Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA menjabat Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, saya termasuk anggota Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Soegih Arto. Anggotanya tak hanya pejabat kejaksaan, tapi juga polisi, tentara, bahkan wartawan. Salah satu kasus besar yang kami periksa adalah korupsi di Pertamina.
Awalnya, harian Indonesia Raya menurunkan laporan investigatif selama berhari-hari tentang korupsi di Pertamina. Lalu muncul rumor, kami dituduh menyuplai data dan informasi kepada wartawan. Padahal kami justru yang meminta data kepada mereka. Kami meminta izin kepada Pemimpin Redaksi Indonesia Raya Mochtar Lubis untuk menyalin dokumen korupsi yang dimiliki koran tersebut. Saya masih ingat, jumlahnya lebih dari dua karung.
Jenis korupsi itu beragam, mulai penggelapan hasil penjualan, markup biaya pembelian dan sewa kapal tanker, sampai penyelundupan minyak. Untuk penggelapan, misalnya, saat itu harga minyak mentah masih sekitar US$ 3 per barel. Nah, uang yang menguap bisa US$ 1 per barel. Bayangkan jumlah uang yang hilang bila Pertamina mengekspor 250-500 ribu barel per hari.
Salah satu contoh penggelembungan biaya yang saya ketahui adalah ketika Pertamina hendak membeli rumah pejuang nasional Ali Sastroamidjojo seharga Rp 35 juta. Pak Ali semula setuju, tapi ketika hendak bertransaksi, beliau diminta menandatangani kuitansi dengan harga yang sudah dilipatgandakan. Tentu saja beliau menolak.
Ketika memeriksa para pemasok, kami mendapat informasi praktek-praktek penggelembungan harga yang biasa dilakukan. Kalau pemeriksaan diteruskan, bisa dipastikan akan sampai ke pejabat-pejabat atas Pertamina.
Para koruptor tidak tinggal diam dan mulai melakukan gerilya. Berkali-kali kakak ipar saya, Mayor Jenderal Kemal Idris, memberi tahu bahwa beberapa pihak melapor kepada Presiden Soeharto bahwa saya keras, tidak kompromistis, dan tidak mau melihat kenyataan.
Jenderal Umar Wirahadikusumah juga memberi tahu bahwa saya kerap dicap sebagai Soekarnois, ekstrem kanan, berambisi menjadi Jaksa Agung, dan sebagainya. Belakangan saya mengetahui dari kawan-kawan yang lain, Pak Umar selalu membela apabila ada yang mengeluarkan pendapat negatif tentang saya.
Orang yang juga kerap memberikan peringatan adalah kawan lama saya, Mayor Jenderal Soetopo Joewono, yang saat itu menjadi Kepala Bakin-Badan Koordinasi Intelijen Negara, lembaga yang sangat ditakuti pada masanya. Beliau berkali-kali meminta saya agar menghadap dan melapor kepada Soeharto secara pribadi. Maksudnya, agar Pak Harto bisa mendengar langsung laporan saya dan membalikkan pendapat kroni-kroninya.
Mayor Jenderal Suryo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani, ketika bermain golf bersama, juga mengingatkan saya, "Mas Pri, loop niet te hard van stapel (jangan terlalu keras dan tanpa perhitungan). Lebih baik ikuti policy Bapak saja."
Walau kerap diingatkan, saya tetap santai karena menganggap tanggung jawab pemberantasan korupsi ada pada tim, dan bukan pada saya pribadi. Saya mulai sadar telah diincar saat diperingatkan Letnan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan komandan saya ketika bertugas sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia di Sumatera Selatan. Rupanya ia pernah dipanggil Pak Harto berkaitan dengan saya. "Si Priyatna itu apaan? Mau periksa-periksa orang!" katanya menirukan ucapan Soeharto.
Alamsyah lantas menyatakan, "Jij moet toneel speelen (kamu harus main sandiwara) dalam memeriksa Pertamina." Jadi saya disuruh berpura-pura melakukan pemeriksaan, tapi nanti kasusnya sebenarnya tidak akan diteruskan. Inilah praktek yang banyak dilakukan banyak jaksa saat ini. Saya jelas tidak bisa melakukan itu.
Pernah pula saya dicoba disuap. Suatu hari, seorang doktor-saya lupa namanya-dari Sumatera Utara datang menemui saya atas nama Pertamina. Dia mau menyuap saya dengan cek dan uang tunai dalam dolar dan rupiah. Tentu saja saya tolak.
Anehnya, atasan saya, Jaksa Agung Soegih Arto, juga mengatakan, "Pri, hati-hati, nanti kau disebut ekstrem kanan." Saya jawab saja, "Anda sendiri yang memerintahkan saya."
Melihat saya bergeming, ancaman dan tekanan mulai makin nyata. Di lapangan golf, asisten pribadi Presiden Soeharto datang menghampiri saya dan melontarkan caci-maki dalam bahasa Belanda. "Apa mau kamu memeriksa Pertamina? Jangan jadi orang berengsek!" katanya.
Ancaman fisik pun dilakukan. Seorang pejabat Pertamina datang menerobos kantor saya sambil mencaci-maki. Dia membanting pistolnya di meja sambil mengancam. Saya, ketika itu, terpancing emosi, menarik laci meja, dan menyambar pistol yang ada di sana. Saya berdiri dan berjalan menghampirinya, "Oke, kita duel di luar kantor sekarang!" Ternyata ia diam saja, bahkan ngeloyor pergi begitu saja.
Saya tahu dia akan kecut, karena saya mengenalnya sejak 1946, ketika bertugas di Sumatera Selatan sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia. Bedanya, saya dulu wakil komandan kompi di Front Batun, yang langsung berhadapan dengan pasukan Inggris-Belanda, sedangkan dia hanya ajudan komandan teritorial yang bertugas di garis belakang yang aman di Baturaja.
Melihat saya tidak bisa dilunakkan, atau dipatahkan, akhirnya saya diminta bertemu dengan Pak Harto. Jaksa Agung meminta saya mendampinginya menghadap Pak Harto. Di tengah perjalanan, barulah ia menyatakan bahwa Pak Harto marah kepada saya karena masalah Pertamina. Soalnya, kami mulai memeriksa Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina, dan Haji Taher.
Soegih Arto menyatakan, banyak pihak menganggap saya motor tim antikorupsi. Ia juga berterus terang tidak berani bertanggung jawab, karena kalau dipecat, ia tidak tahu harus ke mana, sedangkan saya-menurut dia- bisa sekolah lagi.
Di Bina Graha, saya, Soegih Arto, dan Pak Harto duduk mengitari sebuah meja panjang. Beliau berbicara panjang, hampir dua jam, mengenai kebijakan pemerintah. Ketika tiba saatnya membahas Pertamina, Pak Harto menggunakan perumpamaan. Ia mengandaikan, ada sawah ditelantarkan, lantas datang orang menggarapnya sehingga padi bisa tumbuh. "Sawah itu bukan milik dia. Jadi, di musim panen, padi itu tidak dimakan sendiri. Ada yang dia bagikan ke teman-temannya. Dan kalau ada yang diambil orang, ya biarkan saja," katanya.
Saya menjawab dengan menggunakan tamsil pula. Saya menyatakan, di masa revolusi rakyat naik sepeda dengan ban mati. Di zaman Orde Baru, rakyat sudah naik pesawat dengan pilot yang terampil. Maksud saya, di zaman Orde Baru sudah saatnya Pertamina dipimpin oleh orang yang benar-benar mampu dan profesional.
Mendengar jawaban saya, Pak Harto lantas menyatakan-dalam kalimat tersamar-bahwa apabila bersedia melepas kasus Pertamina, karier saya akan meningkat sampai menjadi Jaksa Agung. Tapi, apabila tetap kukuh mengusut korupsi Pertamina, akan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Walaupun pembicaraan dilakukan dalam suasana santai, saya tetap merasakan nada ancaman dalam pernyataannya. Ketika itu, saya langsung berpikir, pilihan satu-satunya adalah mundur.
Ketika pembicaraan selesai dan kami keluar dari ruangan, saya bertemu dengan Sudharmono, yang ketika itu menjabat Sekretaris Kabinet merangkap Sekretaris Dewan Stabilitas Ekonomi. Spontan saya mengatakan, "Mas Dhar, saya akan mundur." Anehnya, ia mengatakan, "Katanya Mas Pri mau sekolah lagi? Biar nanti pemerintah yang sediakan dananya."
Dari omongannya, tahulah saya bahwa saya memang akan diberhentikan. Mendengar perkataan saya, seharusnya ia menanyakan alasan saya mundur. Tapi ternyata ia langsung menanyakan niat saya untuk sekolah lagi.
Belakangan, saya membaca wawancara majalah Tempo dengan Soegih Arto, yang menyatakan Pak Harto sudah dua kali minta agar saya diberhentikan. Ali Moertopo juga sudah berkali-kali mendesak pencopotan saya.
Begitu mundur, fasilitas saya ditarik. Gaji saya tidak dibayar lagi, walaupun setelah mundur, saya masih menjadi karyawan kejaksaan selama dua tahun. Bahkan rumah yang saya peroleh dari lelang dirampas hanya dengan surat keputusan Jaksa Agung Ali Said.
Ironisnya, sayalah yang membantu karier Ali Said. Ketika Jaksa Agung Muda Mayor Jenderal Poerwosoenoe ditarik ke Bakin, saya mengusulkan Ali Said yang menggantikannya. Padahal Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ketika itu, Pak Maraden Panggabean, juga memiliki calon lain, yakni Brigadir Jenderal Wang Suwandi.
Setelah berhenti, saya tidak dianggap sebagai bekas warga kejaksaan. Di zaman Soegih Arto dan Ali Said, saya benar-benar dikucilkan. Dana sekolah yang dijanjikan Sudharmono nyatanya omong kosong. Saya terpaksa menjual rumah pribadi saya di Bandung dengan harga sangat murah untuk membiayai studi dan melakukan penelitian demi meraih gelar doktor.
Mochtar Kusumaatmadja, yang menjadi promotor saya, juga ditekan rezim Orde Baru agar tidak membantu saya. Mochtar tidak peduli dan tetap berkukuh menjadi promotor saya. Ia berdalih, kalau saya tidak mendapat gelar doktor di sini, sudah banyak perguruan tinggi di luar negeri yang siap menerima.
Saya memang sudah mendapat tawaran bukan hanya memperoleh gelar doktor, melainkan juga menjadi guru besar di Universitas Sorbonne, Paris, oleh Profesor Pepin, dosen semasa mengambil master di McGill University di Kanada. Walaupun saya dicekal tidak boleh bepergian ke luar negeri, Profesor Pepin menjanjikan saya tetap bisa memperoleh gelar doktor dengan belajar dari Indonesia. Akhirnya, saya memperoleh gelar doktor dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo