau benda arkeologis lainnya," ujar Andjarwati.
Tim Cagar Budaya berharap pembekalan ilmu arkeologi bagi pelajar SMP dan SMA ini turut meningkatkan pelestarian Situs Sangiran. "Supaya mereka, jika suatu ketika menemukan fosil atau benda cagar budaya lainnya, tahu caranya," kata Andjarwati. "Hal seperti itu sangat mungkin terjadi di sekitar Sangiran."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo